Sunday, July 20, 2014

KEEKONOMIAN PARA NABI DAN RASUL BERDASARKAN PERISTIWA ISRA MIKRAJ NABI MUHAMMAD SAW


(DEMI MENUJU REVOLUSI MENTAL MORAL SPIRITUAL AHLAK DENGAN AYAT-AYAT ALLOH SWT)

Sebenarnya adakah Bangunan KeEkonomian Para Nabi dan Rasulnya Itu? Apa dan bagaimana bentuk atau macamnya, apakah semacam Ekonomi Syariah yang dilakukan Perbankkan selama ini atau mungkin bisa lebih baik lebih Idealis lagi karena akan dirancang sedemikian rupa untuk dapat melepaskan diri-diri manusia dari pengaruh hawanapsu Duniawi yang hingga kini sedemikian membelenggu antara lain dengan membonceng Sistem Kapitalisme (Global). Bahwa Sistem Ekonomi Syariah yang diterapkan Bank-Bank yang ada saat ini telah terlanjur exis dalam keikut sertaannya ditengah-tengah arus pusaran sangat dahsyat manajerial yang timpang dan tidak adil sehingga jelas Sistem Ekonomi Syariah juga tidak luput dari pengaruh Sistem Kapitalisme Global khususnya pada (prilaku) diri manusia itu sendiri. Untuk mengatasi keterbelengguan manusia  atas Kapitalime Global inilah maka “Program Lima Tahun” ke depan bagi Negeri ini adalah harus membangun suatu Sistem KeEkonomian Tersendiri disamping KeEkonomian yang dijalani saat ini, agar dapat terbebas terlepas dari belenggu intervensi atau jerat-jerat Kapitalisme, Sosialisme yang tanpa Tuhan, Marxisme, Imperialisme dansebagainya. System ini disebut Sistem KeEkonomian Alloh yang Rahmatan Lil Alamin, yang sifatnya KeSemestaan Tanpa Batas. Suatu aktifitas KeEkonomian yang mengalir bergerak sedemikian rupa dalam “Tali Alloh SWT”, sehingga menyadari dengan sesungguhnya Sistem KeEkonomian inilah yang dibangun oleh “Seluruh Para Nabi dan RasulNya” sejak masa Nabi Adam AS, dimana isinya hanya sendi-sendi Agama dengan pemberlakuan secara total ayat-ayat Alloh SWT karena itulah didalamnya “KeAdilan Semesta”. insyaAlloh dengan “Keberhasilan” Sistem inilah maka Negeri ini akan dapat Terbebas dari dampak Krisis KeEkonomian Duniawi macam apapun. Bahkan sesuai “Peran” Rahmatan Lil Alamin maka Unsur IPTEK akan sangat berkembang pesat diluar dari apa yang terbayangkan manusia. Dimana KeWilayahan sungguh tidak lagi “sebumi” melainkan ke Seru Sekalian Alam Tanpa Batas, sesuai dengan apa yang tergambarkan terpandang sedemikian jelas dalam Peristiwa Isra Mikraj. Umat manusia harus sadar dan percaya bahwa bila Peristiwa Isra Mikraj itu telah “mengejawantah” maka itulah bentuk “Pengejawantahan” sesungguhnya dari Rahmatan Lil Alamin yang pasti akan kita jalani hingga ke pencapaian-pencapaian Tanpa Batas (sebagaimana makna Rahmatan Lil Alamin itu sendiri), sesuai tahapan-tahapan dalam Peristiwa Isra Mikraj.
Untuk ini maka “Pos-Pos KeEkonomian” yang harus dibangun adalah “Baitul Makmur” perannya hanyalah “Pendanaan” mirip Bank tapi sama sekali sungguh berbeda dengan Bank-Bank yang ada di dunia ini yang sangat Kapitalistik dengan Kepemilikan-Kepemilikan Pribadi, dan karena tidak ada “Nilai Saham” di Baitul Makmur, bahkan segala keuntungan atau hasil macam apapun dikembalikan ke mahluk sepenuhnya yaitu untuk kemakmuran rakyat, sehingga akan membentuk lingkar keekonomian sedemikian rupa. Bahwa Produk Hasil atau Hasil Produk semua lebih bersifat “Alami” langsung dari Alam sebagai Rahmat Alloh SWT, baik di bidang Kehutanan (termasuk perkayuan danlainlain), Pertanian, Peternakan, Perikanan serta semua teknologi yang mendukung, dansebagainya. Untuk itu dibangun pula “Perusahaan-Perusahaan Alloh SWT” (agar tiap diri sungguh menghormatinya, dan  karena tiap diri memiliki hak atas “Perusahaan-Perusahaan Alloh SWT” itu), yang sama sekali bukan milik Pribadi, bahkan lepas dari segala bentuk Ego Hawanapsu Kemanusiaan sehingga sungguh “Milik Alloh SWT” yang justru menjadi milik semua milik semesta menjadi Rahmat ke Seluruh Alam Semesta. Dimana KeAdilan Semesta KeAdilan di sisi Alloh SWT adalah “Amanah” yang mesti dipikul dijalankan sehingga menjadi sangat jelaslah kerja jalan gerak KeEkonomian tersebut. Bila saja manusia tahu akan dibawa diarahkan dan kearah mana sesungguhnya Program KeEkonomian yang dijalankan ini, pastilah akan berlomba-lomba memuliakan, bahkan tidak meminta upah sedikitpun dan karena sangat percaya semua segalanya serta dirinya sendiri ada dalam “Genggaman” Alloh SWT yang pasti “menjamin” dalam KeMaha AdilanNya yang Absolut (ada program monitoring atas rakyat demi memenuhi kebutuhan primernya antara lain pangan dan kesehatan serta lain-lain dalam suasana kegotong royongan dan kekeluargaan). Sebagaimana sifat para hamba yang berusaha berlepas diri dari segala belenggu “keterbatasan” Duniawi menuju KeTak Terbatasan, dari bentuk kehidupan “Sebumi” yang bahkan pada kenyataannya sedahsyat apapun kenikmatan duniawi yang didapat ternyata hanya secuil kecil setitik kecil saja dari lingkup bumi itu sendiri yang bagaikan debu di Alam Semesta. Sungguh sangat terbatas dan dalam waktu sangat singkat, dibandingkan apa yang di sisi Alloh SWT yang sungguh Tanpa Batas, sesuai KeMaha Luasan KeMaha Besaran “sisi”Nya itu, sesuai menurut Asma ul Husna Nama-NamaNya Terbaik. Di dalam Gerak KeEkonomian Baitul Makmur tidak mentolerir adanya Ego manusia terhadap penumpukan-penumpukan kekayaan atas nama Pribadi-Pribadi baik pada diri seseorang maupun kelompok yang justru akan menjadi Dinamis sedemikian rupa, bahwa segala sesuatu dikembalikan kepada Alloh SWT itulah “Kuncinya”. Karena sekali lagi ini hanyalah Sistem KeEkonomian Tersendiri yang dijalankan sedemikian rupa dalam Negeri ini, sedangkan Sistem Perbankan dengan Kapitalisme Global sudah menjadi Sistem Antar Negara yang Negeri ini tetap menjalaninya yang pada kenyataannya sudah mendarah daging. Karena itulah penumpukan-penumpukan kekayaan memang tidak ada di Baitul Makmur akan tetapi tetap ada dalam Kapitalisme Global, Perbankan pada umumnya, sehingga pada akhirnya akan terjadi perubahan atas Sistem KeEkonomian tersebut dengan “Kesadaran” diri sendiri untuk kepada Alloh SWT yang pasti tidak akan dipaksakan.
Apa itu “Baitul Makmur” sesungguhnya, mengapa aplikasi dalam program KeEkonomian ini difungsikan untuk sisi “Pendanaan”, mengapa tidak “Baitul Mal”? Justru Baitul Makmur adalah akibat Logis dari Baitul Mal-Baitul Mal yang “disucikan” naik ke sisi Alloh SWT hingga terkumpul di suatu tempat (yaitu Baitul Makmur) untuk mereka yang mengorbankan hartanya bagi Alloh SWT, pastilah bagi mereka disediakan “Tempat” sebagai balasan (pahala) bagi yang sungguh-sungguh Ikhlas karena Alloh SWT, yang prilakunya itu akan naik ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya”. Pandanglah bagaimana Para Malaikat itu memohonkan ampun khusus bagi orang-orang yang “bersedekah” serta yang “berjihad” dengan hartanya, maka ada tempat berkumpul Para Malaikat sehingga bagi mereka itu siapapun akan ditarik menuju Islam, seumpama kisah seorang Pelacur yang memberi minum seekor kucing yang hampir mati kehausan di tengah padang pasir yang tandus, maka ditarik ke Islam karena sedekahnya itu, atau seorang Arsitek dalam membangun Masjid Istiqlal misalnya juga ditarik ke Islam. Jadi Baitul Makmur memang suatu “tempat” dimana ada Para Malaikat yang berkumpul sholat berdoa memohon bagi orang-orang yang Ikhlas atas harta ataupun keahliannya untuk Alloh SWT, termasuk yang menyumbang melalui Baitul Mal-Baitul Mal. Secara ruhani Para Malaikat mengantar apa yang disumbangkannya itu kepada Alloh SWT, sehingga kelak akan mendapat balasan pahala yang setimpal dengan prilakunya itu. Dalam konteks Isra Mikraj, segala prilaku yang “bersesuaian” dengan seluruh Para Nabi dan RasulNya sejak Nabi Adam AS, yang berarti Baitul Makmur tidak hanya bagi umat Nabi Muhammad SAW melainkan segala umat sehingga Alloh SWT yang memutuskan  pada Hari Kiamat. Hingga kini ego-ego yang sangat Lokalitas dari masing-masing umat masih mendominasi karena kurangnya pengetahuan dan penjelasan yang memadai. Padahal sesungguhnya baik penjelasan tentang Isra Mikraj maupun Baitul Makmur tidaklah sesederhana ini, akan tetapi seiring perjalanan waktu atas “pelaksanaan” KeEkonomian yang Rahmatan Lil Alamin, insyaAlloh pemahaman Baitul Makmur akan menjadi lebih luas dari apa yang dapat dibayangkan manusia. Jangan katakan Para Nabi dan Rasul yang ditarik ke sisi Alloh SWT dan menempati Langit demi Langit hanya beberapa gelintir manusia saja, padahal sesungguhnya seluruh Para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya Tanpa Kecuali, pasti pasti dan pasti semua ditarik menuju Alloh SWT termasuk Nabi Adam AS, serta semua yang bersesuaian “cahaya”, sebagaimana permisalan atas diri Beliau SAW dengan para Nabi dan Rasulnya selayaknya dapat dipahami hakekatnya.
Bahwa untuk semua ini Asma ul Husna adalah dasar dari segala Kebijakan-Kebijakan yang harus dijalankan. Karena apa yang dibangun oleh Seluruh Para Nabi dan RasulNya adalah Prilaku dari dan bagi Asma ul Husna yang penglihatannya pandangan-pandangannya pendengarannya dan hati (akal)nya bukan dari diri sendiri lagi melainkan dari Alloh SWT (Asma ul Husna). Tidak seorang Nabipun pasti pandangan-pandangannya dari Alloh SWT demikian pula “Para Pewaris Seluruh Para Nabi dan RasulNya” pasti juga dari Alloh SWT, demikianlah Alloh SWT menurunkan “petunjukNya, berupa IlmuNya, yang sungguh-sungguh Ilmu Alloh SWT” melalui Para Ulama. Karena itu bila sungguh ingin Bangsa dan Negeri ini sampai kepada KeAdilan dan KeMakmuran sejati maka harus sesuai dengan apa yang dibangun oleh Seluruh Para Nabi dan RasulNya yaitu dari Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna, Nama-NamaNya Terbaik. Ingatlah hanya dengan penjelasan memadai ayat-ayat Alloh SWT maka “Revolusi Moral Mental Spiritual Ahlak” yang hakiki itu akan terwujud, sebagaimana perjuangan Para Nabi dan RasulNya untuk mengubah Prilaku adalah dengan Ayat-Ayat Alloh SWT. Pandanglah, mengapa orang-orang bahkan yang hafal Kitab Suci (Al Quran) ternyata masih terpedaya untuk Korupsi misalnya, karena belum mendapatkan atau mencapai penjelasan memadai sehingga tidak yakin pada saat-saat tertentu, kemudian sebenarnya juga ingin kembali kepada ayat-ayat Alloh (Tobat) ketika hatinya terbuka walau lingkungan ternyata membatalkan niatnya, suatu keterpaksaan bila menyangkut banyak orang (komunitas). Karena itulah sehebat sebersih apapun imej yang dibangun diangkat ke permukaan hal diri seseorang maka tanpa  penjelasan memadai ayat-ayat Alloh SWT tetap akan sulit terwujud. Yang betul saja bila “Revolusi Mental Spiritual Moral Ahlak” adalah tanpa ayat-ayat Alloh SWT, apa mungkin akan dapat terwujud? (yang benar saja).
Bayangkan saja “Komunisme” itu pada awalnya juga mengusung “Perubahan” bahkan termasuk “Revolusi Mental” yang Spektakuler, walau pada kenyataannya telah memenggal sedemikian rupa Kebijakan dalam Agama Alloh SWT yang dipakai untuk ajarannya sehingga ada Ulama merasa cocok dengan prilaku social yang dianggap lebih “berkeadilan”. Tentu dengan perjalanan filosofi yang panjang, suatu “pemberontakan” atas sendi-sendi Agama yang sangat kaku, sehingga berusaha untuk keluar dari kekakuan itu. Istilah: Tuhan Telah Mati! Menguatkan peyakinan itu untuk suatu terobosan besar bagi “kebebasan” dari belenggu Agama, padahal dalam gerak social atau Amaliyah, wilayah Agama telah demikian “merasuk, mengental” untuk tindakan kepada “Keadilan” sebagai bagian dari sendi Agama, tetapi memenggal Tuhan bagi kebebasannya. Perkembangan sedemikian dahsyat IPTEK hingga saat ini juga membuang jauh-jauh wajah Tuhan sehingga sungguh terbebas benak Ilmuwan itu dari kekakuan Wajah Agama (yang pada masa lalu banyak menghukum mati dirinya). Disinilah betapa “penolakan” terhadap Tuhan yang dibangun Komunisme serta IPTEK sama sekali spirit hati mereka menuju Tuhan tidak pernah lenyap bila “keadilan dan kebenaran” termasuk yang diperjuangkan. Ketundukan hati terhadap Hukum Alam Semesta misalnya, maka Alam Semesta yang Notabene senantiasa “bersujud bertasybih” kepada Alloh SWT tetap akan membawa mereka kepada Tuhannya, yang sama sekali tidak disadarinya. Kekakuan sikap Para Agamawan khususnya Ulama terkadang justru menimbulkan prasangka terhadap penemuan dan perkembangan teknologi sehingga menjadi gagap dalam menyikapinya. Bagaimana ketika mula-mula radio dibuat kemudian televisi, pengeras suara, computer danseterusnya. Sehingga ada  terbersit kekaguman seburuk-buruk imej tentang Komunisme ataupun Peniadaan Peran Tuhan dalam perkembangan IPTEK justru memaksimalkan keleluasaan manusia dalam berkreasi berinovasi hingga ke perkembangan menakjubkan pada saat ini. Akan tetapi semua itu tetap memerlukan Peran Agama sebagai control moral etika demi meredam gejolak hawanapsu yang kebablasan.
Semua Teori Ilmiah yang “benar” itu tidak lain adalah ayat-ayat Alloh SWT sebagai gerak-gerik Alam itu sendiri, sehingga pada kenyataannya baik Agamawan maupun Ilmuwan yang Komunis sekalipun tetap ditarik dan berjalan menuju Alloh SWT. Walau demikian kalau kita melihat dengan seksama terbesit kesimpulan baik Agamawan maupun Ilmuwan yang Agamis sesungguhnya masih banyak yang belum (sempurna) mengenal Alloh SWT. Kalau Para Agamawan (Ulama) sungguh-sungguh mengenal Alloh SWT pasti “perang” dalam Agama yang sama tidak akan terjadi yang masing-masing berteriak KeBesaran Tuhan juga Memuji Tuhan. Demikian pula Antar Agama antar manusia justru saling kuat menguatkan bahu membahu menuju Alloh SWT, sebagaimana antar seluruh Para Nabi dan RasulNya itu saling bekerja sama bahu membahu bagaikan membangun “sebuah rumah” bukan saling berperang hancur menghancurkan, dimana pada kenyataannya Nabi Muhammad SAW hanya bagian kecil setitik kecil saja seumpama sebuah bata. Tapi pandanglah bagaimana di Akhirat kelak tiap Nabi akan memiliki Rumah yang sama semisal yang semua sama-sama terbentuk terbangun oleh Cahaya Alloh Yang Maha Esa Satu, Cahaya Diatas Cahaya, sebagai karunia Alloh SWT atas mereka. Artinya “Kebersamaan” sama sekali tidak menjadikan tiap diri mendapat bagian yang “sempit” sangat sedikit karena dibagi-bagi, justru sebaliknya tiap Nabi akan mendapat Ilmu Nabi-Nabi lain secara Tanpa Batas, terjadi “perluasan” pandangan, ketika “disempurnakan” Rahmat Alloh SWT atas dirinya. Sedang bila ada nabi yang tidak bekerja sama maka yang didapat justru Neraka, pasti itu nabi palsu yang menuruti ego hawanapsu sehingga yang didapat bukan “Cahaya Alloh SWT”.
