Thursday, October 24, 2013

MENUJU MASYARAKAT ADIL MAKMUR




Konsep jelas dan dapat dipertanggung jawabkan sangatlah penting, hakekatnya tidak sekedar “prilaku Muhammad” Rasulullah SAW seorang diri, akan tetapi pada seluruh prilaku para Nabi dan RasulNya bahkan seluruh hamba-hambaNya tanpa kecuali yang “Notabene” berprilaku Alloh berahlak Alloh, sehingga juga tidak membeda-bedakan sedikitpun karena sama-sama “prilaku Alloh” yang Non Lokalitas, yang Segala Maha sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna. Jadi “perluaslah “ pemahaman kita terhadap makna “makan sepiring bersama” (sebagai bentuk keadilan) dengan Asma ul Husna, karena bagaimana prilaku para Nabi dan RasulNya selain Nabi Muhammad SAW pastilah juga hakekat. Jangan paksa orang-orang Luar Islam (hingga saat ini Islam “terlokalisir” hanya umat Nabi Muhammad SAW) itu mengikuti Al Quran dan As Sunnah tanpa “keikut sertaan” prilaku junjungannya masing-masing yang di sisi Alloh SWT (kelak teruji) sama-sama hakekat. Sesuai peristiwa Isra Mikraj tidak satupun para Nabi dan RasulNya dari seluruh hamba-hambaNya seluruhnya semuanya dari “sejak Nabi Adam AS” (artinya seluruh manusia tanpa kecuali) yang tidak terliputi, sehingga segala “Hisab” atas manusia dan jin seluruhnya semuanya adalah dengan “Al Quran yang di Lauhil Mahfuz”.
Katakanlah, aku tidak meminta upah sedikitpun apalagi “memperdagangkan” Konsep Adil Makmur dari apa yang terpandang di “sisi” Alloh SWT sebagai Nilai-Nilai Surgawi. Bahwa Adil Makmur yang hakiki yang sesungguhnya adalah “Bahasa Surga”, bahasa “sisi” Alloh SWT yang Maha Adil. Tidak akan terwujud Masyarakat Adil Makmur kecuali dengan Alloh SWT yang tidak lain membangun dan yang dibangun adalah “Nilai-Nilai Surgawi” itu belaka. Pahamilah dan perlakukanlah segala semua ayat-ayat Alloh SWT itu secara Non Lokalitas sesuai Nama-NamaNya Terbaik yang Serba Maha, tidak secara Lokalitas sehingga baik disadari atau tidak telah “terlokalisir” sedemikian rupa oleh manusia itu sendiri. Padahal sesuai Asma ul Husna tidak Cuma sebumi kita bahkan di segala penjuru bintang gemintang di segala gugusan-gugusan bintang, dimana padanya Alloh SWT juga menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Semua adalah dari firman-firman Alloh SWT “Yang Hidup” (itulah Nilai-Nilai Surgawi), sama semisal dengan kejadian bumi kita ini yang juga dari firman-firman Alloh SWT “Yang Hidup” (yang juga dari Nilai-Nilai Surgawi), di “sisi”Nyalah “Kehidupan Kekal Tanpa Batas”, meliputi segalanya seru sekalian alam bintang gemintang, dan itulah makna hakiki dari “rahmatan lil alamin” yang akan teruji bahwa seprimitif apapun “kehidupan” (pada masa Nabi Adam misalnya) maka “Hisab” sungguh juga dengan Al Quran. Jadi ukuran sesungguhnya tidak hanya “prilaku Nabi Muhammad SAW” akan tetapi “prilaku seluruh hamba-hambaNya” yang diturunkan kalimat-kalimat Kitab-KitabNya walau itu hanya satu kalimat sehingga sangat tidak sempurna atau sangat primitif (hanya saja Nabi SAW menginginkan terbaik tersempurna dari prilaku umat-umat sebelumnya).
Bahwa sebagai Kitab Suci Tersempurna maka yang terpandang di “sisi” Alloh SWT di Lauhil Mahfuz hanyalah Al Quran, seakan tidak terpandang Kitab-KitabNya yang lain (terlokalisir), akan tetapi ketika “ilmu Quran” itu “terbuka” maka menjadi terpandanglah seluruh Kitab-KitabNya yang lain, seluruhnya semuanya walau di bintang gemintang. Semua ini sesuai dengan “kemaha luasan” Surga yang Tanpa Batas sehingga hakekat “rahmatan lil alamin” menjadi terpandang sempurna dan semakin terang benderang. Bahwa  dalam “mengejawantahkan” ucapan atau istilah Al Quran dan As Sunnah itu selayaknya juga “merujuk” pada seluruh Kitab-KitabNya yang lain dari sejak Nabi Adam AS dari segala pelosok bumi ini, sesuai wilayah Al Quran (ilmu Quran) itu sendiri, sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna. (sanggupkah?). Sehingga dari Agama manapun termasuk Hindu Budha Zarathustra Sinto Khong Hu Cu danseterusnya pastilah akan terpandang nyata “Apa itu Adil Makmur sesungguhnya” (yaitu semua dengan Asma ul Husna). Bahwa semua yang hakekat benar-benar dari sisi Alloh SWT pasti akan “Teruji” dan tidak akan “gugur”, pasti akan naik ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya”. Dimana segala kelimat-kalimatNya segalanya semuanya akan “bergabung” bagikan bentukan bangunan “sebuah rumah” yang “dibentuk” oleh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali,  sehingga akan terpandanglah Nilai-Nilai Surgawi yang sesungguhnya. Demikian itulah “rumah” yang dibangun para Nabi dan RasulNya (seluruhnya akan “bertemu”), dan semua ini sangat jelas tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj.
Ingat, pada kenyataannya dalam “Satu Agama” saja sedemikian kuat pengaruh dari sifat-sifat yang sangat “Lokalitas”, sehingga terbentuk “golongan-golongan sekte-sekte firkah-firkah”, maka bagaimana masing-masing golongan khusus dalam Islam, yaitu bila ingin tujuan Adil Makmur itu terwujud semuanya pasti menunjuk “ikutilah Al Quran dan As Sunnah”, tentu saja tiap golongan sangat yakin dengan pandangannya. Jadi tetap tidak mudah karena “pilihan-pilihan” akan muncul dimana dengan ayat-ayat yang sama berbeda tafsir. Bayangkan bila seluruh Agama atau berbagai Agama ditambah pernik-pernik Duniawi sama-sama memiliki Konsep Adil Makmur yang semua “mengajukan” dengan sangat yakin sebagai bentuk paling benar pada sebuah Negara. Tentu ada adu argumentasi dalam menentukan suatu pilihan, yang kemudian hingga kini berakhir dengan kekecewaan (gagal). Apakah Saudi Arabia itu tidak berpedoman pada Al Quran dan As Sunnah? Adil Makmurkah Negeri atau Kerajaan itu? Apakah Negeri inipun sungguh Adil Makmur yang sesuai dambaan sesuai cita-cita hanya dengan sebuah keinginan (dengan keyakinan sangat) “berpedomanlah pada Al Quran dan As Sunnah”, dan betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas akan terus saling berbenturan bahkan terkadang antar keluarga sendiri, sementara “Antar Negara” apa yang terjadi?
Dan apakah seorang hamba dianggap sedang “menjual” Konsep Adil Makmur hanya karena tulisan-tulisan ada pada blog alasketonggoone (sebelum ini masnano.info) nama suatu perusahaan? Ingatlah, betapa Ulama-Ulama (Cendekiawan-Cendekiawan Islam) khususnya masa kini baik itu dengan menulis atau berceramah serta mereka yang “meminta” upah bahkan dengan tarif tertentu, akan terjegal masuk Surga bahkan untuk mendapat pahala ketika ditanya Alloh SWT yaitu katakanlah, aku tidak meminta upah sedikitpun....... Maka berbahagialah bergembiralah orang-orang yang sungguih-sungguh menulis berceramah hanyalah dengan Alloh SWT dengan pandangan-pandanganNya sehingga semua demi AgamaNya menjadi rahmat atas semesta alam, bagi manusia seluruhnya. Pastilah persesuaian dengan “prilaku Nabi” demikian penting baginya, semua doa-doa pastilah bagi keselamatan umat manusia. Betapa ingin saudara-saudaranya juga selamat dan masuk Surga mengingat keadaan moral Duniawi seperti saat ini, yang sedemikian rupa telah membelenggu manusia tanpa kecuali, mungkin timbul kekhawatiran tentang hal ini?
Alas Ketonggo One suatu perusahaan yang dirancang untuk membentuk “Keekonomian” Islam yang siapapun dari Agama manapun dapat mendirikannya agar sedemikian rupa terbentuk “Keekonomian yang rahmatan lil alamin”, sesuai Lingkup “amanah Alloh” pada hambaNya ini yaitu ke bintang gemintang, lingkup kekalifahan yang sesungguhnya. Bahwa sudah waktunya langit demi langit akan “Terbuka”, Lingkup kehidupan manusia tidak lagi hanya “sebumi” akan tetapi ke segala bumi di seru sekalian alam Tanpa Batas, itulah hakekat sesungguhnya “rahmatan lil alamin”. Karena itulah seharusnya tidak perlu heran, bila yang hendak dibangun dan terbangun adalah “Nilai-Nilai Surgawi”, sehingga istilah Masyarakat Adil Makmur hanyalah “dampak” dari terrealisasinya Nilai-Nilai Surgawi tersebut. Jelas tidak berapa lama lagi Islam tidak lagi seperti keadaan sekarang ini, Islam akan menjadi “bagi segala Agama” (segala Agama adalah Islam) walau di bintang gemintang, sebagaimana Alloh SWT itu Tuhan bagi Semua Agama walau di bintang gemintang, Islam sungguh Islam yang rahmatan lil alamin yang Serba Non Lokalitas. Semua Agama itu telah dijernihkan disucikan diluruskan semua “Teruji” dengan Asma ul Husna, dan menjadi bagian yang hakekat di dalam Al Quran.
Marilah kita renungkan kembali hakekat Islam yang kita jalani selama ini, dari generasi ke generasi, apa sungguh-sungguh Islam yang dipahami secara Non Lokalitas sesuai Asma ul Husna? (Silahkan uji materi dengan Asma ul Husna). Bahwa lingkup Islam cakupan Islam yang sesungguhnya apakah hanya “sebumi”? bagaimana umat Islam selama ini dalam memahami Asma ul Husna sedemikian rupa telah terlokalisir oleh lokalitas-lokalitas sempit. Apakah hanya Nabi Muhammad SAW yang “berisra mikraj”, sedang umat Islam tidak? Hamba-hambaNya yang lain tidak mungkin ditarik Alloh SWT untuk berisra mikraj? Padahal sebutan “hambaNya” dalam ayat isra mikraj menunjukkan betapa banyak “permisalan-permisalan” atas Nabi Muhammad SAW yang semua “diisra mikrajkan Alloh SWT”, khususnya umat Nabi Muhammad SAW itu sendiri yang menjalani sholat yang sungguh “bersesuaian” dengan Kehendak Alloh SWT yang diperintahkanNya. Dan pandanglah bagimana para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya telah ada “menunggu” di langit demi langit, apakah mereka itu diisra mikrajkan Alloh SWT? Dengan “kendaraan” apa?