Sedemikian rupa “Lingkar” Gerak KeEkonomian yang dibangun oleh Seluruh Para Nabi dan RasulNya yang hanya untuk Alloh SWT belaka, sehingga semakin sempurna pengejawantahan itu terjadi, semakin tampak jelas Adil dan Makmur yang sesungguhnya bahkan “merata” ke seluruh pelosok bumi. Kini saatnya orang menyadari untuk mengembalikan kekayaan Negara yang sebenarnya dapat secara langsung kepada Rakyat Negeri ini melalui Baitul Makmur sebagai bentuk “Kesadaran” untuk mensucikan diri tobat dari kesalahan. Karena Gratifikasi Uang Panas dansebagainya pastilah untuk keperluan hawanapsu diri sendiri atau kelompoknya, sedangkan kepada rakyat adalah makna yang berbeda. Khususnya bila Penyelenggara Negara sendiri belum bersih sepenuhnya, moral mental spiritual ahlak yang belum berubah secara nyata dan sangat signifikan, sehingga terasa ada kekhawatiran akan jatuh kemana lagi sesungguhnya kekayaan itu bila dikembalikan kepada Negara, padahal itulah kewajiban yang seharusnya dilakukan? Sementara KeEkonomian Alloh SWT itu dibangun bagi dan dari Negara sehingga termasuk dalam “Penyelenggaraan Negara” bagi kesejahteraan seluruh rakyat Negeri ini, mungkin pilihan ke Baitul Makmur lebih terasa cocok baginya. Mungkin hukuman memang dapat menimbulkan efek jera tapi jarang mencapai “kesadaran hakiki”, sedang penjelasan memadai ayat-ayat Alloh SWT dapat mencapai menyentuh “kesadaran hakiki” tersebut, dan itulah sesungguhnya yang diupayakan terlebih dahulu oleh seluruh Para Nabi dan RasulNya. Keberhasilan Revolusi Mental Spiritual Moral Ahlak akan sangat berhasil bila itu telah menyentuh sisi “kesadaran” termaksud, hingga ke peyakinan terhadap ayat-ayat Alloh SWT yang kemudian teraplikasi dalam bentuk prilaku taqwa. Negeri Pancasila ini memang sangat Religius, karena itu arah sesungguhnya Revolusi Mental Spiritual Moral Ahlak yang Religiositas adalah amanah dan pengejawantahan dari Pancasila itu sendiri. Hanya saja Pancasila akan terkendala makna pada “keterbatasan” bila penjelasannya dengan pendekatan social budaya atau hasil daya pikir manusia, sedang bila dengan Agama Alloh SWT maka saat itu sungguh-sungguh dari Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa akan menuju Rahmatan Lil Alamin ke Semesta Alam Tanpa Batas. Walau demikian semua penjabaran tergantung hati dan jiwa Bangsa ini dalam menyikapinya, karena sesungguhnya Pancasila dalam penjabaran hati yang suci murni bersih dapat menjadi “Revolusi Mental Spiritual Moral Ahlak” yang lebih dahsyat tak terbayangkan daripada yang terjadi pada Komunisme dansebagainya itu.
Indonesia memang Negeri dengan kekayaan Alam yang luar biasa, jangankan Ratusan juta bahkan milyaran jumlah pendudukpun daya dukung Alam masih memadai. Artinya saat ini satu penduduk masih dapat jatah lebih lima kali lipat dari kebutuhan Normal. Tentu bila kekayaan Alam yang luar biasa ini dapat dikelola dengan baik, di Laut Darat Udara serta Antariksa, menuju Rahmatan Lil Alamin dalam jangkauan Wilayah ke Tanpa Batas. Daya dukung Alam Indonesia sangat cukup untuk mencapai Bintang Gemintang, karena tidak lama lagi atas petunjukNya serta karuniaNya segala gugusan Bintang Gemintang dapat digenggam oleh penduduk Negeri ini. Dan memang untuk itulah Tahapan-Tahapan Ilmu dalam Peristiwa Isra Mikraj akan segera terealisasi, suatu gambaran yang sangat jelas bahwa IPTEK itu akan mencapai “sempurna” ke Wilayah Tanpa Batas bila telah memasuki Area Cahaya Diatas Cahaya, dimana masa depan manusia memang adalah “Cahaya”. Artinya tidak sekedar wujud cahaya dalam Teori Einstein serta berbagai eksperimen yang telah dilakukan, ataupun apa yang hendak dibangun dan dicapai oleh Para Ilmuwan dengan Theory of Everything. Karena dengan Peristiwa Isra Mikraj kita akan semakin akrab dengan yang disebut “Lapisan-Lapisan Langit”, hingga ke pencapaian Yang Serba Tanpa Batas dengan lebih mengakrabi Asma ul Husna. Ingat Agama arahnya lebih ke pengertian terbentuk “Langit dan Bumi”, sedangkan Ilmuwan lebih mengakrabi kejadian “Alam Semesta” sehingga istilah Langit, apa itu Langit sesungguhnya jelas masih menjadi tanda Tanya besar dalam benak Ilmuwan. Dan kelak hal jumlah penduduk tidak berapa lama lagi bumi ini justru “kekurangan” atau sangat kekurangan ketika “penjelajahan” manusia atas Alam Semesta yang Tanpa Batas ini telah “terwujud”, banyak yang tidak percaya tentang hal ini, biarlah, siapa yang sebenarnya sungguh yakin Peristiwa Isra Mikraj? Bahkan sama sekali ragu dengan keyakinannya itu, sangat dipaksakan, pengetahuan tentang Buraq itu lebih diketahui berupa “hewan”? Semua akan “semisal” bagaimana manusia memiliki potensi untuk “berjiwa” malaikat maka “pengetahuan” yang diejawantahkan apakah harus benar-benar berwujud “malaikat”? Demikian pula dengan wujud Buraq yang seperti hewan “pengetahuan“ yang diejawantahkan apakah juga harus benar-benar berwujud “Hewan”? Padahal ini bolehjadi “perumpamaan” yang kita tahu “pesawat” supersonic dansebagainya banyak “terinspirasi” bentuk “hewan” yang semakin sempurna kecepatan dengan daya tahan yang juga semakin sempurna, karena itulah bentuk-bentuk hewan yang “diisyaratkan” bolehjadi harus lebih diselidiki dieksplorasi barangkali akan menjadi “petunjuk” bagaimana sampai kepada bentuk Pesawat Antariksa yang sempurna untuk menjelajahi Alam Semesta yang sangat luas ini. Dan sebenarnya pesawat atau robot yang pintar sekalipun ataupun kendaraan-kendaraan lain maka sebutan di sisi Alloh SWT memang termasuk jenis “hewan”.
Bahwa Alam Semesta Bintang Gemintang selayaknya hanya dapat terjelajahi dengan “Hidup Kekal” dimana Asma ul Husna adalah “kunci” jawaban bagaimana “Hidup Kekal” itu dapat terjadi terwujud. Pengetahuan tentang  “Hidup Kekal” ini sebenarnya telah terjawab atau sudah ada jawaban konkrit bila saja mau menyimak serta menyikapi dengan tenang dan sabar uraian-uraian terdahulu. Bagaimana  “Lingkar Proses” dalam Asma ul Husna yaitu dari dan bagi DiriNya Sendiri, dari dan bagi Nama-NamaNya yang Terbaik belaka, yang bagaikan “Lingkar Proses”  Lima Unsur dari Negeri Cina, maka “Lingkar Proses” Asma ul Husna terpandang terjabarkan sebagai “KeinginanNya untuk Dikenal” dari Alloh untuk Alloh. Sebagaimana bunyi hadits Qudsi bahwa pada awalnya Aku adalah Perbendaharaan Tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan mahluk, dan melalui Aku maka mahluk kenal padaKu. Bagaimana sesungguhnya Alloh SWT “Memperkenalkan DiriNya” bila belum ada mahluk yang tercipta atau diciptakan? Maka Asma ul Husna itulah sesungguhnya yang hendak “Diperkenalkan” kepada mahluk, dimana “KeMaha EsaanNya adalah KeMaha Esaan Asma ul Husna”. Atau di dalam “KeMaha EsaanNya” itulah terpandang suatu bentuk “Keterpaduan” dari Seluruh Asma ul Husna (Yang Sembilan Puluh Sembilan), dan “Keterpaduan” Asma ul Husna itu adalah “Pemujian Bagi DiriNya Sendiri”. Dalam hal ini “Dari dan Bagi Nama-NamaNya Terbaik Belaka”, Dari Alloh untuk Alloh Bagi Alloh adalah “Lingkar Proses Pemujian Bagi DiriNya Sendiri” termaksud, sehingga Makna KeMaha EsaanNya adalah KeMaha Esaan Asma ul Husna (Yang Sembilan Puluh Sembilan). Didalam “Lingkar Proses Pemujian Bagi DiriNya Sendiri, Dari dan Bagi Seluruh NamaNamaNya Terbaik inilah Tercipta Diciptakan Segala Sesuatu Tanpa Kecuali. Karena itu “Segala Sesuatu” yang tercipta akan selalu terletak Diantara NamaNamaNya Belaka, Antara Yang Awal dan Yang Akhir misalnya “Terbentuk Segala Waktu” sedang Antara Yang Zhahir dan Yang Bathin “Terbentuk Segala Wujud Benda maupun Non Benda, Materi maupun Non Materi, Jasad maupun Ruhani Dansebagainya”, sehingga tidak sesuatupun pasti Tercipta “Diantara” NamaNamaNya Terbaik belaka, sehingga demikian itulah Makna KeMaha Esaan Asma ul Husna.
Disinilah sebenarnya letak titik temu antara Teori Ilmiah “Dentuman Besar” dengan Agama yang hakekatnya sama-sama untuk memahami Alam Semesta yang Tercipta sedemikian rupa. Bagaimana Awal Alam Semesta termaksud selaras seharmoni karena sekaligus merupakan “pengejawantahan KeinginanNya untuk Dikenal” sehingga di dalam “Dentuman Besar” sekaligus terkandung Amanah Alloh SWT “Aku ingin Dikenal”. Karena itu apapun yang kemudian Terbentuk dibentuk tercipta dicipta mengandung “Keinginan untuk Dikenal”. Jadi Dentuman Besar lebih merupakan Teriakan Suara “Aku Ingin Dikenal” (Ingin Dinamai). Ini berkaitan dengan “mengapa mahluk yang mau menerima Amanah Alloh SWT” fitrahnya berusaha mengenal (menamai) segala sesuatu segalanya Tanpa Kecuali. Jadi bisa dikatakan “Dentuman Besar” adalah kata lain dari Gerak Absolut sebagai KeinginanNya untuk Dikenal, merupakan Gerak, merupakan Suara, merupakan Firman, semua secara utuh menyatu dalam segalanya, menyatu dalam Segala Penciptaan, demikian itulah bila yang Serba Non Lokalitas bersuara (hasilnya Dentuman Besar) yang justru terjadilah Segala yang Lokalitas secara Tanpa Batas. Bila Didiagramkan atau gambaran Penciptaan itu berbentuk Bulat (Lingkaran) sebagaimana wujud “jam”, walau angka-angka hanya sampai DuaBelas akan tetapi sebenarnya merupakan “lintasan-lintasan waktu” yang Tanpa Batas. Maka jarum dari titik Nol  (sama dengan DuaBelas atau DuaBelas sama dengan Nol) bergerak sedemikian rupa “berputar” menuju angka Satu hingga ke DuaBelas terus ke Satu lagi danseterusnya, demikian itulah Alloh SWT menjadikan Segala yang Lokalitas. Bahwa di dalam “Lingkaran” sebentuk jam tersebut adalah Wilayah yang Serba Lokalitas, karena ada “jarum” penunjuk waktu maka terpandanglah secara sangat jelas “Yang Serba Lokalitas” tersebut. Hal inipun tersyirat dalam “gerak” manusia mengelilingi Kabah, serta segala perputaran Alam Semesta antar planet antar galaksi antar segala gugusan bintang gemintang danseterusnya. Katakanlah “jarum jam” bergerak “mengarsir” seluruh isi lingkaran, demikianlah sebuah “perjalanan waktu” sebagai waktu-waktu yang diperlukan untuk terjadi “penciptaan” segala sesuatu.
Waktu-waktu ini penting untuk dapat mengenal lebih dekat lebih logis untuk lebih memahami “kun, faya kun”, serta juga semakin dapat dimengerti dan dipahami tentang qadar-qadar di sisi Alloh SWt satu hari memiliki qadar seratus ribu tahun, misalnya. Jangan pandang sebuah Diagram jam sebagai satu saja, karena didalamnya terpandang lingkaran-lingkaran jam secara Tanpa Batas, karena bagi segala kejadian ada waktu-waktunya, sebagai waktu yang diperlukan untuk tiap kejadian. Sehingga kun, faya kun itu lebih kepada “Sebuah Lingkaran Waktu” tersebut terambil diejawantahkan sedemikian rupa untuk “Sekali Jadi” langsung jadi, tidak lagi mengikuti tahap-tahap yang sangat umum dan normal detik demi detik sesuai waktu yang diperlukan dengan prosedur “waktu Duniawi” secara umum. Karena itu waktu “kun, faya kun” selayaknya juga suatu procedural waktu yang sebenarnya sangat Rasional bila dengan penjelasan memadai. Lebih jauh masalah “kecepatan gerak” jelas sangat berkaitan dengan kejadian-kejadian termaksud diatas yang secara fisika ada Tiga Wilayah yaitu Cahaya (dimana tercipta malaikat), hingga terus melambat di bawah kecepatan Cahaya sebagai Wilayah “api” (tercipta jin) dan semakin lambat ataupun terpandang seakan “diam” sebagai wilayah “Tanah/Bumi”. Karena itu terkadang untuk kejadian sesuatu dapat dilihat dengan kecepatan mana, apa Cahaya, apa Api, apa sebagaimana kebiasaan sehari-hari mengikuti tahap-tahap yang secara umum lambat. Sedang Kun, faya Kun adalah Wilayah dengan kecepatan Cahaya Diatas Cahaya itulah Wilayah Lapisan-Lapisan Langit. Maka pada saatnya nanti kita akan lebih jelas lagi apa sesungguhnya “Langit” itu? Karena dalam penciptaan Langit dan Bumi secara Kun, faya Kun, insyaAlloh istilah Hari (masa) bagi pembentukan Alam Semesta, Hari pertama danseterusnya. Bagaimana Alam Semesta ini dibentuk terbentu dicipta tercipta yaitu hanya dalam beberapa Hari saja sesuai Ayat-Ayat dalam Kitab SuciNya akan segera dapat dimengerti dan dipahami (yang didalamnya akan sangat jelas memang penuh dengan permisalan-permisalan perumpamaan-perumpamaan persamaan-persamaan serta yang disebut “Barokah” sebagai bagian dari kekuatan-kekuatan Langit sehingga sepotong roti atau sepanci gulai kambing bisa dimakan banyak orang dimana seluruh kampung bisa kebagian, sama dan sebangun dengan roti atau gulai awal.)
Bahwa KeinginanNya untuk “Dikenal” adalah juga KeinginanNya Untuk Mengenal DiriNya Sendiri, maka disinilah fungsi Mahluk atau Mahluk adalah yang difungsikanNya untuk “mengenalNya”, sehingga Mahluk yang diciptakanNya itu adalah untuk sebagai “WakilNya dalam MengenalNya”, yaitu mahluk yang memiliki “PandanganNya untuk MemandangNya.” Mahluk yang penglihatannya, pendengarannya serta hati (akal)nya bukan dari (dengan) dirinya sendiri lagi melainkan dari (dengan) Alloh SWT. Mahluk yang menjadi “wakil” itulah disebut “kalifah”, yang tidak lain juga dengan “kekuatanNya” belaka, dan mahluk demikian inilah yang “hendak” diciptakanNya untuk sebagai kalifah, akan tetapi terjadi “penolakan” oleh mahluk ciptaanNya yang lain, yang kemudian menjadi tantangan dan musuh agar mahluk tersebut “gagal” terbentuk menjadi kalifah. Didalam “gerak” pengenalan DiriNya Sendiri, yang merupakan “Gerak” KeinginanNya untuk Dikenal, maka “Gerak” inilah yang menjadi “Hukum” Alloh SWT, AgamaNya, Fitrah Alloh, Kekal dan Tidak Ada Perubahan atas (Gerak) Hukum Alloh SWT itu, sebagaimana “Tidak Pernah Ada Perubahan Atas Asma ul Husna”, maka “mahluk” itu juga menjadi “Kekal” Didalam KeMaha Kekalan Asma ul Husna, Yang Serba Tanpa Batas tersebut, sebagaimana Makna dari Asma ul Husna itu Sendiri. Mahluk menjadi “Kekal” bila telah “sempurna” memiliki KekuatanNya Yang Serba Maha tersebut, kekuatan yang lebih lebih dan lebih kuat dari segala Kemaha Dahsyatan Alam Semesta Langit dan Bumi, sehingga segala KeMaha Dasyatan Alam Semesta Langit dan Bumi Tidak dapat “menghancurkannya”.
Untuk itu kita telusuri jauh ke belakang yaitu  Bagaimana Sejak Awal atau saat “sebelum” terbentuk Alam Semesta Langit dan Bumi maka yang Ada Hanya Asma ul Husna, Dzat Yang Serba Maha, Tidak Ada Selain Itu.  Ketika memiliki “Keinginan” untuk Dikenal mulailah (terjadi) Gerak Dari dan Bagi DiriNya Sendiri, Dari dan Bagi Nama-NamaNya Sendiri Belaka. Bahwa Alloh adalah Dzat sebagaimana Nama-NamaNya Terbaik, didalam EsaNya “perpaduan” Nama-NamaNya adalah Gerak Kekal Alam Semesta, Sunnatulloh, Fitrah Alloh, Firman-FirmanNya belaka, Ayat-AyatNya belaka, itulah AgamaNya. Jadi “sebelum” Alam Semesta Langit dan Bumi terbentuk, yang lebih dahulu “terbentuk” adalah Kitab SuciNya paling Sempurna, AgamaNya Paling Sempurna yang tidak ada yang lebih sempurna dari itu. Dan itulah “Pengenalan DiriNya Paling Sempurna”, Kitab Suci Terlengkap dan Tersempurna, yang Nabi Adam AS juga mengetahui memandang dan mengenalnya sebagai “Nur Nabi Muhammad SAW”, sosok mahluk yang diturunkan Kitab Suci Paling Sempurna oleh Alloh SWT kelak. Pertanyaannya mengapa Kitab SuciNya paling sempurna, Pengenalan DiriNya paling Sempurna itu sudah “Ada” sebelum terjadi Alam Semesta Langit dan Bumi? Kemudian mengapa di Akhirat kelak Kitab SuciNya Paling Sempurna (Al Quran) itu pulalah yang terpandang di “sisi” Alloh SWT berupa Dua Keping Lauhil Mahfuz yang amat besar? Bahwa sebelum ada sosok-sosok mahluk yang dapat (mau) menerima “Amanah Alloh” maka segala yang terbentuk tercipta bersih suci dari “Keingkaran” perintah dan larangan Alloh SWT, semua tunduk patuh hanya mengikuti Hukum “Kemurnian” Asma ul Husna yang sama sekali bebas dari “keterlibatan” ego hawanapsu mahluk dalam memuliakan Alloh SWT, dalam menyembah Alloh SWT sehingga api yang ada api murni yang kekal, cahaya yang murni kekal, yang ada hanya Ego Alloh SWT, tidak ada ego mahluk sedikitpun. Artinya semua mahluk yang tercipta baik malaikat dan jin hanya memiliki Ego Alloh SWT tidak memiliki ego diri mahluk itu sendiri, sehingga pada waktu itu penglihatannya pendengarannya dan hati (akal)nya hanya murni dari Alloh SWT, bahkan jin tidak memiliki “napsu” (pengingkaran) sedikitpun. Pada waktu itu malaikat dan jin sama-sama hidup dalam Surga Alloh SWT sehingga tidak dimungkinkan adanya prilaku buruk atau yang “menyimpang” dari Kehendak Alloh SWT dari Keinginan Alloh SWT. Dan karena Surga itu selamanya hanya berisi Kekuatan-Kekuatan Maha Kuat Yang Serba Maha, “Murni” Asma ul Husna secara langsung (inilah “Kemurnian” Asma ul Husna), sehingga merupakan “Fitrah Alloh SWT” belaka, Kalimat-Kalimat Alloh SWT belaka. Kelemahan yang ada pada jin dan malaikat, serta semua ciptaanNya Langit, Bumi dan Gunung-Gunung adalah tidak memiliki pengetahuan tentang “nama-nama” (benda) seluruhnya, walau tahu wujud semua benda bagaimana terbentuknya akan tetapi tidak dapat “menamai”. Sedang “Amanah” Alloh SWT itu, “Pengenalan DiriNya Sendiri” itu adalah melalui nama-nama atau penamaan-penamaan  sesuai menurut kejadian dan sifat yang “melekat” pada wujud (benda) yang hendak “dinamai”. Karena  nama-nama dari segala sesuatu yang diciptakanNya dibentukNya dijadikanNya semua yang “terbentuk” semuanya segalanya adalah “jalan” untuk “Mengenal DiriNya secara Sempurna”, sebuah “Proses” menyeluruh “MengenalNya, Memuat Alloh SWT dihatinya”, sehingga “Amanah Alloh SWT dapat sempurna terpikul oleh manusia”. Ini artinya “Sebagai Perbendaharaan” belum ada mahluk yang mengenal sehingga “Masih Tersembunyi, Masih Gaib”, Gaib tapi sungguh-sungguh “Ada” hanya belum “Dikenal”, maka untuk itulah sesungguhnya Alloh SWT menciptakan mahluk manusia sebagai “kalifah” yang tidak lain untuk MengenalNya Yang Maha Gaib itu hingga sempurna. Artinya pada waktu itu “Sebagai Perbendaharaan Tersembunyi”, sebagai Suara, sebagai Teriakan yang “melekat” pada segalanya, pada segala sesuatu termasuk Alam Semesta itu sendiri, suatu bunyi agar “Dikenal” akan tetapi tidak ada yang sanggup menerimanya. Karena itulah pada saat-saat demikian itu Amanah Alloh SWT “Aku Ingin Dikenal” lewat dan tembus begitu saja saat ditimpakan kepada Langit Bumi dan Gunung-Gunung, semua menembus dan tidak menetap, sampai kemudian terbentuk tercipta “sosok-sosok tubuh manusia” yang tiba-tiba dapat “menetap” di hatinya, hati (akal) manusia “sanggup” menerima, maka “dipikullah” Amanah Alloh SWT itu oleh manusia. Pada saat itulah manusia mulai memahami mengenali segala sesuatu (diajarkan oleh Alloh SWT nama-nama seluruhnya). Dimana tempat manusia saat itu adalah Surga, itulah Surga Adam, sosok manusia yang hendak dijadikanNya sebagai kalifah. Surge itulah yang memang akan menjadi tempat bagi manusia kelak bila telah menjadi kalifah. Itulah Surga yang di “sisi” Alloh SWT dalam KeMaha Luasan Yang Tanpa Batas sebagaimana Makna dari Asma ul Husna itu Sendiri yang akan ditempati “kalifah” yang dijadikanNya dengan proses Duniawi yang sementara dan tidak kekal.
Dalam uraian terdahulu telah disinggung apa dan bagaimana “Proses Hisab Akhirat” itu yang akan terjadi pada diri mahluk khususnya manusia dan jin, bagaimana Alam Semesta itu secara Absolut dihantamkan ditimpakan atau penghancur leburan penghancur luluhan Alam Semesta secara menyeluruh Absolut menjadi wujud menyeluruh zarah-zarah itu dihantamkan ditimpakan atas mahlukNya khususnya manusia dan jin sebagai “Amanah Alloh SWT”. Banyak yang sebenarnya belum memahami “Apa Kiamat Kubro” itu sesungguhnya, Akhirat serta Hisab, padahal semua jawabannya ada di dalam Peristiwa Isra Mikraj, yang semakin dijelajahi akan semakin terkuak terbuka pengetahuan macam apa sesungguhnya yang terkandung didalamnya. Karena bila seluruh Alam Semesta ini sungguh “Hancur-Luluh” maka yang terpandang tidak lain Ayat-AyatNya Belaka, Dua Keping Lauhil Mahfuz Yang Amat Besar, itulah Pengenalan DiriNya Paling Sempurna, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Kitab Suci Al Quran yang isinya melingkupi seluruh Kitab-KitabNya yang lain seluruhnya semuanya sejak Nabi Adam AS. Sebagaimana kita ketahui bahwa apa yang diturunkan Alloh SWT kepada Seluruh Para Nabi dan RasulNya adalah Nilai-Nilai Surgawi, Nilai-Nilai yang akan menyampaikan mahluk manusia kepada Wilayah KeTak Terbatasan dengan Kehidupan Kekal didalam Surga itu. Karena itulah istilah “permisalan” dengan pengertian dan pemahaman yang lebih luas dimana aplikasi sesungguhnya memang tidak sesederhana yang terbayangkan akan melingkupi benda-benda seluruhnya juga sifat-sifat yang melekat didalamnya. Utamanya permisalan bagi terbentuk bumi kita ini, dimana “kesempurnaan” bumi kita ini terbentuk juga akan dapat menjelaskan planet-planet lain yang terbentuk “kurang atau tidak sempurna”, sebagaimana “perbedaan” antara Kesempurnaan Kitab Suci Al Quran dengan kekurang sempurnaan Kitab-Kitab sebelumnya, (Al Quran tentu lebih sempurna dari Kitab Taurat) padahal sangat jelas bagaimana Nabi SAW telah mempermisalkan dirinya dengan Nabi Musa AS, pada akhirnya pasti akan  ada jawaban mengapa di sisi Alloh SWT (hal penciptaan) maka yang diciptakanNya hanyalah “Langit dan Bumi” yang dalam persepsi Penulis justru mengandung pengertian yang sangat-sangat kental dengan istilah “permisalan-permisalan” termaksud.
Katakanlah dengan wujud-wujud “permisalan” atas segala kejadian termaksud maka kejadian-kejadian Di Seluruh Alam Semesta Bintang Gemintang menjadi  dapat teringkas sedemikian rupa cukup dengan sebutan penciptaan “Langit dan Bumi”. Artinya dengan kejadian Langit dan Bumi, maka sudah mencakup kejadian “seluruh planet” gugusan-gugusan Bintang Gemintang bahkan zarah-zarah dalam KeMaha Luasan Tanpa Batas. Disinilah betapa kejadian Langit dan Bumi mengandung didalamnya banyak kejadian-kejadian “semisal” antar planet, galaksi yang satu dengan galaksi yang lain (secara keseluruhan) misalnya sehingga cukup dengan sebutan Langit dan Bumi, sungguh mencakup keseluruhan yang “semisal”, walau Cuma sebuah bulan atau matahari, atom-atom, sel-sel, zarah-zarah tidak meninggalkan yang besar maupun yang kecil, baik Langit dan Bumi makro maupun mikro (yang dengan secara mikro misalnya akan lebih dimengerti tentang Alloh SWT lebih dekat dari urat nadi di leher kita). Dan bila dikembalikan maka akan kembali menjadi sesuatu yang “padu” belum ada “pemisahan” antara Langit dan Bumi. Bahwa penciptaan segala sesuatu itu bila menurut Agama akan demikian sederhana sekaligus sangat-sangat kompleks kalau itu untuk kepada penjelasan paling sempurna memadai yang sangat detail langsung tuntas sampai pokok-pokok permasalahan yang benar-benar tidak berubah lagi disebabkan memang tidak pernah ada “perubahan” dalam Hukum Alloh SWT AgamaNya tersebut. Sedangkan penciptaan atas segala sesuatu Alam Semesta Bintang Gemintang bila menuruti manusia dengan segudang Teori yang digagas hingga kini masih terus dalam pencarian serius dan intensif hingga kepada kesimpulan-kesimpulan menurut perhitungan-perhitungan sedemikian rupa, antara lain disebutkan bahwa umur bumi kita baru empat setengah milyar tahun. Tentu dengan perjalanan panjang mengikuti Teori-Teori yang memanjang dari hilir ke hulu awal ke akhir sejak terjadi Dentuman Besar awal mula terjadi terbentuk Alam Semesta ini. Akan tetapi apakah nanti umur bumi kita ini masih akan berubah bila ditemukan data-data terbaru yang lebih valid atau bila ada konsep lain, entahlah kecuali memang benar-benar telah final.
Dengan memahami tentang hakekat penciptaan Langit dan Bumi diatas, maka sekali lagi hendaknya dalam memahami Ayat-Ayat Alloh SWT jangan terjebak pada sifat-sifat yang sangat Lokalitas, karena sesungguhnya seluruh Ayat-Ayat Kalimat-KalimatNya pasti Rahmatan lil Alamin Non Lokalitas, dari Alloh SWT yang menuju Alloh SWT sesuai makna Asma ul Husna yang Sembilan Puluh Sembilan Serba Maha Serba Non Lokalitas. Pemahaman tentang penciptaan Langit dan Bumi seharusnya menjadi Rasional, bukan menuju Alam Khayal yang mengawang-awang yang semakin tidak dapat dipahami dan dimengerti khususnya dengan pendekatan secara IPTEK misalnya. Masalahnya sejauh ini sikap kekakuan dari otoritas KeAgamaan masih kuat terasa, belum dapat cair sepenuhnya, yang lebih disebabkan “keterjebakan” kembali pada sifat-sifat yang sangat Lokalitas, sehingga belum dapat menerima pendapat-pendapat berbeda. Padahal bila saja lebih mendalami secara sungguh-sungguh “permisalan-permisalan” yang sedemikian Luas sedemikian Kaya dengan keaneka ragaman Tak Terbatas pada “Kebenaran” yang jelas-jelas “melekat” pada seluruh Para Nabi dan RasulNya, karena sama-sama “Kebenaran” berasal dari Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa, maka “penerimaan” atas pendapat yang berbeda lebih Persuasif, dan bila “melenceng, menyimpang” maka yang ditonjolkan “nasehat” dengan argumen dan penjelasan memadai, sehingga dapat “sahih” sebagai tolok ukur. insyaAlloh “Nasehat” merupakan kata kunci dengan makna yang lebih arif bijak lebih adil untuk dapat diterima semua pihak. Bagaimanapun pengetahuan tentang kejadian Langit dan Bumi merupakan kunci untuk dapat memahami Alam Semesta Bintang Gemintang sehingga akan berhasil menjelajahinya, manusia sungguh akan memiliki kehidupan Tanpa Batas. Jadi pahamilah apa itu Kiamat Kubro sesungguhnya, karena bolehjadi “Hancur Luluh” Alam Semesta ini hanyalah perumpamaan walau sungguh merupakan “Pemandangan” yang sebenarnya yaitu sebagaimana Nabi Musa AS memandang Gunung Thursina itu “Hancur Luluh” padahal sesungguhnya Gunung Thursina itu “Tetap Ditempatnya”, saat Hancur Luluh maka yang terpandang adalah Ayat-AyatNya Belaka (Kitab Suci Taurat) berupa Sepuluh Perintah Alloh SWT. Maka ketika Alam Semesta ini “Hancur Luluh” bisa dipastikan Ayat-Ayat Alloh SWT pula yang akan terpandang berupa Dua Keping Lauhil Mahfuz yang Amat Besar (Kitab Suci Al Quran), sebagai Nilai-Nilai Surgawi Tersempurna, Pengenalan DiriNya Paling Sempurna.
Hal yang harus dipahami dan dimengerti “Hisab” atas segala Agama adalah Kitab Suci Al Quran yang di Lauhil Mahfuz, karena isinya paling sempurna serta “menyempurnakan” seluruh Kitab-Kitab sebelumnya. Maka ketika Cahaya Al Quran yang terpandang sebagai Nur Nabi Muhammad SAW “mengejawantah” saat itulah semua “Kebenaran” di seluruh pelosok Alam Semesta Bintang Gemintang dari segala Agama Tanpa Kecuali akan muncul ke permukaan termasuk Agama Nabi Adam AS, walaupun telah dikelilingi sepenuhnya oleh perkataan syaitan yang terkutuk, sehingga “tersembunyi” sedemikian rupa dari pandangan manusia. Padahal  semua “kebenaran” itu selalu terjaga dijaga langsung oleh Alloh SWT sebagai MilikNya Sendiri, dari Kemurnian KeMaha Sucian DiriNya Sendiri, adalah Prilaku AhlakNya Sendiri, yang pasti naik ke sisi Alloh SWT terkumpul sebagai ayat-ayatNya. Hisab itu lebih kepada “persesuaian” secara “menyeluruh” dengan Kitab-Kitab SuciNya dengan sesempurna-sempurnanya, sehingga bukan sekedar keteladanan dari prilaku seluruh Para Nabi dan RasulNya melainkan dengan isi Kitab SuciNya itu sendiri secara menyeluruh. Dengan demikian isi  seluruh Kitab Suci Al Quran yang Di Lauhil Mahfuz itu dihantamkan ditimpakan atas diri-diri mahluk seluruhnya termasuk diri dan umat Nabi Adam AS yang semua pasti juga menjalani “Hisab”, sehingga Kekuatan-Kekuatan Alloh SWT itu secara sempurna sepenuhnya ada pada diri mahluk tersebut. Sekali lagi ini tidak sekedar “Keteladan” prilaku Nabi termasuk prilaku Nabi Muhammad SAW sewaktu hidup yang kita semua tahu hanya meliputi wilayah sangat terbatas di wilayah Arab, melainkan harus meliputi Seluruh Wilayah Alam Semesta Bintang Gemintang Langit dan Bumi yang kita kenal sebagai Wilayah Surgawi yang Sungguh Tanpa Batas sesuai makna Asma ul Husna. Maka “Penetapan” Kekuatan-Kekuatan Alloh SWT inilah yang akan didapat diri-diri manusia tersebut setelah “Menjalani Hisab” yang dengan KekuatanNya tersebut dirinya menjadi “Kekal” hidup dalam Surga yang dijanjikan. Karena meliputi Seluruh Alam Semesta Bintang Gemintang Langit dan Bumi secara Tanpa Batas inilah maka “Kiamat Kubro” itu pasti terjadi, sehingga terpandang secara “Menyeluruh” Hukum Alam Semesta itu sendiri, Fitrah Alloh, Sunnatulloh, Kitab Suci Al Quran yang di Lauhil Mahfuz, sebab itulah “Nilai- Nilai Surgawi” yang berlaku di Akhirat.