Bila saja orang benar-benar mengenal “Apa itu Nilai-Nilai Surgawi”, maka akan lebih mudah “memahami” hakekat sesungguhnya dari peristiwa isra mikraj. Dan juga “memaklumi” tentang bagaimana para Nabi dan RasulNya bahkan seluruhnya semuanya telah berada di langit demi langit dalam kondisi “seutuhnya”, karena secara hakekat yaitu dengan pandangan melalui Nilai-Nilai Surgawi maka mereka (para Nabi dan RasulNya) itu “tidak mati” baik jasad maupun jiwa, Cahaya Alloh SWT yang “Kekal” terbawa dalam diri-diri mereka masing-masing, “menyatu” dengan diri-diri mereka “seutuhnya”, bahkan bagi “siapa saja” yang mati dengan Alloh SWT, dengan ahlak Alloh fitrah Alloh berada “seutuhnya” dalam Nilai-Nilai Surgawi niscaya akan sama semisal dengan para Nabi dan RasulNya itu, seluruhnya semuanya. Jadi pahamilah tentang Lingkup Surgawi yang Tanpa Batas dengan kehidupan “Kekal” di dalamnya.
Kini pandanglah pula alam semesta bintang-gemintang dengan wujud bumi yang bagaikan sebutir pasir di tengah padang pasir yang sangat luas, bagaimana menjelajahi antar bintang tanpa hidup kekal? Padahal Nilai-Nilai Surgawi itu “merata” (senantiasa melekat) pada seluruh alam semesta bintang gemintang, seru sekalian alam Tanpa Batas. Dan memang hanya dengan Nilai-Nilai Surgawi itulah maka penjelajahan manusia atas seru sekalian alam ini terwujud. Bahwa rahmatan lil alamin tidak lain Nilai-Nilai Surgawi itu sendiri, merupakan Lingkup “kekalifahan” yang sesungguhnya bagi manusia, Lingkup Kehidupan Tanpa Batas yang “dijanjikan” di dalam seluruh Kitab-KitabNya, dari para Nabi dan RasulNya (yang disebut Surga). Lebih jauh kendaraan (dengan teknologi) macam apa sehingga manusia sungguh dapat menjelajahi seru sekalian alam bintang gemintang? Bagi Agama tentu teknologi “sisi” Alloh  SWT, “Cahaya Diatas Cahaya”.akan tetapi jelas terjadi perbedaan cara pandang bahwa Teknologi Duniawi tidak bisa dikait-kaitkan dengan “Cahaya Diatas Cahaya”, apalagi itu Cahaya Tuhan, Cahaya Alloh SWT, juga tidak bisa dikaitkan dengan Buraq, kendaraan yang mengantar Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha.
Tentu saja seorang hamba memilih sebaliknya, karena pada dasarnya alam semesta adalah dari firman-firman Alloh SWT dari kalimat-kalimat Alloh yang tidak lain dari cahaya Alloh SWT “Cahaya Diatas Cahaya”. Bahwa hancur luluh sebuah gunung dalam pandangan Nabi Musa AS hanya “mengembalikan” gunung Thursina itu kepada (Cahaya) Tuhan bagi gunung itu. Dan yang terpandang kemudian adalah garis-garis hukumNya firman-firmanNya Sepuluh Perintah Tuhan dalam wujud Kitab Taurat. Demikian itu adalah “Lingkup Sebuah Gunung” yang Alloh SWT menciptakan gunung Thursina itu dengan kalimat-kalimat firman-firmanNya paling sempurna sehingga Nabi Musa AS sungguh (dapat sampai) memandang “wajah” Tuhannya dalam bentuk Kitab Suci Taurat. Suatu kejadian suatu peristiwa “Pengenalan Diri Alloh SWT kepada mahluk”. Maka “semisal” itulah gunung-gunung terbentuk sehingga Nabi Musa AS  sesungguhnya tidak hanya memandang “sebuah gunung” melainkan “seluruh gunung-gunung” seluruhnya semuanya secara “serentak” walau itu di bintang gemintang. itulah ayat-ayat dari Kitab SuciNya yang Non Lokalitas dari DiriNya Sendiri, dipetikkan dari Nama-NamaNya Sendiri dari dan bagi Nama-NamaNya yang Terbaik, Asma ul Husna. Di sisiNya Surga yang dijanjikan dalam “kemaha luasan” Tanpa Batas, dari dan bagi Nama-NamaNya Terbaik belaka, Asma ul Husna sehingga terpandang “Surga”, terpandang “Nilai-Nilai Suirgawi” yang Non Lokalitas Segala Maha oleh Nabi Musa AS. Demikianlah hakekat ilmu Alloh SWT ilmu Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS.
Dan sungguh itu hanya pada “sebuah gunung” sedang bila pada bumi (pada kejadian “bumi” akan sekaligus terkait dengan kejadian “langit”) pada alam semesta langit dan bumi, maka “pemandangan yang terjadi” adalah apa yang disebut “Kiamat Kubro”, yaitu alam semesta langit bumi akan “hancur luluh” maka yang terpandang kemudian seluruh garis-garis hukumNya paling Sempurna berupa Dua Keping Lauhil Mahfuz yang amat sangat besar Al Fatehah dan Ayat-Ayat Al Quran seluruhnya, merupakan Kitab SuciNya paling Sempurna, “Pengenalan DiriNya Paling Sempurna kepada mahluk”, dan itulah Nilai-Nilai Surgawi sehingga menjadi “Sempurnalah” Surga itu dengan kalimat-kalimat Tuhannya, yaitu Al Quran.
Dengan cara pandang “permisalan” antara gunung dan bumi, maka hakekat Kiamat Kubro juga tidak harus sama dengan persepsi-persepsi yang ada hingga saat ini, karena jangankan “sebuah bintang” yang besarnya sedemikian rupa di banding bumi kita sehingga secara “akal” justru bumi kita ini yang seharusnya jatuh hancur luluh ke dalam bintang itu. Jadi bagaimana mungkin bintang-bintang (tidak hanya satu bintang) justru berjatuhan ke bumi? (mau ada dimana bumi kita ini, bahwa di bumi itulah kamu akan dibangkitkan). Maka bagi seorang hamba cukuplah bila Nilai-Nilai Surgawi secara sempurna “mengejawantah” di bumi kita dan langit kita, dimana seluruh isi Kitab-KitabNya menjadi “kenyataan” sempurna..
Bagi seorang hamba, “Kiamat” itu justru hanya “peralihan” dari kehidupan “sebumi” (sebagaimana Adam diturunkan ke bumi) menjadi ke segala bumi di seru sekalian alam Tanpa Batas (disebut Surga), dari Nilai-Nilai Duniawi yang Terbatas ke Nilai-Nilai Surgawi yang Tanpa Batas Non Lokalitas, dari kehidupan Duniawi yang sementara kepada kehidupan Surgawi yang kekal Tanpa Batas, dari ketidak sempurnaan menjadi Ke Maha Sempurnaan yaitu Lingkup “sisiNya” itu yang menuruti Nama-NamaNya Terbaik belaka, yang Kekal, yang Tidak Berubah sebagaimana sejak atau sampai kapanpun Asma ul Husna itu “Tidak Pernah Berubah”, Alloh SWT Tidak Pernah Berubah, dan karena Asma ul Husna Tidak Pernah Berubah maka “Tidak Pernah Ada Perubahan Dalam Hukum Alloh SWT”. (Bila kemudian ada manusia yang menganggap Asma ul Husna itu berubah maka bukan Asma ul Husna Alloh SWT yang berubah, akan tetapi hukum selain Alloh SWT itulah yang ada dalam pandangan manusia tersebut, Maha Suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan.) Jadi “Apa Itu Kiamat Kubro” sesungguhnya? Karena akan menjadi sesuatu yang aneh bila manusia bisa hidup kekal ke bintang gemintang tanpa terjadi “Kiamat Kubro”.
Sedang tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi insyaAlloh pasti kita akan menemui, sebagaimana hambaNya ini juga mengantar umat masing-masing Agama kepada junjungannya masing-masing, hingga kita semua menemui Alloh SWT atas Kehendak Alloh SWT Sendiri, dan di “sisiNya” Surga yang dijanjikan. Bahwa dengan “Nilai-Nilai Surgawi” para Waliulloh Tanah Jawa ini dapat “menemui” Nabi Khidir AS menurut ilmu yang dikaruniakan Alloh SWT. Maka demikian pula dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang sungguh hakekat pula kita akan dapat memandang langsung turunnya Al Masih dan Al Mahdi dan menemui Beliau-Beliau, yang semua adalah atas Kehendak Alloh SWT. Bahkan kelak demikian pula, hanya dengan Nilai-Nilai Surgawilah kita dapat bertemu semua para Nabi dan RasulNya semuanya seluruhnya dalam keadaan “seutuhnya”. Sedang mengenai “pertemuan” dengan Al Mahdi maka ilmu Alloh tentang hal ini ada dipegang oleh para Imam Syiah yang ada saat ini di Iran, khususnya melalui catatan-catatan dari dan tentang Para Imam Yang Duabelas, dimana semua ajaran itu disebut “Mushaf Fatimah” yang semua itu hanya kumpulan ajaran dari Para Imam Yang Duabelas saja. Sedang tentang turunnya Al Masih sebagian ada di dalam Mushaf Fatimah dari Para Imam Yang Duabelas sedang sebagian lain justru dipegang oleh umat Nasrani itu sendiri, (sehingga akan “ditaklukkan Dajjal” itu oleh Al Masih sendiri). Bahwa seorang hamba tidak memiliki hak atau kekuasaan sedikitpun untuk dapat menemui hamba-hambaNya yang hidup pada masa lalu, para Nabi dan RasulNya, para Waliulloh juga para Imam yang Duabelas, atau siapapun melainkan semua akan berjalan sesuai dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang terbangun dan dibangun melalui hambaNya ini, hingga sempurnalah Surga itu dengan kalimat-kalimat Al Quran, dan akan sempurnalah RahmatNya yang Sembilan-puluh-sembilan itu kepada mahluk.