Dengan demikian apa yang tergambar dalam Peristiwa Isra Mikraj seharusnya bukan sekedar perjalanan yang naik ke sisi Alloh SWT melewati Langit demi Langit melainkan bagaimana seluruh mahluk mendapat pelajaran cara menuju Sidratul Muntaha serta SurgaNya. Harus berprilaku berahlak Alloh SWT dengan mengikuti ayat-ayat dalam seluruh Kitab SuciNya, yang aplikasi prilakunya itu melingkupi segala bidang kehidupan. Termasuk KeEkonomian Alloh SWT yang Rahmatan Lil Alamin dimana “lambat atau cepat” akan menihilkan yang disebut “mata uang”, karena itu Sistem KeEkonomian ini sungguh bebas dari Krisis Keuangan macam apapun, bahkan dalam Lima Tahun ke depan bila dikehendaki Rupiah Bisa sejajar bahkan lebih tinggi dari Dolar serta mata uang lainnya. Akan tetapi sedemikian rupa Sistem KeEkonomian Alloh SWT ini yang sama sekali jauh dari sifat Kapitalistik, semakin berhasil justru di seluruh pelosok bumi menjadi Adil Makmur Tanpa Kecuali. Karena itulah selayaknya Negara-Negara lain jangan mencurigai Indonesia akan menjadi Perusak Tatanan Duniawi yang kini berjalan, yang seakan terpandang mulus, padahal senantiasa muncul pergolakan dan ketidak stabilan bahkan terkadang diluar prediksi Negara bersangkutan. Dan seharusnya Negeri ini dapat menghapus segala kebijakan yang semakin menjauhkan rakyat untuk berperan serta demi menumbuhkan keekonomian yang Rahmatan lil Alamin. Sangat mengherankan suatu komoditas yang memiliki “nilai ekonomi tinggi” justru dibuat kebijakan-kebijakan yang komoditas itu hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu, sangat kapitalis. Karena itu harus ada “Regulasi” kebijakan sehingga rakyat dapat bebas mengakses komoditas-komoditas tersebut sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan, tentu juga dengan arahan memadai agar produk yang dihasilkan dapat menjadi produk unggulan. Produk yang berasal dari jati serta kayu keras lain yang sepadan semisal kwalitasnya, dimana Hukum yang diberlakukan dari penjajahan yang kapitalistik, padahal pemberdayakan masyarakat luas sedemikian rupa justru berpotensi lebih menyejahterakan rakyat. Kebertanggung jawaban rakyat atas perkayuan secara langsung justru demi mencegah pembalakan liar serta demi mencegah kerusakan hutan yang kini sudah sangat parah, dimana semua ini lebih karena pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa Alloh SWT.
Kemudian “Perencanaan dalam pembangunan jalan” selain aplikasi “Kelistrikan” bisa dilakukan, dimana semakin “berat “ beban justru semakin banyak daya listrik yang akan didapat (dihasilkan), maka teknologi sederhana ini pada “kemacetan” ruas-ruas di perkotaan menjadi penghasil energy yang lebih ramah dan tidak terbuang percuma seperti yang terjadi selama ini. Dan batas sisi-sisi jalan bisa saja dibuat dari accu atau batere sebagai wadah pengumpul energy, tentu akan ada banyak kegunaan lain karena riset-riset di bidang IPTEK terus berkembang dengan aplikasi-aplikasi yang semakin canggih di masa depan. Kendaraan-kendaraan yang melayang dan sungguh saling tidak “bersentuhan” sebuah pengembangan pengetahuan dari sifat Kasih Sayang Alloh SWT (bagian dari Teknologi Asma ul Husna termasuk didalamnya Teknologi Buraq) perwujudan yang saling tarik menarik atau tolak menolak yang secara kasat mata terpandang pada pergerakan antar planet antar bintang dansebagainya. Pada Teori Kuantum serta Nanotek sebagai Teknologi Terapan akan semakin diberdayakan diakrabi walau dimulai dengan kesederhanaan sedemikian rupa mengikuti dana-dana yang memang sangat terbatas. Akan tetapi karena dasar pemahaman semua ini adalah Asma ul Husna, Teknologi yang ada terkandung dalam Ayat-Ayat Alloh, Teknologi Cahaya Diatas Cahaya , Teknologi Maha Sempurna yang Tahapan-Tahapan semua ini sangat jelas tergambar dalam Peristiwa Isra Mikraj, maka kita semua selayaknya menyadari memang sedang dibawa menuju Teknologi Maha Sempurna tersebut. Alam Semesta sebenarnya dapat “terdeteksi”  bagaimanapun wujud dan hakekatnya dalam warna-warna cahaya hingga ke pendeteksian muatan-muatan yang melekat padanya. Pendeteksian sehingga muatan-muatan positif ataupun negative itu memungkinkan terjadi aplikasi teknologi demi mengubah benda yang kita naiki dengan muatan-muatan yang sama agar tidak terjadi tabrakan bahkan dengan cara yang otomatis. Yang jelas pada saatnya Teknologi yang berdasarkan Asma ul Husna khususnya Nama-NamaNya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang dalam hal ini lebih sebagai prilaku Al Hadid yang telah terbaca oleh manusia dapat lebih didalami.
Pembangunan jalan baru utamanya di Luar Jawa maka untuk “lahan jalan” paling tidak lebarnya 300M (Tiga Ratus Meter), katakanlah jalan harus bisa menghidupi dirinya sendiri, dalam hal biaya perbaikan ataupun perubahan infrastruktur tidak harus seluruhnya dari Pusat, sehingga harus dirancang sedemikian rupa, akan diatur baik di kanan di tengah maupun di kiri. Selain itu insyaAlloh ada teknologi yang berkaitan dengan gravitasi betapapun berat beban akan dapat diringankan sehingga tidak akan terjadi kerusakan. Artinya pembangunan yang ada sekarang ini, termasuk rancang bangun Perlistrikan untuk penerang jalan dansebagainya harus ada aplikasi yang memadai serta perencanaan yang matang melihat ke masa depan. Dan Negeri ini harus bisa memanfaatkan semaksimal mungkin IPTEK bila tidak ingin selalu dalam keruwetan kekisruhan kerumitan serta permasalahan-permasalahan lain. Juga seharusnya para pengguna jalan tidak perlu bayar seperti pada jalan tol selama ini. Di bidang “Kelistrikan” bolehjadi kita harus membangun PLTN akan tetapi selayaknya bekerja sama dengan seluruh Negara Kawasan Sekitar karena kita memiliki banyak pulau yang bisa dipakai untuk membangun PLTN tersebut, disamping itu kita sungguh sudah memiliki Sumber Daya Manusia untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir tersebut, sehingga pada kenyataannya kita termasuk Negara yang telah sangat siap untuk dapat mewujudkannya. Walau lahan pada jalan termaksud pada sisi tertentu dapat ditanami tanaman keras semisal jati yang harganya sangat lumayan untuk biaya jalan ke depan, akan tetapi berbagai tanaman obat yang lengkap serta pertamanan yang menyejukkan hati juga sangat layak dibudi dayakan. Sekali lagi banyak aplikasi-aplikasi yang memungkinkan lahan jalan termaksud dapat menghasilkan nilai tambah baik dari unsure IPTEK maupun yang Alami berupa tanaman. Demi menuju wilayah yang Non Lokalitas selayaknya jangan lagi terjebak pada sifat-sifat yang sangat Lokalitas. Untuk itu kita harus dapat menyimak “perbedaan” antar yang Non Lokalitas dengan yang sangat Lokalitas, dimana yang Non Lokalitas akan selalu berada dalam “Kemurnian” Asma ul Husna yang Tanpa Batas, sedang yang sangat Lokalitas pasti terbatas, bersifat sementara, tidak kekal juga tidak suci ataupun kesucian semu, fatamorgana, ketika ditarik naik ke sisiNya pasti tidak akan sampai pada KeMaha SempurnaanNya. Siapapun yang tidak dapat sempurna mendapatkan Kekuatan-KekuatanNya pastilah dirinya akan hancur dan hancur kalah oleh Kemaha dahsyatan Alam semesta Langit dan Bumi, demikian itulah gambaran tentang Neraka. Jadi hanya yang memiliki Kekuatan-Kekuatan Alloh SWT (terjadi setelah dirinya menjalani “Hisab”) yaitu dengan kekuatan yang lebih lebih dan lebih kuat dari segala kemaha dahsyatan Alam Semesta Langit dan Bumi maka dirinya dapat masuk Surga. Karena Surga itu isinya Kekuatan-Kekuatan Serba Maha Belaka, tidak ada yang dapat memasuki melainkan mahluk yang juga memiliki Kekuatan Serba Maha pula, semua tidak lepas dari Asma ul Husna. Adanya doa memohon kebahagiaan di Dunia dan kebahagiaan di Akhirat, ternyata banyak yang mengira dengan bergelimang kemewahan luar biasa di Dunia ini, akan juga dapat dapat kemewahan yang lebih luar biasa lagi di Akhirat, padahal apakah dirinya termasuk yang berprilaku Adil? Karena salah satu Nilai-Nilai Surgawi itu adalah Adil, sehingga tidak akan masuk Surga bagi yang tidak berprilaku Adil, atau yang membiarkan manusia lain mati kelaparan padahal dirinya termasuk yang sangat sanggup untuk menolongnya, sebenarnya mereka mengetahui, jadi ini hanya berusaha mengingatkan saja agar tidak terlanjur menyesal nantinya, khusus bagi yang hidup bermewah-mewah. Sebagai seorang hamba betapa ingin kita semua seluruh manusia dapat segera mengerti isi Kitab Suci Al Quran untuk dapat menyimak uraian-uraian ini.
Pada dasarnya siapapun yang mau “menyumbangkan” hartanya dengan keikhlasan kesadaran akan tujuan-tujuan Terbaik bangunan Keekonomian seluruh Para Nabi dan RasulNya ini, dari Agama manapun sejak Nabi Adam AS, insyaAlloh Surga adalah layak baginya ataupun keringanan yang sangat atas azabNya. Sebagai balasan karena apa yang disumbangkan itu untuk memuliakan Ayat-Ayat Alloh SWT yang menjadi Rahmatan lil Alamin sesuai KeMaha Luasan Surga, dan karena yang dibangun sungguh Nilai-Nilai Surgawi. Disamping itu jika diminta Penulis tentu bersedia memberi arahan/saran/informasi khusus bagi Negara yang mau menerapkan Sistem ini, karena seluruh Negara berhak atas Rahmat Alloh SWT. Bijaksanalah dalam pengelolaan Negara, jangan terpedaya oleh bentuk-bentuk “perbedaan” dimana sifat-sifat yang sangat Lokalitas pengaruhnya luar biasa bila untuk saling menghancurkan. Utamanya karena Dialog Antar Umat Beragama adalah Dialog Antar Para Nabi dan RasulNya, maka walau tiap Negara agak berbeda tapi sebenarnya “semisal” dan semua pasti menuju Asma ul Husna. Dan semua sebenarnya tergantung Pemimpin Negari, dimana bila Negara Indonesia sendiri belum mau menerapkan, belum bersedia membangun Perekonomian yang Rahmatan lil Alamin ini, kita lihat saja apakah cita-cita Adil Makmur dapat terwujud? Yang jelas rakyat telah dijanjikan “kesejahteraan”, menuju kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tiap pergantian kekuasaan di pemerintahan spirit mencapai Adil Makmur senantiasa dikumandangkan walau hingga kini hasilnya masih kekecewaan.
Karena bagaimanapun bila Negeri ini terus mengikuti Sistem Duniawi yang berjalan, diprediksi setinggi apapun perekonomian lebih ke Area Angan-Angan. Adakah satu Negara di Dunia ini yang sungguh Adil Makmur terbebas murni dari krisis? Ini karena “Adil” itu sungguh “Bahasa Surga”, tidak mungkin terwujud kecuali dengan membangun Nilai-Nilai Surgawi, jadi apalagi yang mesti dibangun selain Ayat-Ayat Alloh SWT sebagai Nilai-Nilai Surgawi termaksud? Hal yang seharusnya patut direnungkan akibat-akibat logis macam apa bila Nilai-Nilai Surgawi itu sungguh terbangun. Manusia seharusnya tidak terpedaya pemandangan hanya dari satu sisi saja, harus dapat secara komprehensif dari segala sisi segala sudut pandang, sehingga tidak lagi terjebak pada sifat-sifat yang sangat Lokalitas, hanya penggalan-penggalan sangat tidak sempurna sehingga salah dalam kesimpulan. Bagaimana bumi yang bagaikan debu ini pada masa lalu dipandang sebagai pusat Alam Semesta dan bintang-bintang itu hanya benda-benda kecil yang bertebaran di Antariksa, maka itulah contoh-contoh yang hingga kini terus terjadi dan berulang, membuat kesimpulan dengan data-data yang kurang lengkap.
Apa yang disebut Nilai-Nilai Surgawi baru terpandang nyata sebagai sesuatu yang “Sahih” bila Wilayahnya memang “SeSurga” yang dalam hal ini SeAsma ul Husna. Mungkin Energi Nuklir dianggap berakibat sangat dahsyat dampak radiasi jadi menakutkan. Ketakutan ini efektif bila untuk menakuti umat tentu bila dengan penjelasan yang tidak memadai, artinya ini masih merupakan bagian kecil dari Alam yang dikuak tapi telah digunakan sedemikian rupa seakan kesimpulan final. Bagaimanapun tidak mudah meluaskan pandangan manusia yang telah demikian terjebak terbelenggu terpenjara oleh Alam yang Serba Lokalitas yang sama sekali tidak dapat menerima persepsi ajaran Agama adanya Kebangkitan Hisab Hidup Kekal Surga Neraka walau bolehjadi perkembangan lebih jauh IPTEK khususnya Nuklir justru akan dapat mengungkap “kebenaran” dari ajaran Agama. Kita memang sangat memerlukan (IPTEK) Nuklir disamping Nanotek secara lebih intensif (kemandirian) yang sama sekali bukan untuk senjata pembunuh melainkan kepada sebuah “peta” menyeluruh sehingga pandangan terhadap Alam Semesta demikian sempurna. Lebih kepada Agama berarti pengenalan Asma ul Husna yang tidak lain menuju Teknologi Maha Sempurna, KeAdilan Maha Sempurna, KeMakmuran Maha Sempurna, Kehidupan Kekal Serba Maha Serba Non Lokalitas. Sudahilah mengutamakan ego-ego yang sangat Lokalitas, perluaslah pandangan kepada yang Serba Non Lokalitas sehingga kita menjadi lebih bijak dan arif dalam setiap masalah, senantiasa memandang pada “Kesemestaan”.
Bahkan pada saatnya berbagai Alam yang tidak kelihatan akan tersingkap dengan wajar dimana Nilai-Nilai Surgawi yang Tanpa Batas membuat batas-batas yang menyelimuti Alam-Alam tersebut runtuh. Bila saja manusia tahu apa sesungguhnya Nilai-Nilai Surgawi yang sungguh menuju KeWilayah Tanpa Batas pastilah akan dapat memaklumi konsekwensi-konsekwensi logis mengapa Alam senesta ini tidak melulu benda-benda belaka. Pada masa sekarang dimana manusia telah melihat nyata dengan sangat-sangat jelas betapa KeMaha Luasan Alam Semesta Bintang Gemintang yang tidak mungkin terjelajahi tanpa “Hidup Kekal”, kenapa masih demikian ngotot lebih memilih kenikmatan “sebumi” yang bagaikan “debu” ini dengan perang, senjata dan kekuasaan berebutan saling jegal tipu-menipu bohong-membohongi penuh prasangka? Semua akibat terbelenggu terpenjara dalam Lingkungan yang Serba Lokalitas sangat sementara dan tidak kekal yaitu Dunia ini. Juga sungguh tidak mudah menjelaskan lebih jauh mengapa Nuklir dan Nanotek penting demi sebuah “peta” Alam Semesta Tanpa Batas dengan tuntunan Asma ul Husna? Terobosan macam apa di bidang pangan agar dapat mengubah sel-sel tubuh manusia kepada saat Adam masih di Surga? Apa hubungan tumbuh-tumbuhan (tentang pohon kayu yang terkutuk dalam Al Quran) baik fungsi hutan pertanian perkebunan, tanaman obat, juga perikanan dansebagainya, karena sesungguhnya seorang hamba hanya merasakan “petunjuk” itu harus demikian dan demikian, apa semua ini sungguh dapat mengubah mengembalikan diri-diri kita manusia seluruhnya ke fitrah Adam Surgawi? Jalan pikiran Agamis tidak selalu sejalan dengan pemahaman-pemahaman Para Ilmuwan masa kini khuswusnya dalam penguasaan Antariksa kelak dengan cara apa manusia sungguh akan dapat menjelajahinya. Ilmu Kedokteran yang berkembang pesat saat ini tentu telah melakukan tes-tes tentang kondisi tubuh manusia sekian lama di Antariksa. Karena walau agak kurang dipahami pada kenyataannya Riset-Riset Ilmiah dapat difungsikan sebagai “pendekatan” terhadap Kitab SuciNya.
Sejauh ini gambaran tentang Surga tidak dapat menyentuh Nurani Para Ilmuwan mungkin cara penyajiannya tidak kepada adanya persamaan kesemisalan sebagai wujud “pendekatan” antara pandangan yang satu dengan yang lain, disebabkan masing-masing Nurani berusaha menterjemahkan sesuatu yang sama-sama Ideal, sama-sama Sempurna akan tetapi tahapan-tahapan yang sungguh Ilmiah dan Rasional tidak didapat tidak ditemukan. Khususnya penjelasan memadai Peristiwa Isra Mikraj secara Ilmiah dan Rasional yang sungguh dapat membuka wawasan KeAgamaan bagi Para Ilmuwan, dimana pendekatan-pendekatan logis secara Ilmiah dan Rasional terbukti akan sesuai Teori-Teori yang ada serta dengan Riset-Riset yang telah dilakukan. Nurani Para Ilmuwan insyaAlloh terbuka untuk dapat menerima “Pencerahan” dari Peristiwa Isra Mikraj tersebut. Bagaimanapun Pra Ilmuwanlah yang akan dapat mengejawantahkan merealisasikan Ayat-Ayat Alloh SWT sehingga Teknologi itu hadir dalam kehidupan manusia. Tanpa Ayat-Ayat Alloh SWT peran Ilmu sebagai “pintu gerbang” Surgawi tetap tidak akan dapat membuka KeWilayahan Surga yang sesungguhnya, karena pasti masih terjebak pada KeWilayahan yang sangat Lokalitas, masih “Serba Lokalitas”. Maka KeSempurnaan yang Maha Sempurna, KeIdealan yang Maha Ideal masih tersembunyi bagaimanapun usaha Para Ilmuwan untuk membukanya atau untuk dapat memasuki Surga yang “Serba Non Lokalitas” tersebut.
Munculnya “Fatamorgana Surgawi” dibenak Para Ilmuwan memperrumit pilihan bagi manusia, apa yang sungguh benar dikatakan salah dan apa yang sungguh salah dikatakan benar, maka disinilah peran “Kemurnian” Asma ul Husna untuk membedakan secara jelas mana “Wilayah Surga yang Non Lokalitas” itu sebenarnya. Tidak boleh ada “pertentangan” makna dalam Asma ul Husna, bahwa yang Maha Hidup Kekal jelas tidak mungkin “mati”, tiba-tiba jadi tidak kekal sangat lokalitas dan pasti berumur pendek, maka demikian itulah di Alam Hakekat. Sedang di Alam Fatamorgana yang masih Serba Lokalitas maka yang Maha Hidup Kekal “seakan” dapat terbunuh dibunuh, tidak kekal, mati sehingga jelas-jelas menyalahi dan sangat bertentangan dengan “Kemurnian Asma ul Husna yang Serba Non Lokalitas”. Agama membedakan wilayah yang sebenarnya masih dalam Lingkungan “Serba Lokalitas” sebagai Lingkungan “Api” yang akan berbeda dengan Lingkungan Cahaya Diatas Cahaya Serba Non Lokalitas. Perkataan mana yang benar dan yang salah karena menyalahi kebenaran itu sendiri, yang dianggap Tuhan ternyata ditinggalkan Tuhannya, walau memohon sampai tiga kali ternyata seorang utusan Iblis tetap melekat padanya tidak mau mundur hingga dirinyapun “karam” di Lingkungan tersebut, dan juga pasti tidak akan dipertemukan dengan Para Nabi dan RasulNya yang sungguh-sungguh “Sahih”. Lingkungan yang dianggapnya “Surga” bahkan pada Tingkat Tertinggi (Surga itu bertingkat-tingkat). Padahal “Kesucian” Surga itu tidak dimungkinkan dapat dimasuki dan terjelajahi Tingkat demi Tingkat apalagi oleh seorang Utusan Iblis walaupun dengan “ikut” melalui manusia, ikut dalam tubuh manusia. Bahwa sesuatu yang jelas akan dapat menjadi tidak jelas bila pandangan lebih berdasarkan ego pemaksaan diri dan semua baru menjadi kenyataan sempurna tidak akan terbantah lagi yaitu saat Hisab.
Fatamorgana itu sungguh ada dan nyata, mirip dengan aslinya siapa yang dapat membedakan? Walau demikian ini hanya nasehat agar kebenaran itu terungkap justru oleh diri mereka sendiri, disebabkan tiap Nabi memiliki kalimat-kalimat syafaat yang akan dapat meluruskan menjernihkan Kitab Suci yang dalam pegangan umatnya, sehingga Alloh SWT Sendiri yang akan mengampuni dengan kalimat-kalimat syafaat tersebut yaitu dengan didatangkanNya kembali Para Nabi dan RasulNya itu kepada umat masing-masing. Karena itu tidak layak seorang hamba atau orang-orang yang berada diluar Kitab Suci Para Nabi dan RasulNya itu “memvonis” seakan dirinya lebih tahu dari Para Nabi dan RasulNya yang bersangkutan. Nabi Musa AS itulah yang paling memahami isi Kitab Taurat, Nabi Isa Al Masih yang paling mengetahui isi Injil, Sang Budha itulah yang paling mengerti isi Kitab Suci Agama Budha. Dan sesungguhnya Alloh SWT akan mendatangkan kembali seluruh Para Nabi dan RasulNya sejak Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW dan mengambil umat masing-masing bagi yang sungguh-sungguh “bersesuaian” dengan isi Kitab Suci yang dibawanya sehingga memasuki Surga yang di sisiNya. Dan sesungguhnya “perbedaan” Agama yang bermacam-macam di Bumi kita yang bagaikan debu Alam Semesta ini hanyalah contoh pelajaran, betapa di Seluruh Alam Semesta Bintang Gemintang (SeSurga) ini akan sedemikian banyak lagi “perbedaan” lebih dari apa yang terbayangkan dalam benak manusia, ketika menyadari betapa Bumi itu di sisi Alloh SWT tidak hanya satu, melainkan Tanpa Batas yang tersebar di segala Bintang Gemintang sesuai dengan KeMaha Luasan Surga yang Tanpa Batas dimana segala Bintang Gemintang tercakup, sehingga akan dapat memahami secara wajar, bahwa Adam Hawa sesungguhnya tidak diturunkan hanya ke satu Bumi kita ini, melainkan sesuai KeMaha Luasan Surga itu sendiri yaitu ke segala Bumi di segala penjuru Alam Semesta Bintang Gemintang yang seluruhnya semuanya juga memiliki Nilai-Nilai Surgawi sama semisal dengan Lingkup Kehidupan kita di Bumi yang bagaikan debu ini.
Apa yang tertulis dalam Al Quran adalah agar pemegang Kitab Suci termaksud (yang hendak diluruskan melalui Al Quran) mau melakukan perbaikan dengan meneliti kembali Kitab Suci dalam pegangannya sehingga menjadi lurus kembali. Karena akan dapat terlihat jelas mana yang sungguh-sungguh ucapan Para Nabi dan RasulNya dan mana yang sebenarnya persepsi umat. Sesuai dengan yang tersyirat dalam Peristiwa Isra Mikraj, maka pintu-pintu Langit sungguh akan terbuka, sehingga manusia dipertemukan dengan seluruh Para Nabi dan RasulNya. Dan Langit demi Langit itu akan terbuka yaitu dengan Ayat-Ayat Alloh SWT yang semua sama semisal bersesuaian dengan penempatan seluruh Para Nabi dan RasulNya itu Langit demi Langit. Dimana wujud Langit itu akan terpandang sebagai Lingkup Cahaya Diatas Cahaya dengan kekuatan Kilat sehingga akan “terbakarlah” bagi siapapun yang tidak memiliki Cahaya Alloh SWT, Cahaya Surgawi yang akan dapat “menetralisir” kekuatan perusak macam apapun. Cahaya Alloh SWT ini pada diri manusia terakumulasi sebagai “Akal” akan tetapi telah “menyatu” lahir batin jasmani ruhani dalam KeTak Terbatasan Asma ul Husna. Setelah “Hisab” maka pandangan Akal manusia adalah SeSurga sedemikian rupa menjadi kalifatulloh, sosok-sosok mahluk yang memiliki fitrah Alloh SWT belaka. Bahwa kekuatan-kekuatan Langit tersebut senantiasa “menyempurnakan” segala yang tidak sempurna, yang cacat tidak punya kaki tiba-tiba tumbuh kaki sesempurna-sempurna bentuk kaki. Ada daya tumbuh, daya perbaikan atas wujud manusia sehingga akan “muda” terus sesempurna-sempurna wujud “kemudaan” manusia. Yang terlihat buruk rupa di sunia akan jadi secantik-cantik ataupun seganteng-ganteng mahluk sesuai kebaikan hatinya saat di dunia ini. Apapun kecacatan akan tertutupi dimana tubuh-tubuh akan berganti rupa dengan yang baru, seluruh sel-sel kebaikan akan secara otomatis bergerak menebar kebaikan, memperbaiki apapun pada diri manusia. Termasuk Akal yang selama di dunia ini sangat berpandangan Lokalitas karena terpenjara terbelenggu oleh dunia yang Serba Lokalitas, tiba-tiba menjadi Serba Non Lokalitas Tanpa Batas sesuai Wilayah Surga yang ditempatinya.
Karena itulah selayaknya dipahami bahwa bumi kita serta seluruh Alam Semesta Bintang Gemintang akan selalu sebagaimana kenyataannya yang kita pandang sekarang ini. Artinya bumi beserta Alam Semesta Bintang Gemintang akan “tetap ditempatnya” sebagaimana adanya. Dan “perubahan” itu terjadi tergantung yang menjadi “Pengelola” Bumi ini, yang karena memiliki Wawasan Surgawi yang Tanpa Batas, maka Bumi inipun terbangun dibangun dengan Nilai-Nilai Surgawi tersebut. Sehingga terjadi “Perubahan” Luar Biasa ketika Lingkup Bumi dan Alam Semesta ini menjadi Lingkup Surgawi yang Tanpa Batas, Serba Non Lokalitas. Sekecil apapun bentuk manusia di Bumi kenyataannya memiliki wilayah Kehidupan Tanpa Batas kekal selamanya. Disinilah bolehjadi akan terjadi “perbedaan” dengan wawasan Para Agamawan dalam memahami dan memaknai Kitab Suci tentang Surga dan Akhir Jaman. Bagi seorang hamba “penguasaan” manusia atas Alam Semesta Bintang Gemintang adalah sungguh-sungguh mengikuti tahapan-tahapan dalam Peristiwa Isra Mikraj dalam membangun Bumi ini dengan Nilai-Nilai Surgawi. Jadi akan mengikuti perkembangan-perkembangan wajar IPTEK yang sangat Rasional dan Ilmiah walaupun dengan Nilai-Nilai Surgawilah Bumi ini dibangun dan terbangun sedemikian rupa. Artinya  terjadi Kiamat Kubro itu tanpa harus memandang Bintang Gemintang yang pada kenyataannya jauh lebih luas dan lebih besar dari Bumi kita ini akan saling “bertabrakan” habis-habisan saling menghancurkan sehingga semua seluruhnya hanya bagaikan debu di segala penjuru Antariksa, dimana Bumi kita yang bagaikan debu ini ada di antah berantah yang pasti juga menjadi debu Antariksa yang bertebaran tak berbentuk apapun lagi. Karena dalam pandangan Para Agamawan bolehjadi “hancur luluh” segalanya segala Bintang Gemintang ini membuat segala sesuatunya tidak memiliki bentuk lagi kecuali debu Antariksa belaka yang merata di segala pelosok penjuru Antah Berantah yang kemudian akan berubah menjadi Surga dan Neraka.
Bahwa Penulis sangat menyadari apa yang terbaik di sisi Alloh SWT belum tentu dapat dipahami dan dimengerti manusia sebagai kebaikan dan kemuliaan sehingga belum tentu diterima dan diikuti. Termasuk sesuatu yang sungguh sesuai dengan isi Kitab SuciNya belum tentu dianggap mengingat di tangannyapun ada sesuatu yang bagi pandangannya lebih sesuai dengan isi Kitab SuciNya. Karena itu pilihan akan selalu jatuh pada “kesesuaian terbanyak”, jadi belum tentu yang sungguh-sungguh Terbaik di sisi Alloh SWT apalagi memang tidak dipahami dan diketahuinya. Bila saja memahami dan mengetahui tentu kealpaannya kelak akan ditanya Alloh SWT, sebagai tanggung jawabnya atas pilihannya di dunia ini. Karena itulah apa yang terjadi pada Negeri ini tentang “Kepemimpinan” adalah sebagaimana yang kita lihat dan jalani hingga saat ini. Komposisi yang sebenarnya hendak Penulis bangun adalah “Kebersamaan” utamanya seluruh orang-orang yang terlibat Reformasi Awal, seluruhnya semuanya akan diarahkan kepada tegaknya kalimat-kalimat Alloh SWT, justru mengikuti fitrah seluruh manusia.  Kepada petunjukNya agar seluruh Rakyat Negeri ini dapat terlepas dari belenggu keterikatan Duniawi. Apakah sungguh sekarang Negeri ini masih di Jaman Reformasi atau tidak, karena Para Tokoh tidak lagi dapat langsung berperan, bahkan “Kebersamaan” pada saat Awal Reformasi sudah lama kandas. Membangun “Kebersamaan” itu kembali sehingga dimungkinkan “semua dapat berperan aktif” demi mewujudkan cita-cita Reformasi yang pada sungguh murni serta tidak menyimpang atau disimpangkan oleh kenyataan Duniawi memang tidak mudah. Padahal semua menuju cita-cita “Semisal” dari Jaman ke Jaman bahkan sejak Jaman dahulu kala kerajaan-kerajaan silih berganti. Kemakmuran dan Keadilan adalah fitrah “Semisal” dari Jaman ke Jaman, akan tetapi kenikmatan Duniawi yang tidak seberapa telah dapat memalingkan manusia dari fitrah tersebut.
Bahwa Reformasi yang dipahami Penulis memang adalah semua kekuatan-kekuatan fitrah yang (pasti) terpandang pada semua “Pergantian Jaman” khususnya pada Negeri ini, sehingga semua berjuang ingin menuju fitrah tersebut yaitu Adil Makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja. Dalam hal ini Penulis tidak memilih “Satu” akan tetapi justru “Semua”, tidak memilih hanya Jaman Orde Baru atau Jaman Orde Lama melainkan mengambil “Seluruh Fitrah-Fitrah Jaman” tersebut sebagaimana Penulis mengambil seluruh Fitrah dari sejak Jaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW yang diteruskan Para Ulil al Bab Para Wali Alloh Para Ulama sampai terjadi Kiamat yang dijanjikan. Maka Reformasi kita ini selayaknya juga membawa seluruh Fitrah-Fitrah Jaman termaksud, dimana Fitrah Orde Baru dengan Orde Lama justru dapat bersatu padu, sebagaimana kebaikan-kebaikan itu pasti saling bahu membahu menuju Kebaikan Terbaik di sisi Alloh SWT. Artinya Dua Kebaikan yang datang dari Orde Baru dan Orde Lama akan sama-sama diperjuangkan diejawantahkan dalam menuju masyarakat Adil Makmur sebagaimana yang dicita-citakan. Sedangkan kekurangan-kekurangan merupakan peran tugas Orde Reformasi dimana pada kenyataannya Para Tokoh Reformasi ingin meluruskan memperbaiki kebijakan-kebijakan masa lalu serta demi “menyempurnakannya” sesuai tujuan Negeri ini didirikan. Dengan berusaha menutupi semua kekurangan serta menyempurnakannya dengan kebijakan-kebijakan (serta regulasi) Baru sebagai arah kebijakan Reformasi termaksud. Sedang kemudian Alloh SWT yang menyatukan semua dalam “Kebersamaan”, dan karena semua kebaikan itu pastilah “Menuju Alloh SWT”. Jadi dengan “petunjukNya” maka akan dapat menyatukan “semua aspirasi” demi mencapai masyarakat Adil Makmur sesuai cita-cita Negeri ini.Bagaimanapun keterangan memadailah maka hal ini akan dapat dipahami dan dimengerti, yang sama sekali bukan masalah kalah menang disebabkan Komposisi Kepemimpinan macam apapun selama fitrah itu dapat terpandang bersama-sama secara nyata maka insyaAlloh tetap akan dapat diwujudkan sedemikian rupa.