Untuk dapat lebih memahami dengan sabar “Apa sesungguhnya Kiamat Kubro itu” maka pelajari renungkan dan telaah kembali peristiwa Isra Mikraj dengan apa yang telah diuraikan dalam tulisan-tulisan hambaNya ini, karena dalam pandangan hambaNya “Kiamat Kubro” itu kini sungguh sedang “berproses” (sungguh akan terjadi). Sebagaimana yang tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj maka kita semua (seluruh mahluk baik jin dan manusia) suka atau tidak suka akan ditarik ke sisi Alloh SWT, sehingga kelak juga akan terpandang  “Apa itu Hisab”. Bagaimana mahluk yang tidak memiliki “cahaya Alloh SWT” didalam dirinya pasti akan “terbakar”. Hanya  dengan kekuatan-kekuatan Alloh SWT yang lebih lebih dan lebih kuat dari segala “kemaha dahsyatan” alam semesta langit dan bumi maka dirinya akan selamat dari azab dan mencapai sidratul muntaha serta Surga di sisiNya. Bersama “perjalanan waktu” menuju Alloh SWT maka manusia akan berusaha membentuk kendaraan yaitu (dengan Teknologi) Buraq dengan menuruti “petunjuk” Alloh SWT kepada hambaNya ini. Sungguh semisal dengan saat Nabi Nuh AS membuat “perahu” dengan menuruti garis taqdir yang tertulis di sisi Alloh SWT, jadi Nabi Nuh AS membuat perahu juga dengan “petunjukNya”.
Bagaimanapun Kiamat Kubro yang “menurut Agama” pada dasarnya tidak harus “sepenuhnya” dicocokkan dengan “pengetahuan manusia tentang Alam Semesta bintang gemintang”, karena lebih kepada “pemahaman manusia kepada Ajaran Agama itu sendiri”. Persepsi tentang bumi dan langit misalnya apakah harus disesuaikan dengan pengetahuan manusia tentang bumi (dalam buku-buku Ilmiah saat ini) yang menjadi bagian dari Alam Semesta bintang gemintang? Persepsi tentang “apa sesungguhnya Langit itu?” hingga saat ini belum ada “kecocokan” yang tepat, jadi sebenarnya “Langit” termasuk yang belum dimengerti secara jelas. Karena itu maksud “kejadian bumi” di dalam Kitab SuciNyapun sebenarnya tidak seperti yang terbayangkan selama ini atau dapat dikatakan kejadian langit dan bumi serta pergiliran siang dan malam dalam Agama, persepsi sesungguhnya tidak menuruti jalan pikiran dan pemahaman manusia yang sangat Lokalitas (walau dengan bahasa Ilmiah yang masuk akal). Karena itulah seperti pada masa Nabi Ibrahim AS bila tiba-tiba matahari terbit dari arah sebaliknya dari Barat ke Timur maka hal tersebutpun dapat akan dan pasti terjadi menjelang Kiamat Kubro tanpa manusia harus mengerti secara Ilmiah sebab musababnya (itulah sebabnya Kiamat terjadi dengan tiba-tiba), khususnya sebagai tanda telah “tertutup” pintu taubat. Dan yang jelas manusia sudah diberi “peringatan” sebelumnya, jauh hari ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup atau masa jauh sebelumnya, bukankah telah ribuan tahun? Walau demikian bukan berarti persepsi-persepsi  tentang kejadian Alam Semesta Langit dan Bumi  selama ini, yang bergulir dari hambaNya “salah”. Tidak demikian melainkan merupakan tahapan-tahapan yang dikaruniakan Alloh SWT untuk kepada hakekat sesungguhnya, sehingga akan dapat dimengerti manusia seluruhnya khususnya para Ilmuwan. Istilah “Langit” misalnya memang akan lebih dekat dengan pengertian “Luar Gravitasi”, hingga kepada pemahaman penciptaan secara Kun, faya kun oleh Alloh SWT.
Jelasnya tahapan-tahapan tanda-tanda “Kiamat Kubro” sebenarnya bolehjadi sudah ada dan bahkan “terlewati” dimana manusia sama sekali “tidak menyadarinya”, bukan karena Alloh SWT tidak memberi isyarat itu secara sangat jelas melainkan pandangan-pandangan manusia itu sendiri lebih “terfokus” pada apa maunya sebagian besar manusia itu sendiri, artinya terbawa arus Duniawi yang Notabene terkadang jauh dari realisasi tanda-tanda Kiamat Kubro yang terus bergulir sejak dahulu. Padahal hakekat  “telah dekat” di sisi Alloh SWT akan jauh berbeda pemahaman “telah dekat” oleh manusia. Sehingga manusia bertanya-tanya karena telah terjadi “pergantian sekian generasi” bahkan tanda-tanda Kiamat Kubro belum ada dirasakan secara lengkap (termasuk oleh para Agamawan). Bagaimana dapat dirasakan tanda-tanda Akhir Jaman yang terus bergulir kalau pengetahuan yang sesungguhnya tentang hal ini terabaikan oleh kelengahan dan ketidak sempurnaan pikiran-pikiran manusia yang sangat Lokalitas?
Jadi bukan tanpa alasan bila seorang hamba meyakini dimana seharusnya tanda-tanda Kiamat Kubro itu telah ada dan terlewati dalam perjalanan waktu yang ribuan tahun, khususnya setelah Kitab Suci Al Quran diturunkan, dan karena “pemahaman” yang sesungguhnya “berbeda” atau bahkan sangat jauh berbeda dengan cara pandang manusia terhadap (kejadian) Alam Semesta antara Kitab Suci itu Sendiri dengan apa yang terpandang oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Artinya Kitab Suci memiliki jalur sendiri yang Alloh SWT Sendiri yang mengetahui, sedang manusia hanya akan dapat memahami melalui apa yang terpandang dalam (realitas) kehidupan sehari-hari yang telah berjalan ribuan tahun dari generasi ke generasi. Kitab Suci itu lebih ke Non Lokalitas dalam KeMaha SempurnaanNya sedang manusia tidak, yaitu seumpama cara pandang Nabi Musa AS terhadap gunung Thursina saat mendapat wahyu Kitab Taurat dengan pandangan manusia sehari-hari terhadap gunung Thursina itu, apa juga terpandang “Hancur Luluh” sebagaimana dalam pandangan Nabi Musa AS? Saat sekarang ini Kosmologi sedemikian rupa pandangannya terhadap Alam Semesta, apakah uraiannya (teori-teorinya) sungguh dapat sama dan sejalan dengan bacaan dalam Al Quran?
Semakin kita mengenal “Nilai-Nilai Surgawi” (dan karena yang dibangun dan terbangun melalui hambaNya adalah “wilayah Surga” ke bintang gemintang) maka akan semakin jelas dan mendalam pengertian tentang “Apa itu Kiamat Kubro” yang menjadikan wilayah kehidupan manusia Tanpa Batas. Bukan sesuatu yang salah bila seorang hamba mengatakan bahwa kita memang sedang “Menuju Masyarakat Adil Makmur” suatu “dampak” nyata dari terbangunnya Nilai-Nilai Surgawi di Negeri ini.wallahu a’lam bish showwab. Sekian dulu.
Winarno, masnano ponakan bu Retti Paron Ngawi.

Monday, October 7, 2013

BANGUNLAH KRATON DI ALAS KETONGGO




Kepada KGPH PA Tedjowulan, segeralah bangun Kraton” itu, karena pada dasarnya sudah “ditunggu” khususnya masyarakat Paron. Bolehjadi memang “sudah waktunya” Kraton yang telah direncanakan (diramalkan) nenek moyang itu terbentuk terwujud terrealisasi. Jadi perlihatkanlah dengan sesungguhnya kemampuanmu sebagai seorang “Raja”, yang bahkan karena membangun dari “awal”, insyaAlloh akan terbangun pula suatu sistem dengan “Inspirasi Terbaru dan Terbaik” sedemikian rupa sehingga menjadi “kerajaan” yang rahmatan lil alamin. Menjadi ujung tombak dalam membawa Negeri ini menuju masyarakat Adil Makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja. Dimana diri ini sebagai hamba Alloh yang sangat mendukung hanya menyarankan ikutilah “petunjuk Alloh SWT” dengan menuruti “fitrah Alloh”, karena itulah “Spiritualitas” yang benar. Artinya dalam membangun “Kraton” seorang Tedjowulan hendaknya bersama-sama berusaha mengubah diri menjadi hamba Alloh yang tunduk patuh mengikuti prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al Quran dan As Sunnah, sehingga ahlak menjadi ahlak Alloh.
Pelajaran nyata bahwa semua Negeri-Negeri di seluruh pelosok bumi ini telah “gagal” membawa rakyatnya Adil Makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja, baik itu kapitalisme, sosialisme, imperialisme dansebagainya bahkan yang disebut “daullah Islamiyah” juga pada kenyataannya masih demikian “terasa” didominasi oleh sifat-sifat yang sangat “Lokalitas” dalam mewujudkannya. Padahal sifat-sifat “kedirian, golongan”  serta semua sifat yang  masih sangat Lokalitas harus lenyap dalam “merrealisasikan mengejawantahkan” hukum Alloh SWT yang rahmatan lil alamin. Dimana semua yang dari Alloh SWT itu pastilah bersifat “Non Lokalitas” sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna yang Segala Maha. (Bacalah tulisan-tulisan sebelum ini). Artinya bila “kedirian” itu lenyap maka yang tinggal justru “Kehendak Alloh SWT” belaka, sehingga jadilah Alloh SWT sebagai penglihatannya ketika dia melihat, pendengarannya ketika dia mendengar dan hatinya ketika dia berpikir menilai berprilaku dengan akalnya. Itulah “ahlak Alloh” yang merupakan ciri khas ciri hakiki seluruh semua para Nabi dan RasulNya walau di bintang gemintang. dalam hal ini tidak ada “perbedaan” secara hakiki “ahlak Alloh” itu atas seluruh hamba-hambaNya (dimanapun), dan sungguh Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna pula yang disembah mahluk Bintang Syira. Kemudian siapapun yang prilakunya “bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya maka pada saat itu dirinyapun dapat ikatakan “berahlak Alloh SWT” (sebagaimana yang pernah terjadi dalam perang Badar). Karena itulah prinsip spiritual yang benar adalah menjadikan “Nabi itu sungguh lebih utama” dari dirinya sendiri, sehingga dapat “meneladani” secara total prilaku NabiNya. Juga terhadap tiap keputusan yang “bersesuaian” dengan Al Quran dan As Sunnah dirinya akan tunduk  patuh.