Rakyat Negeri ini harus memahami tentang “Perusahaan-Perusahaan Alloh SWT” yang Rahmatan lil Alamin, bahwa karena “Milik Alloh SWT” justru menjadi “Milik Bersama” (Milik Semesta) dengan pengaturan kalimat-kalimat Alloh SWT yang Maha Adil Maha Bijaksana, sehingga sungguh meyakini hanya dengan Alloh SWT maka Adil Makmur itu akan dapat terwujud, pasti terwujud. Karena itu “Kesadaran” untuk memuliakannya merupakan panggilan Alloh SWT, maka selayaknya tiap diri berhak mengetahui apakah dana-dana yang diikhlaskannya untuk Alloh SWT melalui Perusahaan-Perusahaan Alloh SWT sungguh terrekap terjumlah tercatat dalam pembukuan yang sangat transparan karena semua dinomori (punya nomor) untuk dapat diakses. Bahkan seorang penyumbang akan dapat menyodorkan proposal agar sumbangannya itu digunakan sesuai proposal tersebut, tentu sebagai saran yang cocok bersesuaian Ayat-Ayat Alloh SWT. Mungkin untuk mencetak sawah atau mereboisasi hutan yang rusak misalnya, termasuk yang berkaitan dengan teknologi terapan (kelak) yang telah dipersiapkan secara matang oleh Tim Pelaksana. Meskipun kita sebenarnya lebih membatasi dahulu pada program-program yang sangat vital penting demi kemandirian bangsa (rakyat) dalam memenuhi kebutuhan primernya, sehingga krisis macam apapun di Dunia Kapitalisme kita sama sekali tidak terpengaruh. Bila Peran Perusahaan-Perusahaan Alloh SWT di seluruh pelosok Negeri ini telah tumbuh kembang bergulir sedemikian rupa mengayomi seluruh rakyat Negeri ini,  semua juga tidak lepas dari peran Baitul Makmur maka insyaAlloh pasti RahmatNya baik dari Langit maupun Bumi akan turun dari sisi Alloh SWT. Dimana petunjuk-petunjukNya akan senantiasa hadir mengendalikan kita semua membawa kepada KeTak Terbatasan sungguh di luar dari yang dapat kita bayangkan selama ini. Karena pasti akan berada diluar persepsi Para Ilmuwan bahkan Para Agamawan sekalipun, sungguh tak terbayangkan.
Keyakinan bahwa Ayat-Ayat Alloh SWT itulah yang sedang kita perjuangkan sehingga apapun yang terjadi kelak serta akibatnya kita sudah pasrah ridho tawakal kepada Alloh SWT. Dan karena di sisi Alloh SWT sesungguhnya tidak ada yang disebut gagal walau di dunia ini kelihatannya dikalahkan dihancur leburkan. Kesadaran Rakyat, Kesadaran Wakil Rakyat serta khususnya Kesadaran Para Pemimpin Negeri, sehingga dapat sepenuh hati memperjuangkan Amanah Alloh SWT yang terpandang sangat jelas tidak bertentangan akan tetapi justru sangat “bersesuaian” dengan cita-cita Bangsa ini, maka selayaknya Program ini segera diejawantahkan, segera dapat dilaksanakan. Sekali lagi Penulis tentu bersedia memberi arahan/saran/informasi kepada Negara manapun yang mau ikut “Menegakkan KeAdilan KeMakmuran KeSejahteraan” yang Rahmatan lil Alamin mengikuti Ayat-Ayat Alloh SWT berlandaskan Asma ul Husna, sehingga akan bersama-sama membangun Nilai-Nilai Surgawi Menuju KeWilayahan Tanpa Batas tidak Cuma “SeBumi” tetapi “SeSurga” ke seru sekalian Alam Bintang Gemintang. sehingga walaupun Negeri Indonesia ini tidak mau melaksanakan Program-Program yang Rahmatan lil Alamin ini, tetap ada Negara yang mau melaksanakannya, dari seorang yang tidak akan meneriakan suaranya dijalan-jalan akan tetapi berusaha menegakkan Hukum Alloh SWT di Bumi.
Bagaimanapun akses untuk ke Pemerintahan itu penting, akan tetapi hingga kini sebagaimana yang dapat kita lihat di Internet, ternyata tulisan-tulisan hambaNya ini lewat begitu saja, bolehjadi tidak ada yang tertarik, padahal sesungguhnya inilah “Garis Nubuah” demi menuju masyarakat Adil Makmur, tapi siapa yang percaya? (Entahlah). Karena itulah kenyataannya hingga saat ini walaupun Penulis akan tetap berusaha, sehingga apakah kelak Imej tentang tulisan-tulisan hambaNya ini akan berubah? Maka bagi yang memahami serta demi kepercayaan dan juga keikhlasan hanya karena Alloh SWT mungkin (ya mungkin saja) kita mesti membangun sendiri dari Awal yang pasti insyaAlloh pahalanya akan jauh lebih besar (karena dari Awal, dimana Nubuat Adil Makmur telah tertulis walau melalui “Jangka Jayabaya”), maka sumbangan-sumbangan untuk sementara ke Rekening Penulis di BRI No. Rek. 6437-01-002094-53-1 dan ini Cuma untuk sementara, walau sekaligus juga penting bagi Penulis, apakah tulisan di Internet ada yang serius baca? Tapi semua tetap merupakan taqdir dari Alloh SWT bila memang tidak ada. Mungkin memang kebanyakan sama sekali tidak tahu tidak tertarik atau peduli, sudah suratan taqdir gitulah, kita lihat saja nanti. Atau mungkin juga dianggap sampah yang katanya banyak bertebaran di dunia maya, padahal bagi Penulis carilah “Suara Tuhan” itu dimanapun, walau di Petani, nelayan, tukang sapu, tukang beca, pengamen, peminta-minta bahkan yang dianggap gila danlainlain. Tapi bila di sampah-sampah yang bertebaran itu ternyata ada mengandung “Suara Tuhan” ya ambillah”, akan Penulis ambil, paling tidak tertampung dalam ingatan, yang sudah semestinya karena memang harus. insyaAlloh bila layak akan dapat menjadi jalan keluar terbaik dari kenyataan Duniawi yang luar biasa dahsyat menggiring manusia menjauhi Ayat-Ayat Alloh SWT. Apakah tanpa petunjukNya ini cita-cita Adil Makmur akan dapat terwujud? Bagaimanapun  bagi yang ingin ikut berjuang sejak Awal melalui Rekening Penulis (berapapun yang penting ikhlas “niat” karena Alloh SWT, tanpa keikhlasan tentu dapat menjadi sia-sia), selayaknya bacalah dulu baik-baik untuk dapat memahami dan mengerti. Semoga Alloh SWT meridhoi usaha Para Hamba-HambaNya. Wallahu a’lam bishshowwab.

Winarno, mas nano ponakan Bu Retti Paron, Ngawi.

Friday, January 17, 2014

MENGAPA INDONESIA ADALAH SION?



Bila seorang Nabi “bernubuat” untuk Akhir Zaman maka niscaya hakekat, pasti terjadi. Akan tetapi bukan dalam persepsi manusia melainkan Alloh SWT, karena itu “hukum” yang ditegakkan adalah AgamaNya yang hakiki belaka, Agama Alloh SWT. Indonesia dalam bahasa Kitab Suci adalah Sion, Zion, karena itu “Persatuan Indonesia” adalah bersatunya penduduk bumi ke Era Globalisasi Alam Semesta Bintang Gemintang, rahmatan lil alamin dalam pengertian yang sesungguhnya. Pandanglah bagaimana sebutan Zionis bagi Bani Israil memiliki efek negative, lantas bagaimana bila Indonesia justru Zionis yang Asli pada Akhir Zaman? Misalnya bagaimana perasaan umat Islam ketika yang ditegakkan oleh Zionis yang Asli adalah “Islam”? Begitulah bila ucapan hakekat dari seorang Nabi dipersepsikan oleh “hawanapsu” atau tanpa pengetahuan yang sebenarnya terkadang bisa berbalik menghantam diri sendiri. Pada kenyataannya Indonesia telah “Dinubuat” apakah dari seorang Sunan (Giri) ataukah Sang Prabu Jayabaya yang jelas banyak Ulama-Ulama Islam memandang kenyataan-kenyataan “semisal” hal Akhir Zaman bagi Negeri ini, khususnya Masyarakat Adil Makmur yang juga menjadi cita-cita rakyat Negeri ini.
Sekali lagi bila “Nubuat” (ramalan) itu sungguh dari seorang Nabi pasti yang ditegakkan adalah Agama Alloh SWT. Dan pada Akhir Zaman justru yang hendak dibangun AgamaNya dari seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali yang bagaikan membangun “sebuah rumah” yaitu sejak dari Nabi Adam AS. Seorang hamba yang diberi penglihatan tentang “Isra Mikraj” sangat memahami betapa hal tersebut justru merupakan “pengejawantahan” dari peristiwa “Isra Mikraj” itu sendiri. Dimana tidak berapa lama lagi akan terjadi “Dialog” antar seluruh para Nabi dan RasulNya sejak dari Nabi Adam AS dalam kenyataan sesungguhnya, sehingga terwujud terbukti betapa seluruh Agama Alloh SWT itu merupakan “satu kesatuan utuh” saling menyempurnakan satu sama lain bagaikan membangun “sebuah rumah” yaitu rumah para Nabi dan Rasul seluruhnya semuanya tanpa kecuali. Untuk saat ini mungkin tidak mudah memahami maksud seorang hamba tentang akan terjadinya “Dialog” antar seluruh para Nabi dan RasulNya yang semua tercermin dalam peristiwa Isra Mikraj, padahal demikianlah yang terjadi bagaimana Alloh SWT pada Akhir Zaman akan secara tuntas menyelesaikan segala yang “diperselisihkan” umat manusia selama ini, yaitu antar umat dari seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali.
Tidak seorang manusiapun yang dapat “menyatukan” seluruh AgamaNya dari seluruh para Nabi dan RasulNya kecuali dengan terjadi “Dialog” antar para Nabi dan RasulNya itu sendiri yang semua adalah atas Kehendak Alloh SWT belaka. Semua ini tercermin dalam peristiwa Isra Mikraj, sehingga sesungguhnya peristiwa Isra Mikraj itulah yang menjadi “Realitas Hakiki”, dimana “Segala Agama” dari sejak Nabi Adam AS semua ditarik ke sisi Alloh SWT, semua menuju Alloh SWT. Di sisiNya Surga (Kerajaan Alloh SWT) yang dijanjikan, tidak dapat sampai serta memasuki Surga itu kecuali yang “bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya. Bagaimanapun sedemikian rupa manusia mengagung-agungkan NabiNya akan tetapi bila prilakunya ternyata tidak bersesuaian dengan ajaran NabiNya pasti tertolak. Banyak manusia khususnya kaum wanita yang tidak menyukai (orang semiskin) Nabi beristri banyak (berbagi kemiskinan?) tanpa ilmu memadai tanpa mengenal fitrah hakiki di sisi Alloh SWT tentang wujud laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan tidak bijak dalam memaknai prilaku Nabi yang satu ini, juga prilaku “persaudaraan kebersamaan” antar istri-istri Nabi. Padahal di Akhirat SurgaNya seorang laki-laki akan secara langsung diciptakan Alloh SWT baginya istri-istri (bidadari) yang dapat “menutupi” apa saja yang kurang, apa saja yang dibutuhkan diri seorang laki-laki, walau ada istri duniawi yang bersamanya di Surga itu. (Entah, apakah Aisyah RA sungguh akan mendapat perlakuan jauh lebih baik lebih istimewa bila yang memperistrinya bukan Nabi SAW tapi orang lain, karena bagaimanapun pasti akan bersuami juga. Banyak gadis-gadis masa lalu bahkan di bawah umur 9 tahun yang sudah bersuami, tidak ada undang-undang yang melarang (apa sesungguhnya yang telah terjadi terhadap mereka?). Sedang melalui Nabi SAW hendak diperlihatkan oleh Alloh SWT bagaimana perlakuan terbaik bagi wanita yang halal di sisi Alloh SWT).
Pandanglah betapa jadi “sempit” pandangan dan lingkup seorang istri disebabkan tidak (kurang) bijaknya seorang wanita saat di dunia ini. Bahwa semakin banyak istri-istri saling “bekerja sama” disamping seorang suami maka tiap istri akan dikaruniai Alloh SWT ilmu-ilmu dari istri-istrinya yang lain, ilmu memasak misalnya dalam kemaha luasan rasa masakan padahal saat di dunia ini tidak pandai suka memasak, hanya karena bersikap bijak bekerja sama secara bijak saat hidup di dunia ini dengan istri-istri yang pandai memasak dalam “melayani” kebutuhan suami. Alloh SWT mengaruniai seorang wanita ilmu yang dengan ilmu itu akan memiliki wilayah serta pandangan yang sangat luas dalam kebersamaan di Surga dengan suami yang hakekatnya adalah “satu diri” berapapun istri-istri (bidadari) yang dikaruniai Alloh SWT kepada seorang laki-laki. Pahala berlipat-lipat ketika sebuah kebaikan ditanam saat di dunia ini. Maka silahkan uji materi dengan Asma ul Husna perkataan hambaNya tentang hal ini, serta semua yang menjadi keraguan, karena segala kebenaran itu berasal dari sisi Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna.
Dan sesungguhnya tidaklah mahluk itu memandang Tuhannya melainkan yang terpandang nanti hanyalah Asma ul Husna belaka dalam kenyataan sesungguhnya, sehingga baik berdialog antar sesama mahluk dan juga berdialog dengan Alloh SWT akan langsung mengetahui bahwa itu dari Alloh SWT dari petunjukNya, yang semua tidak lain dari dan bagi NamaNamaNya Sendiri, NamaNamaNya Terbaik belaka (Asma ul Husna). Manusia tidak menemui Tuhannya melainkan “kehadiran” wajahNya dalam wujud Asma ul Husna, yang akan dipahami dan dimengerti hati sanubari yang telah menjadi Non Lokalitas. Akan tetapi tidak sekali-sekali ada penjelmaan Alloh SWT menjadi mahluk atau berupa apapun walau itu seorang Nabi yang Agung, karena niscaya dirinya itu kecil dibanding bumi dimana dirinya hanyalah “tabir” bagi Kehendak Alloh SWT, itulah hakekat wakil Alloh kalifahNya, apa yang datang darinya adalah berasal dari Alloh SWT. Bukan dirinya yang berkata-kata dan berbuat melainkan dari Alloh SWT, dirinya hanyalah “tabir” bagi Alloh SWT. Dan keadaan di Surga kelak, di sisi Alloh SWT semua yang terpandang hanyalah “tabir” bagi Alloh SWT, kemanapun kita memandang disitulah “wajah” Alloh SWT.
Sesungguhnya banyak orang salah paham tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi pada Akhir Zaman karena memandang keduanya harus dengan ilmu Alloh SWT yaitu dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang terbangun sedemikian rupa. Demikian pula segala umat (Agama-Agama) untuk dapat “bertemu” dengan junjungannya masing-masing, dimana semua ini telah tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj, dan karena “sosok-sosok” mereka Beliau-Beliau tidak seperti kita lagi. Seperti hal pada masa lalu para Waliullah Tanah Jawa ini dapat menemui Nabi Khidir AS yang semua adalah dengan ilmu Alloh SWT. Jadi untuk itu pahamilah dahulu “Nilai-Nilai Surgawi”, bahwa Surga itu sesungguhnya “kekal”, sehingga apakah pada masa lalu, kini dan nanti Surga itu tetap “Exis” tetap “Ada”, tidak terpandang kecuali juga dengan Nilai-Nilai Surgawi. Maka sesungguhnya orang-orang yang berjihad membangun Nilai-Nilai Surgawi yang kekal itu, mereka tidak mati melainkan hidup, sehingga mereka dapat terpandang yaitu melalui Nilai-Nilai Surgawi. Apakah  dunia yang kita pandang ini ada atau tidak ada maka Nilai-Nilai Surgawi itu tetap ada, Surga itu tidak pernah beranjak bergerak dari kedudukannya, tidak ada perubahan sama sekali dalam hukum Alloh SWT.
Seluruh para Nabi dan RasulNya itu tugasnya adalah membangun Nilai-Nilai Surgawi yaitu dengan Kitab Suci yang diturunkan Alloh SWT. Akan tetapi pada kenyataannya seluruh Kitab Suci itu tidak dapat menjadi sesuatu yang “padu” menyatu. Dan siapapun termasuk hambaNya ini tidak akan mungkin dapat menyatukan semua Kitab SuciNya itu, demikian pula para Pewaris Nabi juga para Waliulloh, hingga pada Akhir Zaman atas Kehendak Alloh SWT Sendirilah akan terjadi “Dialog” antar seluruh Nabi-NabiNya itu, barulah akan dapat “menyatu” segalanya yaitu di sisi Alloh SWT, terpandang Surga yang dijanjikan secara sempurna lengkap dimana seluruh Kitab SuciNya (kembali) menyatu semua merupakan kalimat-kalimat Surgawi semua kembali ke asalnya dari Surga. Artinya seluruh mahluk dengan Kitab SuciNya sebenarnya hendak ditarik ke Surga, akan tetapi setiap diturunkan Nabi dan RasulNya mendapat perlawanan luar biasa dan sebagian berhasil dibunuh. Karena itu harus ada “kesadaran” manusia untuk tidak menentang para Nabi dan RasulNya yang nyata-nyata hukum yang hendak ditegakkan hanyalah bagi “kebaikan” manusia juga. Jadi terhadap orang-orang yang menegakkan AgamaNya yang jelas-jelas “bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya selayaknya juga tidak ditentang tetapi justru dibantu. Karena yang mereka tegakkan juga Nilai-Nilai Surgawi, membantu mereka berarti juga menjadikan diri sendiri menuju Surga, menjadi kalifah. Karena sesungguhnya menjadi kalifah di sisi Alloh SWT itu pastilah juga akan membawa manusia lainnya untuk menjadi kalifah di sisi Alloh SWT pula, hal yang akan bertolak belakang bila seorang Firaun juga hendak menjadikan manusia lainnya menjadi “raja” seperti dirinya, itulah Dunia.