Sesungguhnya hanya dengan Alloh SWT maka “Kerajaan” yang didamba dicita-citakan akan dapat terwujud sempurna. Dimana “Keekonomian”pun harus dengan Alloh SWT, prinsip-prinsip yang bersifat Lokalitas selayaknya diganti dibuang dibersihkan dijernihkan, walau tetap tidak mungkin terwujud kecuali dengan “petunjukNya”. Dan bolehjadi hal “Keekonomian” inilah yang dianggap sebagai “tolok ukur” keberhasilan dalam membentuk masyarakat Adil Makmur. Padahal  berapa banyak Negeri-Negeri yang runtuh bahkan dengan “Azhab Alloh” yang demikian dahsyat justru karena “Keekonomian” dianggap sangat berhasil, Negeri itupun terpendam bersama harta benda yang demikian melimpah (mungkin juga seperti Karun yang memiliki harta yang banyak). Karena itulah diri ini sebagai seorang hamba Alloh tidak lebih hanya berusaha membawa menuju Taqwa yang tidak lain berprilaku berahlak Alloh termaksud, karena prilaku Alloh itulah prilaku Taqwa yang sesungguhnya. Dimana di SurgaNya kelak yaitu di "sisi" Alloh SWT yang ada hanyalah prilaku Taqwa belaka yang semakin dan semakin sempurna (meluas sesuai kemaha luasan Surga itu), walau sejak memasuki Surga prilaku Taqwanya sudah sangat sempurna, tidak ada prilaku di luar Taqwa.
Bolehjadi  akan banyak kendala dalam membangun “Kraton yang rahmatan lil alamin” (Non Lokalitas), mengingat demikian dominan serta telah membudaya segala desah nafas denyut-denyut kehidupan dengan sifat-sifat yang sangat Lokalitas, bukan hanya di Paron tetapi di hampir seluruh pelososk bumi ini. Istilah komersil dan bahkan yang dianggap Non Komersilpun tidak lepas dari sifat Lokalitas. Maka satu-satunya cara terbaik adalah kepada pemahaman Agama Alloh yang murni yang Serba Non Lokalitas sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna, kunci segala kunci, sumber segala sumber yang langsung memandang “sisi” Alloh SWT. Itulah Nillai-Nilai Surgawi yang Serba Non Lokalitas dengan lingkup kehidupan yang tidak hanya “sebumi” melainkan segala bumi seru sekalian alam bintang gemintang sebagaimana makna hakekat dari rahmatan lil alamin yang sesungguhnya Tanpa Batas. (Dan sesungguhnya itulah Lingkup kekhalifahan yang “dijanjikan” di seluruh Kitab-KitabNya, dari seluruh para Nabi dan RasulNya.)
Agama Alloh SWT adalah (pe)”nasihat” terbaik tidak hanya bagi diri ini ataupun seorang  KGPH PA Tedjowulan, tetapi seluruh manusia dan jin. Kebersamaan dalam menjalani kehidupan dunia ini secara “fitrah Alloh” tentu dengan penjelasan dan keterangan yang memadai, sehingga demikian nyata sungguh menuju Alloh SWT dan SurgaNya, Surga yang di “sisi”Nya itu. Akan tetapi sungguh tidak akan masuk Surga siapapun termasuk diri ini bila berprilaku tidak “bersesuaian” dengan Asma ul Husna, Surga yang “isinya” hanya kekuatan-kekuatan Segala Maha belaka. Akan “terbakarlah” bagi siapapun yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan Alloh SWT, yaitu CahayaNya, maka dalam dirinya harus terpancar Cahaya Alloh SWT Cahaya Diatas Cahaya. Hanya dengan (kekuatan) Alloh SWT yang lebih lebih dan lebih kuat dari segala kemaha dahsyatan alam semesta Langit bumi, sehingga segala kemaha dahsyatan alam semesta Langit bumi itu tidak dapat lagi “menghancurkan” dirinya tubuhnya, dan karena itulah kehidupan di Surga itu “kekal”. Kalau saja manusia tahu untuk apa kehidupan di dunia ini dengan sesungguhnya, pastilah manusia akan berlomba-lomba menuju Alloh SWT, akan senantiasa berbuat baik. Bila saja mengetahui betapa tidak sebandingnya harta benda duniawi yang demikian melimpah dan walaupun bumi ini dalam genggamannya dalam kekuasaannya. Karena bumi ini ternyata hanya bagaikan sebutir pasir di tengah padang pasir bintang gemintang, atau bagaikan setetes air dibanding lautan yang sangat luas. Jadi pandanglah betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas demikian “menipu” dan ternyata demikian mempengaruhi sedemikian banyak manusia.
Bagaimanapun diri ini hanya berusaha menyarankan dengan memberikan pandangan sedemikian rupa, karena bolehjadi sebagai orang yang terbiasa di Kraton maka KGPH PA Tedjowulan tentu memiliki prinsip-prinsip kekratonan sendiri yang telah mentradisi dan membudaya (mendarah daging). Sementara diri inipun sedang berusaha mewujudkan apa yang bolehjadi merupakan “amanah Alloh”, untuk jelasnya bacalah apa yang sudah diri ini tulis di blog “alasketonggoone” agar kita dapat bersama-sama berjuang (bersesuaian) yang mungkin bisa saling menguatkan, dan tidak bertentangan.  Dan karena sesungguhnya apa yang terjadi pada prilaku ayahmu adalah “takdir” sehingga terjadi gonjang-ganjing di Kraton Solo, artinya “memang ini sebenarnya adalah dawuh untuk membangun Kraton di Alas Ketonggo”, apa KGPH PA Tedjowulan mau konsekwen menjalaninya atau tidak, insyaAlloh semua akan berjalan sebagaimana apa yang telah terpandang oleh orang-orang tua dahulu, insyaAlloh. (Sekian dulu). Wallahu a’lam bishshowwab.
Winarno, masnano ponakan Bu Retti Paron, Ngawi.

Tuesday, September 24, 2013

UJILAH DENGAN ASMA UL HUSNA



Sekian kali seorang hamba mengatakan “ujilah dengan Asma ul Husna”, maka itu berlaku atas segala Agama walau di bintang gemintang dengan “Nama bahasa serta budaya” bahkan belum terbayangkan dalam benak kita, tetapi yang pasti Alloh SWT  pula Tuhan  mereka. Bahwa seluruh Agama di bumi ini hanyalah “pelajaran” betapa “perbedaan” itu sedemikian rupa, karena antar mahluk (baik manusia atau jin) ada “perbedaan” walau dianggap “kembar identik” sekalipun. Sesisir pisang atau bahkan “antar butiran-butiran” pasir di padang pasir yang luas apakah manusia mengira sungguh “sama” dan tidak ada “perbedaan”? Maka  yang “ada” hanyalah yang “semisal “ permisalan, dimana semua terwujud dalam “keserentakan gerak” (satu kalimat untuk seluruh) sedemikian rupa sehingga terjadilah hal-hal yang “semisal” tersebut diatas.
Bahwa seluruh kalimat-kalimat Alloh SWT itu pastilah (akan dapat) kembali kepada Alloh SWT, senantiasa mencari jalan menuju Tuhannya, tidak akan musnah lenyap kecuali yang bathil bathal karena memang bukan kalimat-kalimat Alloh SWT, sehingga akan “gugurlah” dia sebagai kalimat yang bersumber dari Asma ul Husna yang Non Lokalitas. Sebagaimana kita ketahui seluruh ayat-ayat Suci dalam Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya (khususnya Al Quran) akan senantiasa “naik” secara pasti ke sisi Alloh SWT, sehingga sungguh-sungguh bersifat “Non Lokalitas” sebagaimana Nama-NamaNya Terbaik, Asma Ul Husna termaksud. Hanya saja  kebanyakan manusia menyikapi segala sesuatu secara sangat “Lokalitas” yang akibatnya jadi picik sempit makna ayat-ayatNyapun “terperas” sedemikian rupa, hanya menuruti apa “maunya”, dimana peran “hawanapsu” menjadi “dominan” walau  tanpa disadarinya.
Bahwa seluruh “kebenaran” pada seluruh Agama (sebelum Muhammad) di pelosok bumi ini pada dasarnya “kalimat-kalimat” ( Alloh) yang “belum” sempurna belum selesai maka Al Quranlah “penyempurna” segala sesuatunya, hal demikian sangat jelas “tersyirat” dalam peristiwa Isra Mikraj. Bahwa semuanya memang harus “disempurnakan” hingga segalanya semuanya “naik” ke sisi Alloh SWT yang akan teruji yaitu dengan Asma Ul Husna, Sumber dari segala Sumber kebenaran  paling hakiki, sehingga jadilah “Nilai-Nilai Surgawi yang kekal Serba Non Lokalitas. Dimana Nilai-Nilai Surgawi di “satu” bumi kita ini cenderung “diperas” sedemikian picik sempit seakan  kehidupan itu hanya di bumi kita ini saja, padahal bumi kita hanyalah terbentuk dari “setitik” kalimat firmanNya dari antara segala penjuru bintang gemintang yang juga terbentuk dari kalimat-kalimat firman-firmanNya, seluas SurgaNya yang Non Lokalitas Tanpa Batas, sebagaimana makna Asma Ul Husna itu Sendiri. Bahwa firman-firmanNya adalah “hidup” sehingga di bumi kita ini terbentuk “kehidupan” sebagaimana yang kita ketahui tentang Asma Ul Husna itu Sendiri. Maka terbentuk  “kehidupan” seperti di bumi kita ini adalah sebuah “Realitas” yang pasti terbukti, yang sekaligus membuka mata hati manusia tentang Area Wilayah “kekalifahan” manusia sesungguhnya di alam semesta Tanpa Batas, Rahmatan lil alamin.
Pandanglah  di bumi yang “sekecil” ini, bagaimana umat Muhammad tidak dapat membayangkan dan menerima adanya “Muhammad-Muhammad” lain “semisal” di segala “bumi-bumiNya” di Area Maha Luas, Non Lokalitas bintang-gemintang. Padahal Nabi Muhammad SAW itu sendiri melakukan “permisalan” dengan Ali bin Abi Thalib adalah semisal Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS (bahkan juga terhadap para sahabat, artinya Nabi Muhammad SAW sendiri tidak segan-segan melakukan “permisalan”). Menyikapi sesuatu itu dengan sifat yang sangat Lokalitas senantiasa melepaskan tidak menghiraukan yang lain kecuali dirinya. Terhadap bumi maka hanya di bumi inilah “adanya” Muhammad itu tidak di bumi-bumiNya yang lain. Padahal “permisalan” adalah sesuatu yang umum terjadi, seperti hal bacaan “Sholawat dalam sholat” bahwa rahmat dan barokah yang dikaruniakan Alloh SWT sungguh sama “semisal” sebagaimana rahmat dan barokah yang Alloh SWT karuniakan kepada Nabi Ibrahim AS ( doa sholawat ini juga menunjukkan bahwa sesungguhnya “banyak” yang “semisal” dengan diri Nabi Ibrahim AS ataupun diri Nabi Muhammad SAW).