Kalau saja manusia tahu Surga di sisiNya Tanpa Batas dan kekal sebagaimana makna Asma ul Husna itu Sendiri adalah cara sesungguhnya bagaimana dapat melanglang Buana ke segala penjuru Alam Semesta Bintang Gemintang yang hakekatnya semua tercipta dari kalimat-kalimatNya belaka, semua berasal beranjak dari NamaNamaNya Sendiri, NamaNamaNya Terbaik (Asma ul Husna) belaka pastilah akan berlomba-lomba berbuat “kebaikan”. Apakah manusia masih demikian peduli harta benda duniawi yang sungguh tidak seberapa walau seluruh bumi ini ada dalam genggamannya? Bila saja menyadari ternyata bumi hanya sebesar debu di Alam Semesta atau bagaikan sebutir pasir ditengah padang pasir yang sangat luas. Dimana dengan kalimat-kalimat Alloh SWT seru sekalian alam bintang gemintang rahmatan lil alamin adalah dalam genggaman dalam jangkauan seluruh para Nabi dan RasulNya, maka masing-masing diri dari bangsa jin dan manusia akan tunduk dan patuh pada AgamaNya.
Seharusnya manusia dapat menyadari memahami mengetahui mengerti bahwa ternyata dengan atau didalam “Nilai-Nilai Surgawi” semua mahluk manusia baik yang telah mati maupun masih hidup semua dapat “terpandang” sekaligus (global), semua jadi “kelihatan”. Bagaimana  semua mahluk akan ditarik diperjalankan menuju Tuhannya sehingga Nilai-Nilai Surgawi itu berisi pengetahuan tentang “segala” dan segala pengetahuan “ada” secara hakekat didalamnya. Bahwa kekal yang Tanpa Batas (Non Lokalitas) adalah melingkupi meliputi jeda-jeda waktu terbatas seluruhnya yaitu waktu-waktu duniawi yang sangat Lokalitas ini. Karena itu berapapun umur mahluk di dunia ini akan dapat “terpandang” kembali sedemikian rupa tanpa sedikitpun yang tersembunyi atau yang dapat disembunyikan. Demikian itulah bila dengan pandangan-pandangan yang Non Lokalitas, dengan pandangan-pandangan Alloh SWT yang beranjak dari Asma ul Husna, sehingga akan sangat berbeda bila dengan pandangan-pandangan yang sangat Lokalitas banyak yang tersembunyi dari jangkauan, banyak yang bisa disembunyikan, banyak kebohongan-kebohongan yang bisa  disembunyikan dan karena yang dibohongi juga pandangannya sangat Lokalitas, itulah Realitas Duniawi. Karena itu kehidupan sementara dunia ini tujuan sebenarnya adalah membentuk diri agar memiliki prilaku Non Lokalitas, berahlak Alloh SWT, memiliki kekuatan-kekuatan Tanpa Batas dengan sebutan “kalifah” yang dibentuk dari tanah bumi. Bahwa Alloh SWT sebenarnya baru “hendak” membentuk kalifah, karena itu pada Akhir Zaman itulah baru akan terbentuk “kalifah”, jadi bukan kekalifahan di dunia ini.
Mungkinkah “prilaku Non Lokalitas” dapat terbentuk sedemikian rupa pada mahluk-mahluk yang prilakunya sangat Lokalitas yaitu saat di dunia ini? Bisa dan mungkin bila “keimanan” adalah pada seluruh para Nabi dan RasulNya, menyeluruh tidak terkotak-kotak walau itu di bintang gemintang (seluruh hamba-hambaNya yang lain di segala gugusan-gugusan Bintang), semua yang Non Lokalitas dimanapun pastilah akan sama-sama beranjak bersumber dari Asma ul Husna. Tidak ada manusia super (termasuk Alien sekalipun) kecuali dengan Alloh SWT, walau selama ini telah dikhayalkan sedemikian rupa. Karena itulah harap direnungkan sungguh-sungguh bahwa ajaran hakekat pasti akan “dipertemukan” dengan ajaran-ajaran Alloh SWT yang lain dari seluruh para Nabi dan RasulNya tanpa kecuali walau di bintang gemintang yaitu saat “diperjalankan” semuanya menuju “sisi” Alloh SWT, sebagaimana peristiwa Isra Mikraj. Karena bagaimana mungkin disebut hakekat bila tak seorang Nabipun dipertemukan Alloh SWT saat perjalanan ke sisiNya apalagi saling bersalam-salaman mengucapkan salam. Bagaimana seluruh ajaran para NabiNya itu bergabung bertemu bagaikan bangunan “sebuah rumah”, walau itu dari bumi-bumiNya yang lain di segala gugusan bintang gemintang. Dimana Kitab Suci pada mereka itupun niscaya juga akan “semisal” dengan yang di Lauhil Mahfuz, sebagaimana yang di bumi kita ini. Dan semua menuju “sisi” Alloh SWT, SurgaNya yang luas sesungguhnya Tanpa Batas, sebagaimana makna dari Asma ul Husna itu Sendiri.
Bahwa “Hisab” itu adalah saat perjalanan menuju Alloh SWT, ke sisiNya, ke SurgaNya. Dimana segala prilaku yang tidak menuruti AgamaNya yang senantiasa menentang ajaran-ajaranNya, tidak bersesuaian dengan cahaya dari para Nabi dan RasulNya, bahkan berhasil membunuh diantara para Nabi dan RasulNya, jelas tidak akan dapat mencapai sisi Alloh SWT atau SurgaNya walau dengan “pengagungan” luar biasa terhadap NabiNya. Jalan mereka adalah jalan pembunuhan para NabiNya, yang lebih ditujukan kepada kerajaan (kekuasaan) Duniawi (yang adalah Surga bagi mereka). Bila saja Tuhan itu tampak (terpandang) bagi mereka niscaya akan dibunuh (seperti ucapan seorang komunis, mana Tuhan ta bedil, akan ditembaknya). Demikian itu sisi lain dari pandangan nyata hegemoni kerajaan duniawi. Seorang Firaun tidak ingin ada Tuhan lain atau yang disembah selain dirinya, maka terbunuh seorang Nabi akan menunjukkan “kekuasaan dirinya” atas segala sesuatu (didalam dirinya bersemayam perkataan “aku adalah Tuhan”). Dimana hal-hal yang “semisal” dengan prilaku “keakuan Firaun” itu senantiasa berulang dan berulang terjadi hingga Akhir Zaman. Hingga akan terbentuk “ritual” yang cocok bagi mereka, sebuah kebanggaan Kharisma (walau sebenarnya semu) pembunuhan dan pelecehan luar biasa atas NabiNya, sedang rakyatnya tidak tahu hakekat yang sesungguhnya. Bahwa Agama termasuk Islampun tidak luput dari pengaruh kekuatan-kekuatan (jahat) yang senantiasa berusaha menyimpangkan manusia dari fitrah hakikinya.
Bahwa seharusnya umat Islam dapat memandang lebih luas hakekat “perjalanan” ke Sidratul Muntaha, karena sebenarnya Isra Mikraj juga menggambarkan secara sangat jelas “Hisab” hingga sempurna mencapai sisi Alloh SWT. Bagaimana tubuh-tubuh itu ditarik ke suatu Lingkup Tanpa Batas, ke Serba Maha, ke yang Non Lokalitas. Semua “tubuh” merupakan “bentukan” yang terbentuk dibentuk utamanya dari “makanan yang dimakan”, dimana kekuatan-kekuatan (iman) pada yang Segala Maha itulah hendaknya yang menjadi ruh (dari ruhNya) atas tubuh-tubuh yang terbentuk dibentuk itu. Akan tetapi tarikan-tarikan pada lingkup yang sangat “Lokalitas” itulah dimana tubuh-tubuh terbentuk terlahir justru ke dalam pengaruh nyata suatu ruang lingkup yang sangat Lokalitas yaitu Dunia ini, dan disebut “Dunia” karena memang sifatnya yang “Serba Terbatas” (Lokalitas). Karena itu dapat dimaklumi bahwa dengan Nilai-Nilai Duniawi yang Serba Terbatas itulah manusia berusaha memahami ayat-ayat firman-firman kalimat-kalimat Alloh didalam Kitab SuciNya, sehingga istilah-istilah Agama tentang Kiamat kebangkitan Padang Maksyar Alam Barzah, Hisab menuju sisiNya dan SurgaNya danlainlain telah dipahami dengan pengaruh Nilai-Nilai Duniawi yang sangat Lokalitas itu.
Kemudian tentang diturunkanNya Al Mahdi dan Al Masih bukankah keduanya termasuk orang-orang yang hidup pada masa lalu? Apakah keduanya dapat “hadir” di hadapan seluruh manusia di dunia ini sesuai persepsi-persepsi yang ada selama ini ataukah akan dapat terpandang nyata keduanya (turun dari sisi Alloh SWT) adalah dengan Nilai-Nilai Surgawi yang terbangun sedemikian rupa? Karena bagi seorang hamba hanya dengan pandangan-pandangan yang “Non Lokalitas” maka keduanya akan dapat “terpandang”. Bahkan segala yang haq dan yang batil akan tampak jelas, dimana yang haq pasti akan sampai ke sisi Alloh SWT dan akan “teruji” sempurna dengan Asma ul Husna. Sedangkan yang Batil itu niscaya tidak akan berupa cahaya dari CahayaNya, tidak akan naik tidak akan sampai ke sisi Alloh SWT, karena akan jadi api (Neraka) yang bahan bakarnya manusia dan batu. Hisab itu hakikinya adalah dengan Asma ul Husna dan karena pada hakekatnya memang menuju Asma ul Husna.
Pandanglah bagaimana rakyat Negeri ini memiliki cita-cita Adil Makmur, apakah mereka yakin dapat mencapai cita-cita itu tanpa “petunjuk” Alloh SWT? Pada awal Reformasi terlihat betapa besar harapan bangsa ini untuk kepada cita-cita itu, kenyataannya Para Tokoh Reformasi telah berusaha berjalan sendiri-sendiri yang masing-masing yakin hanya dengan “caranya” cita-cita itu akan dapat terwujud. Hingga saat ini rakyat belum memahami bahwa yang sedang dikejar lebih kepada “kekuasaan”, dimana pada kenyataannya ada “kekuasaan” dengan kekuatan yang lebih sangat besar di luar Negara ini yang Negeri inipun akan dan harus berada dalam wilayah atau pengaruh kekuasaannya. Maka segala “kekuasaan” di muka bumi ini hanyalah Lokalitas-Lokalitas Kekuasaan betapapun berusaha berserikat menyatukan diri untuk menghimpun kekuatan yang lebih sangat besar. Sedangkan rakyatnya masyarakat yang ada didalam Negara-Negara itu sebenarnya juga berkeinginan bercita-cita “semisal” dengan cita-cita rakyat Negara ini, berhasilkah semua menggapai cita-cita?
Pelajaran nyata bagi rakyat Negeri ini dari apa yang terjadi pada Negeri-Negeri bahkan yang disebut Negeri Maju tetap rentan untuk jatuh pada krisis. Maka hanya dengan “petunjuk” Alloh SWT  Pemilik Keadilan dan Kekayaan yang sesungguhnya maka cita-cita Adil Makmur itu dapat tercapai. Karena itu beri kesempatan “Satu Priode” untuk mengikuti “petunjuk” Alloh SWT kepada hambaNya ini. Khususnya demi mengembalikan lebih dahulu ke semangat Reformasi Awal Negeri ini, dimana Para Tokoh Reformasi masih bahu membahu bersatu padu, pada rencana-rencana cemerlang membangun Negeri. Padahal yang dicari sebenarnya “Hukum” yang Rahmatan lil Alamin, dimana Rahmat Alloh SWT itulah yang akan tercurah dari langit dan bumi bagi Negeri ini. Cahaya RahmatNya itu sebenarnya telah “ada” bersama figure Gus Dur, akan tetapi tidak atau kurang kuat sehingga kembali tenggelam kepada kekuasaan-kekuasaan lama yang masih sangat kuat sebelum Era Reformasi. Sebagaimana tenggelamnya fitrah Alloh pada diri manusia oleh kenyataan-kenyataan Dunia yang sangat Lokalitas.
Bahwa kekuasaan-kekuasaan lama bukan berarti tidak layak tampil justru sebaliknya sangat layak sebagaimana seluruh Agama selain Islam layak tampil untuk kepada “Kesatuan Agama Alloh SWT” dari seluruh para Nabi dan RasulNya yang bagaikan membangun “sebuah rumah”. Sehingga Alloh SWT menjernihkan mensucikan seluruh Agama itu untuk ditarik kesisiNya, yang akan menjadi sesuatu yang padu sebagai Nilai-Nilai Surgawi semuanya seluruhnya. Karena itu janganlah berpikiran tentang Negara Islam bahkan Negara Hindu, Negara Budha serta lainnya, cukuplah Indonesia yang dalam bahasa Kitab Suci dikenal sebagai Sion, Zion. Maka kekuasaan-kekuasaan lama yang sangat layak tampil justru dari “Awal” sejarah (masa lalu) Negeri ini bila hendak tampil maka tampillah. Karena ada suatu tempat di Tanah Jawa ini dimana sebuah “Kraton” layak berdiri (dibangun) yaitu di “Alas Ketonggo”. Maka ketika terbangun “Nilai-Nilai Surgawi” bagi Kraton itu akan tampaklah Kerajaan-Kerajaan masa lalu sejak Awal Sejarah Negeri ini, serta Kerajaan-Kerajaan “semisal” di seluruh pelosok bumi dan Alam Semesta. Ingatlah bahwa kekuatan-kekuatan Non Lokalitas sungguh (dapat) nyata dan bukan khayalan atau sebagai sesuatu yang mistis, karena kerajaan-kerajaan masa lalu adalah termasuk Realitas Duniawi yang akan dapat “terpandang” kembali. Pahamilah hakekat Nilai-Nilai Surgawi walau saat ini mungkin memang masih sulit dipahami dan dimengerti. Karena bumi sebenarnya menyimpan “data sejarah” yang sangat lengkap, sebagaimana computer dapat menyimpan segala data kemudian dapat “ditampilkan” kembali. Bahwa Realitas Duniawi adalah “penggalan-penggalan” kejadian yang sangat Lokalitas, yang sebenarnya tidak pernah lenyap di sisi Alloh SWT yang Serba Non Lokalitas Yang Awal dan Yang Akhir. Dimana  segala semua kejadian itu hanya terletak “diantara” NamaNamaNya Yang Awal dan Yang Akhir belaka. Karena itu dengan pandangan-pandangan Alloh SWT akan dapat terpandang kembali segala sesuatunya itu walau sebesar zarah, seumpama computer dapat menampilkan data-data yang tersimpan sedemikian rupa.
Bagaimana Nabi Muhammad SAW dapat memandang segala sesuatu saat perjalanan ke Area yang Maha Non Lokalitas yang atas Kehendak Alloh SWT berdialog dengan para Nabi sejak Nabi Adam AS. Maka dengan Nilai-Nilai Surgawi yang Non Lokalitas pula umat Budha dan juga Khong Hu Cu akan dapat menemui junjungannya masing-masing, demikian pula Agama-Agama lain. Bahkan Agama Nabi Adam AS yang masih demikian sederhana (Primitif) akan terjadi dialog dengan Nabi Muhammad SAW yang merupakan “penghulu” semua seluruh para Nabi dan RasulNya. Karena itu tuduhan umat Islam bahwa Agama Budha serta Khong Hu Cu dianggap bukan Agama Alloh SWT sungguh belum terbukti sehingga terjadi “Dialog” dengan Nabi Muhammad SAW. Bahwa ucapan Nabi agar mencari ilmu Alloh SWT itu walau ke Negeri Cina menunjukkan segala hal tidaklah sesederhana kelihatannya, bagaimana tiap umat dari Nabi-NabiNya masing-masing merasa benar dengan menuduh luar Agama yang dianutnya adalah sesat, kafir. (Padahal teguran Al Quran tidaklah atas seluruh isi Kitab Suci akan tetapi hanya poin-poin saja dari sebab musebab terjadi penyimpangan akidah, “agar” umat yang ditegur iyu meneliti kembali Kitab Suci yang dipegangnya dengan sungguh-sungguh tentang masalah tersebut, dan agar dapat lurus kembali sehingga cahaya yang didapat akan kembali “bersesuaian” dengan cahaya NabiNya bagi Kitab Suci tersebut.)