Suatu “garis Risalah” paling hakiki dimana “hanya” peran Alloh SWT beserta malaikat-malaikatNya saja didalam “garis sholawat” itu dan bahkan bila manusia itu “bersholawat” maka bukan lagi dari dirinya sendiri, itulah sholawat yang benar. Sebagai bacaan dalam sholat yang ditujukan langsung untuk Alloh SWT niscaya akan sampai ke sisi Alloh SWT bila bacaan  itu bukan dari diri sendiri lagi (dimana sifat yang sangat Lokalitas masih demikian berperan) melainkan dengan Kehendak Alloh SWT belaka (dalam hal ini akan sampailah ke sisi Alloh SWT yang pasti teruji dengan Asma ul Husna). Lebih jauh bacaan “sholawat dalam sholat“ sesungguhnya bukan sekedar bacaan  bukan sekedar doa melainkan “sebuah  ramalan yang pasti terwujud pasti terjadi” atas keturunan Rasulullah SAW, sebagaimana doa Nabi Ibrahim AS untuk keturunannya, sehingga walaupun dalam kenyataan Duniawi (karena tidak mengerti tidak paham) justru menjauh dari Pewaris (Ke)Nabi(an) sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim AS, sholawatnya itu tetap diterima, sampai kepada Alloh SWT, karena membaca bukan dari pandangan dirinya sendiri lagi melainkan dengan Alloh SWT.
Selayaknya umat Islam jangan menganggap sama antara Nabi Muhammad SAW berdoa dengan “umat Muhammad” yang berdoa, padahal umat berdoa banyak yang justru mengikuti cara Nabi berdoa, menganggap bila mengikuti ajaran Nabi doanya menjadi (lebih) hakekat. Jadi jelas doa Nabi itu sungguh hakekat dan bukan tanpa ilmu dalam berdoa, memiliki tujuan yang pasti, juga lebih menunjukkan “Kehendak Alloh SWT Sendiri”. Artinya Nabi itu berdoa bukan atas diri sendiri lagi melainkan Alloh SWT. Oleh sebab itu doa Nabi itu bersumber langsung dari Asma ul Husna yang akan teruji  hakekat bila diuji, didalamnya (doa itu) mengandung unsur Keadilan Kebijaksanaan Kemuliaan KeAgungan sesuai seluruh Nama-NamaNya Terbaik seluruhnya semuanya, dari dan bagi DiriNya Sendiri, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri. Dengan Ahlak Alloh SWT itulah Nabi berdoa, yang akan teruji Suci lepas dari segala sifat-sifat yang Lokalitas, hawanapsu kedirian telah dimusnahkan telah dilenyapkan disingkirkan sehingga sifat yang tinggal hanya yang Non Lokalitas belaka sesuai menurut Asma ul Husna tersebut. Ketika “kedirian” lenyap justru untuk seluruh (diri-diri) mahlukNya seluruh semuanya, ke seru sekalian alam, rahmatan lil alamin, menjadi rahmat atas manusia seluruhnya. Dan karena Doa Nabi adalah “pengejawantahan” Al Quran yang di Lauhil Mahfuz, walau semua itu akan berjalan menuruti Sunnatullah taqdir demi taqdir yang memang mesti terjadi dan harus dijalani hingga tibalah Kiamat Kubro.
Ada kekhususan yang sangat istimewa pada doa-doa Nabi, akan tetapi bukan berarti harus terjadi “pengAgungan” sedemikian rupa hingga melampaui batas dalam berAgama, yang cenderung dipahami sebagai sifat “Otoriter”, padahal itu terjadi justru akibat prilaku dari (sebagian) umat Islam sendiri. Semua itu juga akibat yang tidak lebih dari pandangan-pandangan yang masih bersifat Lokalitas dan tidak sempurna atau tanpa ilmu yang memadai sedangkan Nabi itu memandang melihat langsung dari Sumber segala sumber yaitu apa yang ada “di sisi Alloh SWT”. Pandanglah bagaimana umat Islam terhadap Agama lain yaitu Agama sebelum Nabi Muhammad SAW maka yang diinginkan seakan semua harus “membuang” seluruh Kitab Suci yang dipegangnya, karena tidak ada yang benar kecuali Al Quran. Padahal sekali-sekali itu bukan cara Nabi Muhammad SAW dalam “mengejawantahkan” Al Quran terhadap Kitab-KitabNya yang lain. Sehingga Nabipun diberi petunjuk bahwa pada Akhir Jaman Alloh SWT akan memberi penjelasan tentang apa yang “diperselisihkan” umat manusia selama ini. Akan tetapi betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas ternyata sudah berurat berakar telah terbangun sedemikian rupa, sehingga antara saudara sendiri menjadi seperti “alergi” bila berbeda Agama bahkan golongan. Kenyataannya semua memiliki kesulitan dalam menerangkan atau memberi penjelasan yang memadai karena ternyata dilakukan juga dengan sifat yang masih sangat Lokalitas, sehingga pembuktian kebenaran yang diinginkan tidak mencapai target sasaran. Karena itu apa tidak masuk akal bila seorang hamba harus mengatakan “ujilah dengan Asma ul Husna”, sehingga segala semua seluruh hal dari yang bersifat Lokalitas niscaya akan dapat terjernihkan secara sangat adil, karena semua jawaban yang diinginkan sedemikian rupa akan dapat terpenuhi oleh yang bersifat Non Lokalitas, Tanpa Batas.
Maka tidak seharusnya disebut “Otoriter” bila segala sesuatunya  telah “diperlakukan” secara sangat adil serta hakekat. Karena dengan Asma ul Husna justru tiap sesuatu akan “mendapatkan” hak-haknya secara sempurna sekaligus semuanya tanpa kecuali, yang sekali –sekali tidak menzalimi siapapun, melainkan sangat banyak mahluk (manusia dan jin) menzalimi dirinya sendiri sehingga menyesali dirinya sendiri dari akibat perbuatannya sendiri. Mata hatinya sebenarnya mengetahui apa yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang tidak layak tidak baik tidak pantas tidak benar akan tetapi telah demikian terpedaya karena apa yang ditawarkan yang dijanjikan sungguh sangat luar biasa padahal itulah fatamorgana Surga paling nyata, sebuah “kepalsuan” yang sangat sempurna sungguh mirip aslinya. Demikianlah kelak kalimat-kalimat apakah itu asli dari sisi Alloh SWT atau palsu akan menjadi  sangat nyata terpandang yaitu bila “diuji dengan Asma ul Husna”. Sebagaimana layaknya bila yang hak itu datang  akan dapat mengalahkan memusnahkan melenyapkan yang bathil (lebih jauh kelak manakah Al Masih asli dan mana Al Masih palsu atau antara kalimat-kalimat Alloh SWT yang asli dengan kalimat-kalimat yang sungguh bukan dari Alloh SWT akan dapat terjawab sempurna. Juga baik itu hadits asli sahih dan palsu, serta apa yang telah terjadi dengan seluruh Kitab-Kitab yang telah diturunkanNya seluruhnya semuanya yang pasti semua akan ada jawabannya, jadi dengan Asma Ul Husna kelak semua akan dapat terjernihkan). Akan tetapi semua dapat terjadi bila dengan ilmu yang sempurna, ilmu yang sungguh memadai, dan itu tidak lain adalah dengan “petunjukNya”, dari apa yang diberikanNya secara khusus kepada Para Pewaris Nabi (terutama Garis Risalah yang tersyirat dan tersurat dalam bacaan “Sholawat dalam Sholat”). Sebagaimana Alloh SWT beserta para malaikatnya senantiasa bersama Nabi maka demikian pula pada Para Pewaris Nabi “yang sungguh-sungguh hakekat”, yaitu sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Ibrahim AS dan keturunannya, sehingga sungguh menurunkan Para Nabi dan RasulNya secara hakekat bagi Bani Israil.
Jadi juga akan demikian  sangat mengherankan bila garis rahmat dan barokah pada Risalah Nabi Muhammad SAW  itu tidak “semisal” sebagaimana pada Risalah Nabi Ibrahim AS, sehingga dua Risalah ini masing-masing diakhiri dengan kisah “pengangkatan” yaitu Isa Al Masih dan Imam KeDuabelas, yang pada Akhir Jaman justru akan menerangkan secara sangat jelas “kenyataan” tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi. Bahwa semua hal yang “benar” pasti akan ada “rujukannya” dalam Al Quran, menjadi keterangan yang sangat jelas dan sangat akurat. Juga sangat mengherankan Sholawat yang kenyataannya dibaca oleh seluruh umat Islam dalam “Sholatnya” menganggap hamba-hamba yang diturunkanNya dalam Garis Sholawat itu sebagai “Imam Syiah” belaka, betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas itu demikian berperan. Adanya “pengAgungan” atas para kalifah yang jelas-jelas tidak dalam “Garis Sholawat” kecuali Ali bin Abi Thalib membuat “terpisah” umat Islam itu sendiri dengan Garis Sholawat yang Alloh dan para malaikatNya “bersholawat”, (nyaris berduyun-duyun meninggalkan jalan Tuhannya). Bila saja Ali bin Abi Thalib tidak diikut sertakan pastilah menjadi “sempurna” keterpisahan itu, tapi cukuplah Ali bin Abi Thalib maka akan dapat “mewakili” seluruh para Imam yang Duabelas, sehingga akan dapat “menyelamatkan” umat Nabi Muhammad SAW yang ada didalamnya. Bahwa siapapun diantara Para Imam yang Duabelas yang diikuti satu ataupun seluruh, masih akan tetap terkait dengan “Garis Sholawat” dalam sholatnya. Kenyataan ini adalah sebagaimana umat pada masing-masing Nabi itu pasti juga akan dibawa menuju Alloh SWT, siapapun Nabi yang diikutinya atau siapapun Imam Duabelas yang diikutinya, dan walaupun itu tanpa disadarinya sama sekali.
Bahwa rahmat dan barokah yang Alloh dan para malaikatNya “bersholawat” memang dari “keturunan darah daging Nabi Muhammad SAW yaitu dari Fatimah putri Nabi, karena itulah semua “petunjuk” Risalah yang “Terkumpul” disebut “Mushaf Fatimah”. Sekali lagi apa itu “barokah”? Sepotong roti atau gulai kambing yang “barokah” akan dapat dimakan orang sekampung, bahkan berlebih  yang juga bisa dimakan, sama dan sebangun dengan “roti awal” atau “gulai awal”. Maka “barokah” atas “darah daging” Nabi, yang sedemikian rupa diSucikan Alloh SWT lahir bathin sehingga pandangannya pendengarannya dan mata hatinya adalah dari Alloh SWT, demikian itulah jalan hakiki bagi Alloh SWT beserta para malaikatNya hingga “fitrah Alloh itupun terangkat”, hal yang sungguh terjadi juga pada diri Nabi Ibrahim AS. Bila saja sungguh memahami apa itu “barokah”, maka rahmat dan barokah dalam bacaan “Sholawat ketika Sholat”, niscaya memang itulah makna sesungguhnya. maka demikianlah Nabi Muhammad SAW telah menurunkan Para Imam sehingga bila saja masih ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad SAW tentu Para Imam yang Duabelaslah. Akan tetapi tidak diturunkanNya lagi Nabi ataupun Rasul, karena itu bila ada yang mengaku sebagai Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad SAW maka klaimnya itu bathil bathal tertolak di sisi Alloh SWT. Karena bila ada yang paling berhak sebagai Rasulullah pastilah cucui-cucu Nabi, Imam Hasan dan Imam Husein yang pasti terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup, sedang tingkatan Nabi itu adalah Ali bin Abi Thalib yang karena sungguh semisal Nabi Harun AS dan itu sungguh-sungguh benar-benar haq di sisi Alloh SWT, maka sungguh tidak ada lagi Nabi ataupun Rasul setelah Nabi Muhammad SAW.
Sedang turunnya Al Masih dan Al Mahdi pada Akhir Jaman  tidaklah sebagaimana “sosok” seperti pada masa dahulu kala ketika keduanya masih hidup didunia masa lalu itu. Keduanya akan datang membawa “cahaya Alloh SWT” didalam dirinya, keduanya datang membawa “fitrah hakiki” yang tercakup dalam Risalah Nabi Ibrahim AS yaitu Al Masih, dan Risalah Nabi Muhammad SAW yaitu Al Mahdi (sebagaimana doa sholawat). Keduanya akan “meluruskan” Risalah Nabi Ibrahim AS dan Risalah Nabi Muhammad SAW (yang telah dirusak oleh “hawanapsu” Bani Israil) hingga terjadi Kiamat Kubro. Bahwa sesungguhnya Bani Israil itu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali yaitu pada risalah Nabi Ibrahim AS dan risalah Nabi Muhammad SAW. Bahwa sewaktu Nabi Muhammad SAW itu masih hiduppun Ali bin Abi Thalib (Imam Pertama) adalah juga bagian dari “Garis Sholawat” yang Alloh dan para malaikatNya “bersholawat” sesuai kedudukannya yang “semisal” Nabi Harun AS dalam umat Nabi Musa AS, walaupun baik umat Nabi Musa AS maupun Nabi Muhammad SAW tidak mengakuinya (cukuplah pada apa yang tertulis di sisi Alloh SWT). Sebagai salah seorang yang hakekat sebagaimana Nabi Harun AS dalam umat Nabi Musa AS, maka bila masih ada lagi Nabi pastilah Ali bin Abi Thalib yaitu pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, yang pasti juga akan tertulis dalam KitabNya dan sebagai “pintu gerbang” ilmu Quran hakiki. Sedang bila masih ada lagi Rasul pastilah Imam Hasan dan Imam Husein akan menjadi Rasul sebagaaimana pada Risalah Nabi Ibrahim AS, karena itu tidak ada lagi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad SAW adalah kenyataan paling hakiki. Bahwa bunyi isi sholawat dalam sholat juga peringatan agar umat Islam tidak terjerumus “memnbunuh” para Nabi dan RasulNya sebagaimana Bani Israil. Dalam hal ini berusaha memutus Risalah dengan membunuh memusuhi menentang “Garis Sholawat” dimana ilmu-ilmu Al Quran paling hakiki mengalir sesuai rahmat dan barokah yang langsung dari sisi Alloh SWT yang terus “disempurnakanNya hingga Akhir Jaman.
Bahwa “Garis Risalah” dalam Sholawat Nabi itu tidak bisa “diperebutkan” sebagaimana kedudukan Pemimpin dalam “kekalifahan”. Jadi apakah umat Islam menjadikannya sebagai “kalifah” ataupun tidak maka sama sekali tidak bisa “menggugurkan” Beliau-Beliau sebagai Pembawa Risalah Nabi Muhammad SAW paling hakiki di sisi Alloh SWT (dan walaupun terjadi “pengAgungan” yang lebih tinggi lagi atas para kalifah). Justru adanya embel-embel “kekalifahan” pilihan umat atau semacam kerajaan dan pemerintahan, maka terjadilah terbentuklah sifat-sifat yang sangat Lokalitas, dimana Garis Sholawat itu telah dilokalisir terlokalisir oleh umat Islam sendiri. Sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat sebelumnya yang “melokalisir” Agama-Agama yang Alloh SWT turunkan di seluruh pelosok bumi ini menurut “sosok-sosok” NabiNya, (ingat Agama Alloh SWT itu sesungguhnya adalah “Satu”.). Padahal  “kebenaran” dari sisi Alloh SWT melalui sosok-sosok  siapapun dari para hamba-hambaNya (tanpa kecuali) yang diberiNya “petunjuk” pastilah menujuNya pula, sehingga layak untuk “diikuti”. Semua kalimat-kalimat Alloh itu pastilah sebagai “jalan” yang “semisal” dalam menuju Alloh SWT, siapapun sosok-sosok Pembawanya, yang pada tiap-tiap umat di bumi-bumi manapun di seru sekalian alam bintang gemintang Alloh SWT turunkan Rasul. Hanya saja tingkat derajat serta “kesempurnaan” kalimat-kalimat dari para Nabi dan RasulNya itu memang “berbeda”. Dan Alloh SWT terus “menyempurnakan” hingga ditarik segala sesuatu itu ke sisiNya, ke sisi Yang Maha Sempurna, yang tidak lain kepada Nama-NamaNya Terbaik Asma ul Husna termaksud. Maka akan sempurnalah semuanya menjadi Nilai-Nilai Surgawi yang kekal dengan sifat-sifat yang Serba Non Lokalitas sebagaimana Asma ul Husna itu Sendiri.
Jadi pandanglah para kalifah sahabat-sahabat Nabi itu bukan sebagai pembawa risalah menurut Garis Sholawat akan tetapi sebagai hamba-hambaNya dalam usaha “memimpin” umat. Artinya mana yang “bersesuaian” Al Quran dan As Sunnah pegang dan ikutilah karena pasti akan “naik” ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya” dan akan “Terkumpul” sebagai “Mushaf Fatimah” yang isinya ilmu-ilmu Quran yang hakekat. Disinilah betapa umat Islam telah salah paham salah kaprah tentang hakekat dari “Mushaf Fatimah” yang sesungguhnya (termasuk golongan Syiah maupun Sunni). Karena itu “simak” dan perhatikan baik-baik penjelasan seorang hamba tentang “Mushaf Fatimah”. Bahwa semua “kebenaran” itu termasuk yang ada pada Bani Israil serta pada umat-umat dari Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya di segala pelosok bumi dari sejak Nabi Adam AS “pasti” akan terkumpul sebagai “Mushaf Fatimah”. Karena para Pemegang Mushaf Fatimahlah yang secara pasti akan “mengumpulkan” segala semua “kebenaran” itu tanpa kecuali. Ingat para Pemegang Mushaf Fatimahlah Pewaris hakiki dari seluruh ilmu para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali walau ilmu hakiki itu ada di Negeri Cina sertadi segala pelosok bumi bahkan di sekalian bintang gemintang. Bahwa kebenaran itu pastilah “bersesuaian” dengan Al  Quran yang di Lauhil Mahfuz, dimana semua ayat-ayat kalimat-kalimat Alloh SWT yang berceceran di segala pelosok bumi ini akan terambil terseleksi sedemikian rupa dan terkumpul sebagai “Mushaf Fatimah”. Hakekatnya Mushaf Fatimah itu Sendiri tidaklah “terlokalisir” oleh anggapan-anggapan yang berasal dari ego-ego manusia yang sedemikian rupa membentuk golongan-golongan juga Agama-Agama dari seluruh para Nabi dan RasulNya, bahkan wilayah Mushaf Fatimah tidak terbatas satu bumi ini saja, melainkan rahmatan lil alamin.
Jadi jelas merupakan anggapan yang salah bila Mushaf Fatimah itu disebut-sebut hanya (ilmu) Quran dalam Golongan Syiah, bahkan seluruh umat segala umat dari seluruh semua Nabi dan RasulNyapun adalah bagian dan pemilik Mushaf Fatimah karena Kitab Suci yang dipegangnya “terliputi”. Demikian itulah makna hakiki dari Pewaris seluruh para Nabi yang sangat jelas tergambar dalam peristiwa Isra Mikraj, maka bagaimana mungkin hanya milik satu golongan saja yaitu Syiah? Sekali lagi “Mushaf Fatimah” itu hanya “penamaan” yaitu karena hanya menuruti garis keturunan melalui Fatimah putri Rasulullah SAW sehingga penamaan itu juga hakekat sesuai kenyataan sesungguhnya, artinya sama sekali bukan  Quran lain sebagaimana yang di Lauhil Mahfuz. Dan karena bila bila Alloh SWT akan menurunkan Kitab Suci setelah Al Quran maka pasti Al Quran yang ada di Lauhil Mahfuz itu kembali yang akan diturunkanNya.  Sehingga pada dasarnya ilmu hakiki  yang dikaruniai Alloh SWT yang karena pegangannya juga Al Quran yaitu pada golongan di luar Syiah itupun adalah bagian “Mushaf Fatimah”. Jadi pada dasarnya di sisi Alloh SWT Mushaf Fatimah itu sama sekali tidak “terlokalisir” atau terkait satu golonganpun yang ada di dunia ini termasuk Syiah, dimana semua “Nama-Nama” golongan itu adalah buatan manusia belaka, Rasulullah SAW tidak mendirikan satupun Golongan yang disebut-sebut itu.