Pandanglah bagaimana umat Islam melakukan ibadah sholat akan tetapi ketika Realitas Isra Mikraj itu “mengejawantah” yang ternyata diluar perkiraan tiba-tiba jadi sulit untuk menerima. Apalagi ternyata umat-umat lain bahkan dari seluruh semua NabiNya juga akan menjadi bagian dari AgamaNya didalam pengejawantahan Isra Mikraj itu. Menjadi sangat jelas bahwa didalam Kitab-Kitab Suci tersebut ada Nilai-Nilai Keadilan, Kebijaksanaan, Kemuliaan danseterusnya sehingga juga rahmatan lil alamin dengan qadar masing-masing. Surgapun juga terpandang dalam Agama mereka bahkan semua juga naik ke langit sebagaimana yang terjadi dengan Nabi Adam AS. Ditarik ke sisi Alloh SWT seluruh manusia tanpa kecuali apapun Agama yang dianutnya. Masing-masing Nabi yang diturunkan Alloh SWT pada Hari Kiamat akan membawa “cahayaNya” yang sebenarnya untuk “menjemput” umat pengikut Nabi tersebut, maka siapa yang “bersesuaian” dengan “cahaya Alloh SWT” pada diri Beliau-Beliau AS itu pastilah akan sampai ke sisi Alloh SWT dan SurgaNya. Maka “memandang” dengan Nilai-Nilai Surgawi yang Non Lokalitas yaitu dengan pandangan-pandangan Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna akan terpandanglah “Segala Umat”, yang semua diisra mikrajkan menuju Alloh SWT semuanya seluruhnya tanpa kecuali. Prilaku yang hakekat pasti akan “teruji” dengan Asma ul Husna, prilaku yang menyimpang tidak akan mendapat cahayaNya, yang mereka pandang hanyalah fatamorgana Surga, dan jalan bagi mereka adalah jalan pembunuhan para Nabi dan RasulNya. Pandanglah bagaimana tukang-tukang Sihir Firaun dalam adu ilmu dengan Nabi Musa AS juga memiliki “Ritual” sehingga pada akhirnya mereka akan dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Apakah akan menjadi tunduk dan patuh menjadi pengikut Nabi Musa AS atau tetap sebaliknya. Hendaknya kejadian-kejadian masa lalu merupakan “pelajaran” sejauh dapat diambil hikmahnya.
Seorang hamba berjuang untuk “Reformasi” adalah dengan menunjuk Tokoh yang tidak terlalu “kental” dengan Figur kekuasaan-kekuasaan lama sebelum Reformasi (yaitu Amin Rais). Kecenderungan ini sama sekali bukan tidak menghormati Tokoh-Tokoh lainnya, yang pada kenyataannya juga ingin “mereformasi” kearah yang lebih baik lebih bijak dari apa yang telah ditinggalkan pendahulu-pendahulu pembangun juga pendiri Negara kita ini. Bahwa “kebersamaan” (musyawarah dan mufakat) antar seluruh Tokoh-Tokoh Reformasi serta para Mahasiswa yang dahulu terlibat langsung seharusnya lebih ditonjolkan sehingga ide-ide cemerlang bagi terwujudnya cita-cita Negeri ini tidak disia-siakan. Walau kecenderungan kepemimpinan dalam keAgamaan memang lebih dipentingkan bagi hambaNya ini, dengan anggapan akan lebih dekat kepada (rahmat) Alloh SWT. Arus Keduniawian dengan moral yang sudah seperti sekarang ini selayaknya dilawan dengan Arus KeAgamaan yang Rahmatan lil Alamin bijak atas seluruh semua Agama serta dapat membawa diri-diri manusia kepada fitrah hakiki di sisi Alloh SWT, dengan Lingkup Seru Sekalian Alam Bintang Gemintang yang tidak lagi hanya Sebumi.
Ketika langit “terbuka” dan kekuatan-kekuatan Non Lokalitas hadir dalam kehidupan manusia maka kelak “makanan-makanan Surgawi dengan kekuatan-kekuatan Non Lokalitas” itulah tubuh-tubuh akan (kembali) dibentuk dan terbentuk dengan akibat-akibat logis tiba-tiba juga memiliki pandangan-pandangan Non Lokalitas, pandangan-pandangan yang Tanpa Batas. Sebagaimana “makanan berulat” (sangat tidak sempurna) yang telah menjatuhkan Adam dan Hawa dari Surga karena secara otomatis kekuatan-kekuatan tubuh tidak lagi Non Lokalitas tidak lagi bersifat Surgawi (jatuh) kepada kekuatan-kekuatan yang sangat Lokalitas hingga terbentuklah (sifat-sifat) Duniawi seperti yang ada sekarang ini. Sangat jelas kedatangan para Nabi dan RasulNya adalah demi mengembalikan manusia ke Surga, karena itu mengapa tidak dapat dipahami bila seorang hamba lebih mengedepankan kepemimpinan KeAgamaan yang Rahmatan lil Alamin? Dan mengapa mesti mencari jalan lain bila panggilan untuk kepada Alloh SWT itu telah Datang, dan mengapa masih berusaha mengikuti Arus Duniawi bagi Negeri ini? Bukankah kita senantiasa belajar dari pengalaman, dan senantiasa kecewa bila perkiraan untuk mencapai cita-cita ternyata tidak juga terwujud, bahkan krisis moral yang justru menjadi-jadi. Padahal juga tahu kalau terus mengikuti pola Keduniawian yang ada saat ini untuk target sebagai Negara Maju saja sulit terwujud, apalagi dianggap dapat membahayakan eksistensi Negara-Negara lain yang lebih dahulu disebut-sebut sebagai Negara Maju yang akan bisa “terpuruk”, bila penguasaan keekonomian atas Negara-Negara lain terlepas. Lantas bagaimana tiap Pemimpin Negara ini dapat mewujudkan cita-cita Adil Makmur kecuali hanya sekedar janji? Karena itu rakyat Negeri ini serta yang hendak menjadi Pemimpin bagi Negeri ini harus menyadari dan yakin hanya dengan mengikuti “petunjukNya” maka cita-cita Adil Makmur insyaAlloh akan terwujud.
Bahwa “Adil” itu sungguh “Bahasa Surga” bahasa sisi Alloh SWT yang Maha Adil Maha Kaya didalam KeMaha Luasan RahmatNya Tanpa Batas. Alam Semesta langit bumi bintang gemintang ini ada dalam KekuasaanNya GenggamanNya, maka hanya dengan Alloh SWT cita-cita Adil Makmur dapat terwujud. Bahkan azab Alloh SWT yang sungguh dahsyat juga akan tampak bagi mereka yang tidak berlaku adil dan bijak, sehingga kelak sesuai hadits (yang hingga kini masih dianggap nonsen), emas permata yang ditumpuk di pinggir jalanpun tidak ada yang sudi mengambilnya, manusia akan berlomba-lomba berbuat baik bahkan yang termiskin sekalipun berusaha beramal. Fitrah Surgawi Fitrah Kekalifahan akan tampak, akan terbentuk sempurna dalam Kemaha luasan pandangan yang tanpa batas. Dan sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi rakyat Negeri ini saja, rakyat Negara-Negara lain manusia seluruhnya pasti memiliki cita-cita “semisal” karena semua sama-sama memiliki fitrah kekalifahan fitrah Surgawi (potensi menuju Surga), fitrah Alloh SWT. Yang disebut-sebut sebagai “Pemberontak” juga sesungguhnya memiliki cita-cita “semisal”, hanya saja seorang hamba Alloh SWT adalah kepada Rahmatan lil Alamin seru sekalian alam tidak hanya sebumi, sehingga “bersama” seorang hamba tidak akan ada lagi istilah “Pemberontak” di Negara manapun di seluruh pelosok bumi ini yang semua milik Alloh SWT belaka, demikian itulah bila Alloh SWT sebagai tempat menghamba.
Selayaknya apa yang disebut “Keekonomian” juga harus (bersifat) Rahmatan lil Alamin, yang semua adalah dengan Alloh SWT, artinya harus dapat menjadi Rahmat bagi seluruh manusia. Siapa bilang Nabi itu menghimpun kekayaan adalah bagi (hawa napsu) diri sendiri? Sekaya-kaya hambaNya dari apa yang terjadi dalam keluarga Nabi Daud AS misalnya hanya suatu Replika kecil kehidupan Surgawi yang hendak diperlihatkan Alloh SWT kepada umat manusia. Suatu kekayaan dalam bentuk “mikro” dari secuil kisah kehidupan Surgawi (didalamnya sungguh kental dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang sedang dibangun), karena itu banyak yang salah paham dalam memaknainya. Tidaklah seorang Nabi itu melainkan untuk menjadi Rahmat bagi seluruh manusia dan Alam Semesta, maka semua prilaku adalah mengikuti petunjuk Alloh SWT. Demikian pula prilaku yang sungguh-sungguh mau menjadi hambaNya, dimana seorang hamba Alloh SWT pastilah akan berusaha untuk selalu berada dalam rahmat dan petunjukNya. Prilaku Nabi Daud AS dalam “berpuasa” misalnya sangat jelas menunjukkan semua prilaku sama sekali bukan karena “hawanapsu” apalagi keserakahan serta hal-hal yang berlebihan. Maka prilaku (terhadap harta danlainlain) yang “semisal” dengan Nabi Daud AS di pelosok lain bumi ini serta Alam Semesta akan menunjukkan kepada manusia tentang hamba-hambaNya yang lain walau seorang Budha.
Bahwa bentuk system “Keekonomian” yang lurus dalam ridho Alloh SWT akan sungguh sangat berbeda dengan Samiri dalam umat Nabi Musa AS yang terseret terjerumus hawanapsu sehingga “kekayaan” justru menjadi “sesembahan” yang disembah. Dan yang “semisal” prilaku Samiri dalam umat Nabi Musa AS ini menjadi sesuatu yang umum pada Jaman sekarang ini yang lebih memilih “uang” dalam suatu system Keekonomian yang menjurus kepada jalan “penyembahan” harta dan kekayaan, walau cara yang terjadi sedemikian halus. Kecenderungan kepada menyembah harta dan kekayaan ini juga akan terbukti manakala harus memilih antara panggilan Keekonomian untuk Alloh SWT atau justru mempertahankan diri dengan Keekonomian Duniawi yang ada hingga saat ini. Karena bila memilih Keekonomian untuk Alloh SWT akan senantiasa “berbagi” dengan manusia lain bahkan seluruh manusia. Maka kalau saja orang tahu hakekat “Perusahaan” yang sungguh-sungguh dibangun untuk (keridhoan) Alloh SWT, sebuah perencanaan yang menuju “Nilai-Nilai Surgawi”, dimana pada Akhirnya “seluruh Agama” akan terlibat, karena sesungguhnya Agama-Agama sejak Nabi Adam AS akan terbukti memiliki sistim “semisal” dalam membangun Keekonomian Umat yang Rahmatan lil Alamin. Suatu system  Keekonomian hakiki itu pada Akhir Jaman akhirnya tidak lagi memakai nilai-nilai berupa “Uang” (mata uang) yang kelak akan “lenyap” sebagaimana “system” yang ada di dalam Surga kelak, yang pasti tidak akan ada lagi yang disebut “lembaran-lembaran mata uang”. Di Surga yang ada hanya “Keekonomian Alloh SWT” dimana tiap manusia akan langsung menerima balasan apapun yang dilakukannya. Istilah “Alloh SWT Maha Cepat HisabNya” yang lebih dikenal sebagai kun, faya kun, demikian itulah kenyataan-kenyataan dalam Surga dalam Lingkungan Hidup yang “Serba Non Lokalitas” merupakan hal yang wajar terjadi. Maka Perusahaan ini didalamnya sungguh mengandung konsep “Jihad” untuk Alloh SWT, sehingga semakin banyak perusahaan-perusahaan “semisal” didirikan di seluruh pelosok bumi dan khususnya di Indonesia maka akan semakin cepat terwujud Sistem Keekonomian yang Rahmatan lil Alamin, sampai-sampai tidak ada seorangpun yang tidak mendapat RahmatNya.
Maka tiap diri berniatlah bergeraklah untuk menjadi hamba Alloh SWT sebagaimana diri ini juga demikian. Akan tetapi semua dapat berhasil menurut bakat ketrampilannya masing-masing. Jadi wajah perusahaan memang tidak harus “diperkayuan” melainkan di segala aspek kehidupan yang digulirkan tidak untuk diri sendiri melainkan hanya untuk Alloh SWT sehingga yang didapat adalah “cahaya” yang dengan cahayaNya itu akan naik ke langit menuju SurgaNya itulah “pahala” yang hakekat. Bahwa diri ini hanya seorang hamba yang tidak akan menjadi Pemimpin pada suatu Negeripun, sudah merupakan taqdir untuk tidak menjadi Pemimpin untuk suatu jabatan apalagi raja. Akan tetapi pada orang-orang yang memiliki bakat perbawa menjadi Pemimpin untuk Negeri ini akan berusaha menjadikannya Pemimpin, agar semua menjadi baik, demikian pula pada yang berbakat jadi “raja”, semua sesuai wawasan bakat keahlian menurut fitrah yang dikaruniakan Alloh SWT atas orang tersebut. Maka janganlah beranggapan bukan-bukan yang tidak sesuai dengan kenyataan pada diri ini, cukuplah sebagai hamba Alloh SWT.
“Kayu Untuk Kesejahteraan Rakyat” yang akan digulirkan pada pemerintahan mendatang hanyalah cobaan dari Alloh SWT atas rakyat Negeri ini, untuk sungguh-sungguh sebagai hamba Alloh SWT. Secara “Rohani” aka nada hubungan nyata antara “Langit dan Bumi” di bidang (melalui) tanam-tanaman. Artinya Alloh SWT akan segera “membuka pintu langit” atas Dunia ini yaitu dengan melalui “tanaman”, yang pada masa lalu Adam dan Hawa telah diturunkan Alloh SWT juga dengan (karena) melalui tanaman. Jadi berhati-hatilah dalam memperlakukan tanaman. Bahwa seharusnya BUMN-BUMN yang hakekat sesungguhnya adalah “kekayaan rakyat” dan yang sebenarnya untuk “Kesejahteraan Rakyat” ternyata banyak rakyat yang justru merasakan sebaliknya. Subsidi Negara untuk “Kesejahteraan Rakyat” justru rakyat seakan tidak mendapatkan atau merasakan subsidi itu, karena barang yang sampai kepada rakyat menjadi demikian tinggi. Mengapa rakyat tidak bisa membeli langsung ke Agen-Agen PT Pertamina hal gas 3 kg misalnya, karena selayaknya apakah itu eceran (rakyat biasanya eceran) atau grosir semua harus dapat “diterima Agen”, agar rakyat tahu dan dapat merasakan langsung harga “subsidi” yang sebenarnya, dan ini baru gas 3kg, belum subsidi pupuk, listrik pada PLN yang pasti ada CV sebagai penyangga dengan harga yang jadi melejit sangat tinggi ketika sampai ke rakyat. Jelas banyak prilaku-prilaku yang tidak “amanah” oleh BUMN-BUMN padahal pada dasarnya semua didirikan untuk Kesejahteraan Rakyat.
Dengan semangat Reformasi semoga “kejujuran” masyarakat Negeri inipun menjadi lebih kuat bila semua sungguh transparan dalam Keekonomian yang Rahmatan lil Alamin. Biarlah Alloh SWT yang langsung menjadi saksi atas “kejujuran” itu, sehingga layak tidaknya seseorang “menerima subsidi” ada dalam penilaian dirinya masing-masing. Karena secara “Rohani” bersama hambaNya ini Alloh SWT sungguh akan menurunkan “cahayaNya” Cahaya Diatas Cahaya yaitu sejalan dengan dibentuk terbentuk terwujud Nilai-Nilai Surgawi pada (seluruh) bumi ini. Sehingga kebaikan kebenaran dari prilaku-prilaku siapapun “cahayaNyalah” yang akan didapat, yang akan membentuk dirinya kepada pandangan-pandangan yang Non Lokalitas, Cahaya Alloh SWT yang pasti akan bersemayam dihatinya. Dan bila saja manusia tahu semua ini sungguh menuju kepada KeMaha Luasan “sisi”Nya, SurgaNya yang Tanpa Batas, yang Serba Non Lokalitas, yang jelas sangat jauh bila dibandingkan kenikmatan-kenikmatan sementara Dunia ini, hanya secuil kenikmatan bumi yang sekecil ini, pastilah akan lebih memilih ke Nilai-Nilai Surgawi yang sedang dibangun terbangun sedemikian rupa. Maka kebaikan dan kejujuran akan dijalaninya dengan kesabaran, sehingga tidak ada lagi kebanggaan demikian berlebihan atas harta benda duniawi yang pasti akan ditinggalkannya, bahkan dalam jangka waktu yang tidak lama. Bahwa keberhasilan seorang hamba akan dapat berarti keberhasilan seluruh manusia sejauh benar-benar pada jalan lurus yang diridhoiNya. Semoga Alloh SWT senantiasa memberi karunia kepada kita rahmat dan petunjuk yang hakekat, membukakan pintu hati kita untuk dapat menerima “CahayaNya” itu. Wassalam, wallahu a’lam bishowwab.
Winarno, mas nano ponakan Bu Retti, Paron Ngawi.Adalah satu-satunya saksi dari pihak Bu Retti tentang “amanah” untuk anak-anaknya kepada keluarga di Janggan serta Sine maka bila tidak diluruskan pastilah kalian akan jadi “Ahli Neraka” kasihan kalau kalian orang baik-baik.