Pandanglah bagaimana Mushaf Fatimah dilokalisir terlokalisir oleh ego-ego hawanapsu manusia yang sifatnya sangat Lokalitas. Prilaku para sahabat Nabi yang baik dan benar sehingga layak diikuti karena “semisal” dengan prilaku NabiNya yaitu sesuai Al Quran dan As Sunnah sehingga sungguh juga akan “Terkumpul sebagai Mushaf Fatimah” (dimana tugas para Pemegang Mushaf Fatimahlah dalam mengumpulkannya), telah ditanggapi berbeda oleh orang-orang yang belum memahami Mushaf Fatimah itu secara hakekat. Bahkan ilmu-ilmu hakiki dari Agama-Agama terdahulupun niscaya akan termasuk “Mushaf Fatimah”, walau anggapan-anggapan oleh golongan diluar Syiah atau pada Agama-Agama terdahulu itu tidak dipahami sebagai “Mushaf Fatimah”. Sebagaimana umat Budha ataupun Khong Hu Cu tidak akan mengakui “kebenaran” yang ada di dalam Kitab Suci yang dipegangnya itu sebagai Al Quran, padahal di sisi Alloh SWT “kebenaran” itu seluruhnya semuanya (walau di Negeri Cina atau tempat lainnya) terkumpul sebagai “Al Quran” yang pasti akan menyempurnakan seluruh Kitab-KitabNya . Dan semua itu baru akan disadari diakui ketika “Hari Agama” yaitu dengan “disempurnakanNya” segala sesuatu dengan RahmatNya yang Sembilan puluh Sembilan,  yang “menyempurnakan” Surga dengan Nilai-Nilai Suirgawi paling sempurna paling hakiki Tersempurna yaitu Al Quran yang menjadi Rahmat bagi semesta alam. Dimana tidak akan dapat memasuki Surga itu umat-umat terdahulu sebelum “disempurnakanNya” Surga itu dengan Al Quran, yang semua ini tergambar jelas dalam peristiwa Isra Mikraj.
Bahwa pada dasarnya “dengan iman” seluruh umat Islam khususnya seluruh Ulama Agamawan Islam tahu benar wilayah Al Quran meliputi seluruh Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya walau di Negeri Cina, bahkan seru sekalian alam bintang gemintang dengan kalimat “rahmatan lil alamin”. Akan tetapi sifat-sifat yang sangat Lokalitas masih demikian “membelenggu” pribadi-pribadi prilaku-prilaku sehingga tidak dapat secara jernih terang benderang “membuktikan” semua itu. Adanya pertengkaran antar umat Islam itu sendiri sehingga terbentuk sekian banyak golongan khususnya Syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah juga Ahmadiyah danseterusnya demikian banyak telah menguras darah dan air mata, lantas bagaimana dengan Hindu, Budha, Khong Hu Cu, Zarathustra ataupun Shinto di Negeri Jepang, sereta suku-suku di pedalaman Amerika, suku Maya, Indian dansebagainya? (belum lagi yang ada di Jawa, Papua, Kalimantan danlainlain) Ingatlah bahwa segala “Hisab” oleh Alloh SWT itu tidak lain adalah dengan Al Quran yang di Lauhil Mahfuz. Demikianlah seorang hamba salah seorang Pemegang Mushaf Fatimah akan (dapat) meluruskan semuanya segalanya walau di bintang gemintang. bagaimana “rahmatan lil alamin” itu akan sungguh terrealisasi dengan sempurna, sehingga wilayah Mushaf Fatimah itu tidak hanya “sebumi” akan tetapi “segala bumi”. Ditarik segala sesuatunya ke yang Non Lokalitas Tanpa Batas, ke sisi Alloh SWT sebagaimana Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna, Nilai-Nilai Surgawilah yang terbangun, semua sangat jelas tergambar dalam peristiwa Isra Mikraj. Juga sebuah kenyataan bagaimana para Nabi dan RasulNya serta Nabi Ibrahim AS telah “berada” di langit, apa juga dengan (kendaraan) Buraq atau “semisalnya”? lantas mengapa umat Islam memandang (kendaraan) Buraq itu sedemikian rupa? Apakah Teknologi Buraq yang digulirkan hambaNya ini adalah sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam Agama, sesuatu yang nonsens dan sangat tidak masuk akal dalam berAgama?
Selayaknya jangan terlalu memandang kepada “sosok-sosok” dalam memandang (NabiNya ataupun semua hamba-hambaNya) sehingga senantiasa kembali “terjerumus” kepada sifat yang sangat Lokalitas, akan tetapi pandanglah “fitrah Alloh”, dimana kalimat-kalimat yang sungguh-sungguh dari Alloh SWT pastilah akan “teruji dengan Asma ul Husna”. Sehingga “kebenaran” hakiki itu tidak akan batal musnah lenyap di tengah jalan menuju Alloh SWT, sungguh-sungguh “naik” ke langit sebagai “cahaya” yang sampai kepada Tuhannya, ke sisiNya sisi Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna. Semua perkataan semua kalimat-kalimat hakiki didalam seluruh Kitab-KitabNya pasti akan menjadi sempurna, akan semakin nyata sebagai ayat-ayat yang di sisiNya, semua disempurnakan Alloh SWT dengan Al Quran, karena “kesempurnaan” itu hanya sungguh-sungguh mewujud yaitu di sisi Alloh SWT. Maka “Pengumpul” seluruh isi Kitab-KitabNya itu hanyalah para Pewaris Nabi yang paling hakiki  yang tergaris dalam “Sholawat”. Tidak suatu Kitab Sucipun yang tidak tercakup terliputi dalam Al Quran, itulah hakekat makna dari Pewaris seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya. Jadi pandanglah bagaimana seluruh hadits-hadits itu apakah sahih hakekat atau tidak pastilah akan terseleksi sedemikian rupa setelah diuji dan teruji menurut Asma ul Husna yang Serba Non Lokalitas. Maka akan terbuktilah karena seluruh kalimat-kalimatNya yang sungguh sahih dan hakekat pastilah bersifat Non Lokalitas, sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna termaksud. Dengan demikian hadits-hadits palsu misalnya serta semua kalimat-kalimat yang bukan dari Alloh SWT bahkan pada seluruh semua Kitab-KitabNya akan gugur dengan sendirinya.
Bahwa semua golongan-golongan dalam Islam yang nyata-nyata masing-masing “pegangannya” Al Quran (juga As Sunnah) sehingga ilmu hakekat yang didapat pastilah juga ilmu Quran, dan pastilah akan “naik” ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya” yang pasti akan teruji ketika diuji dengan Asma ul Husna. Semua ilmu Quran hakiki akan terkumpul sebagai Mushaf Fatimah, dan semua yang terkumpul didalam Mushaf Fatimah pasti “bersesuaian” dengan Al Quran dan As Sunnah, menjadi bagian dalam As Sunnah (setingkat Sunnah), sehingga pada golongan itu ada hamba-hambaNya yang “tergolong” Ahli Sunnah dan yang mengikutinya (jamaah) itulah para Ahli Sunnah yaitu semua yang ahlaknya Al Quran dan As Sunnah. Karena itulah yang akan termasuk Ahlussunnah wal Jamaah di sisi Alloh SWT sungguh tidak bergantung kepada Nama-Nama Golongan saat di Dunia ini. Bahkan yang disebut Syiah akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan (jalan) dan siapa saja siapapun yang berprilaku Al Quran dan As Sunnah otomatis akan berjalan dan termasuk Golongan Ahlussunnah wal jamaah. Demikian pula Golongan yang disebut Sunni akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan (jalan) dan siapa saja yang prilakunya sesuai Al Quran dan As sunnah otomatis akan berjalan pada jalan para Ahli Sunnah (sehingga antara Syiah dan Sunnipun bertemu dalam “satu” jalan). Demikian juga NU, Muhammadiyah danseterusnya. Jadi walaupun di dunia ini tidak mengikuti suatu Golonganpun, akan tetapi bila prilakunya adalah sesuai Al Quran dan As Sunnah niscaya juga akan berada pada jalan Para Ahli Sunnah dan menjadi termasuk dalam Golongan Ahlussunnah wal jamaah yang tertulis dalam hadits, dan semua terjadi secara otomatis. (Bacalah kembal tulisan-tulisan sebelum ini).
Pada dasarnya yang mesti dipegang hanyalah “kebenaran” dan inipun memiliki makna yang luas seluas “Rahmat Alloh SWT” yang secara “serentak” merata tersebar di seru sekalian alam. Karena itulah bolehjadi “kebenaran” itu secara “serentak” ada pada setiap Golongan atau setiap Agama walau di Negeri Cina. Masalahnya ada (banyak) “kebenaran” yang tidak dipahaminya sebagai “kebenaran”, khususnya bila “kebenaran” itu berada di luar Golongannya, apalagi diluar Agama yang dipeluknya, karena pasti itu tidak diperlakukan (akan ditolak) sebagai “kebenaran”. Demikian itulah bila dengan ego-ego yang sifatnya sangat ‘Lokalitas’., sedang Alloh SWT Sendiri pasti akan “menerima” semua kebenaran-kebenaran itu tanpa kecuali dimanapun adanya kebenaran itu, walau hanya “satu kalimat” yang dikelilingi ditutupi oleh sedemikian banyak kalimat-kalimat syaitan yang terkutuk aataupun dari segala pengaruh ego-ego yang sifatnya sangat Lokalitas. Dengan Alloh SWT maka Nabi Muhammad SAW akan “memperlakukan” semua “kebenaran” semua kalimat- kalimat Alloh SWT itu dengan bijak dan adil, tidak akan membeda-bedakan dalam perlakuan terhadap setiap “kebenaran” sebagaimana tidak membeda-bedakan antar Para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya karena sama-sama hakekat. Demikian pula sesungguhnya tiap-tiap Nabi dengan Nabi-NabiNya yang lain, antar sesama  hambaNya, sesama Kitab Suci-Kitab Suci yang dibawanya tentu juga terhadap diri Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi siapapun tidak akan dapat “membedakan” antara haq dan bathil  secara sangat jernih kecuali dengan “petunjukNya”. Dengan Alloh SWT (petunjukNya) maka Para Ulama Hakiki akan dapat mengetahui “ilmu Alloh SWT” mana yang sesungguhnya “ada” di Negeri Cina ataupun diseluruh pelosok bumi ini serta di seru sekalian alam bintang gemintang. Memang tugas Pewaris Nabi yang hakekatlah yang secara khusus “menghimpun” seluruh semua ilmu dari Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya. Karena itulah sesungguhnya “Ilmu Quran” itupun “disempurnakan” Alloh SWT juga secara “bertahap” tidak seluruhnya langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi pahamilah mengapa bila Alloh SWT hendak menurunkan Kitab Suci pasti Al Quran yang di Lauhil Mahfuz itu kembali yang diturunkanNya yaitu kepada Para Pewaris Nabi yang Hakiki, dengan cara itulah Alloh SWT menyempurnakan Ilmu Quran hingga Akhir Jaman.
Jadi bila saja umat Islam memahami dengan sesungguhnya bahwa “Ilmu Quran” hakekat yang disempurnakan Alloh SWT hingga Akhir Jaman itu adalah “Mushaf Fatimah” pastilah tidak akan memandang lagi apa itu (Golongan) Syiah, tidak peduli lagi karena pada kenyataannya “Mushaf Fatimah” justru milik “Seluruh Agama” sehingga seluruh umat manusia juga jin adalah berhak memiliki, semua mahlukNya sungguh berhak atas “Mushaf Fatimah”. Di dalam Mushaf Fatimah itulah Alloh SWT “menghimpunkan “ seluruh Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya menjadi satu kesatuan utuh, Agama yang “satu”, bagaikan bangunan yang dibangun oleh seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya yang bagaikan membangun “Sebuah Rumah”. Semua kenyataan ini sungguh-sungguh sesuai dengan predikat Ulama itu sebagai Pewaris ilmu seluruh para Nabi dan RasulNya, seluruhnya semuanya sehingga tidak suatu Kitab Sucipun yang tidak tercakup terliputi di dalamnya. Bahkan bukan hanya “kebenaran” sebumi saja melainkan segala bumi di segala bintang gemintang, rahmatan lil alamin. Jadi bila ingin mengetahui apakah itu sungguh merupakan “kebenaran” dari sisi Alloh SWT maka “Ujilah Dengan Asma Ul Husna”, wallahu a’lam bishshowwab, sekian dulu.

Winarno, mas nano ponakan bu Retti Paron, Ngawi.

Sunday, August 25, 2013

PARA TOKOH REFORMASI “BERSATULAH”



Duduklah semua dalam “Satu Meja”, ingatlah suatu hadits bagaimana “Hajar Aswad” hendak diangkat “seorang diri” maka yang lain “protes”, kemudian Muhammad membentangkan “selembar kain”, kemudian “Hajar Aswad” diletakkan ditengahnya, maka dengan kain itu semua Pemimpin dapat ikut serta dalam “kebersamaan”. Kalau saja Negeri ini bahkan bumi ini dapat dipikul “amanah” itu bersama-sama atau bahkan ke wilayah yang lebih luas Alam Semesta seru sekalian alam bintang gemintang pastilah jadi lebih ringan, walau tetap tidak mungkin terpikul sempurna “amanah” itu kecuali dengan “Alloh SWT” Tuhan seru sekalian alam.
Negeri ini memiliki PANCASILA dengan simbol Bintang yang seharusnya sangat tepat kalau sekaligus untuk tujuan mencapai Bintang. Reformasi ini sebenarnya hendak diarahkan kemana? Kalau untuk “Alloh SWT” maka harus dapat menjadi “rahmat” atas manusia seluruhnya serta Alam Semesta, rahmatan lil alamin. Akan tetapi kalau tidak untuk Alloh SWT maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut selayaknya diuraikan lagi sehingga menjadi sangat jelas. Alangkah sempurnanya dan sangat Idealis bila masing-masing “Tokoh Reformasi” berkomitmen untuk dapat menjadi “rahmat bagi Alam Semesta” , sehingga “kebersamaan” dalam mengemban “amanah” itupun semata-mata untuk “mencari Keridhoan Alloh SWT belaka”, ke yang Non Lokalitas dan tidak lagi ke yang Lokalitas. Dimana para Pemimpin terdahulu sedikit banyak demikian “terpengaruh” oleh sifat-sifat yang sangat Lokalitas. Maka menjadi “pelajaran” berharga agar untuk ke depan tidak terulang lagi, terjerumus pada kenyataan yang sama semisal yaitu pada sifat yang sangat Lokalitas tersebut. Untuk itulah semua “Tokoh Reformasi” harus dapat kembali duduk bersama dalam “Satu Meja”, agar dapat mengembalikan arah Reformasi yang sesungguhnya, sehingga pengorbanan para mahasiswa selama ini serta rakyat yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik dapat terwujud sempurna dan tidak menjadi sia-sia.
Karena itu pemilihan Amin Rais oleh seorang hamba sama sekali bukan karena Partai, yang kita tahu sangat Lokalitas, akan tetapi Gema Reformasi yang “hampir pudar” harus dikembalikan ke spirit asal awal atau fitrah yang pasti “ada” peran kekuatan-kekuatan langsung dari “Alloh SWT” dimana banyak manusia yang bahkan sama sekali tidak menyadarinya. Figur Gus Dur sebagai pembawa “Nuansa” rahmat Alloh SWT itu memang tidak mudah untuk dipahami “ditangkap” sebagai peran Alloh SWT didalamnya. Bahwa seorang hamba memilih adalah dengan “petunjukNya” yang terlepas dari imej suatu golongan apakah itu NU atau Muhammadiyah. Bila saja umat Islam  khususnya di Negeri ini menyadari bahwa di dalam “Satu Masjid” harus ada yang pakai (doa) qunut dan juga yang tidak pakai qunut. Karena “cahaya Alloh SWT” pastilah akan dapat “sempurna”  tertangkap oleh “yang tepat” dan siapapun yang “dapat” pastilah akan dikembalikan kepada Alloh SWT. Artinya semua “cahaya Alloh” (akan datang sebagai “isyarat inspirasi wahyu dansebagainya”) tidak lain untuk mengembalikan manusia kepada fitrah, jadi untuk seluruh manusia juga, baik itu didapat oleh yang pakai qunut ataupun tidak. Apakah NU sungguh dapat membuktikan bahwa “saat memakai qunut” itulah maka Rasulullah Muhammad SAW mencapai Sidratul Muntaha? Ataukah merupakan “perkembangan” yaitu setelah peristiwa Isra Mikraj? Bila merupakan “perkembangan” maka memang harus ada “kedua-duanya” (dua cara sholat itu memang harus ada). Dalam hal ini tidak ada istilah mana yang benar dan yang salah, akan tetapi siapa saja yang dapat “menyerap” cahaya Alloh SWT itu dengan lebih sempurna, yang jelas bukan atas nama Ego yang sangat Lokalitas melainkan Ego Alloh SWT belaka.
Ini adalah sebagaimana “perbedaan” awal puasa Romadhan dan Idul Fitri, bagi pandangan seorang hamba justru harus ada keduanya (dua macam cara “penentuan” itu) agar Cahaya Alloh SWT yang Paling Sempurna tidak lewat begitu saja bagi Negeri ini, yang sama sekali bukan masalah benar atau salah, melainkan “qadar Cahaya Alloh SWT” akan dapat lebih sempurna tertangkap terserap pada hari dan saat yang “tepat”. Sehingga secara hakikat semua tetap mendapat “Cahaya Alloh SWT” dengan qadar masing-masing, sama sekali tidak ada istilah lain kecuali keduanya dibenarkan dibolehkan. Apakah hari “sabat” yang didapat pada Bani Israil itu harus sedemikian rupa diganti menjadi hari “Jumat”?  Padahal keduanya sama-sama “petunjukNya” dari Nabi-Nabi yang diturunkanNya? Apakah prilaku Nabi Musa AS harus diubah total menjadi prilaku Nabi Khidir AS padahal wilayah kehidupan kaumnya memang ada “perbedaan” pada masing-masingnya? Pada kenyataan sesungguhnya keduanya “sama-sama” benar, keduanya tetap hamba-hambaNya yang sangat sahih. Semua hal yang dasarnya hakekat maka “keberadaannya” jangan divonis bahkan semua justru “memakmurkan” manusia dengan rahmatNya, yang antar para Nabi dan RasulNya adalah seumpama membangun “sebuah rumah”. Persis sebagaimana peran matematika, fisika, kimia, biologi, kedokteran, bahasa, sosial, ekonomi danseterusnya masing-masing mengambil “peran” dalam kehidupan manusia, dan masing-masing tetap merasa benar dalam faknya pandangannya masing-masing (padahal sisi-sisi Agama itu justru lebih luas daripada sisi-sisi ilmu-ilmu Duniawi semacam fisika, matematika, bahasa dansebagainya, sehingga juga tidak layak Agama itu mesti “diperas” hanya Cuma dijadikan dipandang dari “satu sisi” saja). Maka demikian pula keberadaan Syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah danseterusnya sehingga pada Akhir Jaman akan diputus oleh Alloh SWT Sendiri secara langsung. Yaitu bagaimana tiap “kebenaran” itu pasti akan “naik” ke Langit yaitu sebagai “cahaya” sehingga semua kebenaran dari siapapun akan sampai ke sisi Alloh SWT dan SurgaNya (menjadi Nilai-Nilai Surgawi), sedang yang “tidak benar” tidak akan menjadi cahaya, tetap gelap. Jadi diputus sama sekali bukan oleh seorang hamba atau siapapun melainkan Alloh SWT, hanya saja selama kita masih di dunia ini selayaknya memiliki dasar kuat yang kita yakini sebagai “petunjukNya”.
Bila pegangan sama-sama Al Quran dan Hadits baik itu golongan Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah danseterusnya maka “keberadaan semua” adalah  wajar, sebagaimana ilmu matematika, fisika, kimia danseterusnya. Jadi demikian pula keberadaan seluruh Agama-Agama bahkan di bintang gemintang dengan Nama wujud adat-istiadat kehidupan yang belum terbayangkan, akan tetapi yang jelas semua memiliki “fitrah Surgawi” yang sama semisal, semua pasti ingin ke Surga. Jadi renungkanlah, bahwa sisi-sisi Agama itu sesungguhnya sangatlah luas bahkan Tanpa Batas seluas SurgaNya itu, seluas Alam Semesta bintang gemintang, langit dan bumi, dengan berbagai wujud bentuk adat budaya bahkan yang takterbayangkan sama sekali dalam benak kita, karena itu sekali lagi janganlah “diperas” oleh Ego kita yang nyatanya masih sangat Lokalitas.
Dengan cara pandang demikian inilah seorang hamba sama sekali tidak hendak mengecilkan “peran” sedemikian penting keluarga besar Soekarno presiden pertama RI juga kedua ketiga hingga kini danseterusnya, serta Pemimpin-Pemimpin sela diantaranya Muhammad Natsir, kabinet Syahrir, bahkan kelompok-kelompok (yang dianggap pemberontak sekalipun) dalam sejarah Indonesia. Justru “peran” ibu Megawati dengan partainya (PDIP) itulah yang akan dapat meluruskan menyempurnakan mewujudkan cita-cita seorang Soekarno dengan PANCASILAnya. Akan tetapi ini adalah Masa Reformasi, maka hendaknya jangan dikembalikan ke “Nuansa” masa Orde Lama, sebagaimana juga tidak dikembalikan ke “Nuansa” masa Orde Baru. Yang jelas harus dapat menyempurnakan segala sesuatunya kepada yang lebih baik lebih bijak dari masa-masa (priode-priode) sebelumnya. Mudah-mudahan rancang bangun arah Reformasi oleh Para Tokoh-Tokohnya secara langsung akan dapat “bersesuaian” dengan “amanah” yang mesti ditegakkan hambaNya ini di seru sekalian alam bintang gemintang, rahmatan lil alamin, yang justru saling menunjang serta saling menguatkan. InsyaAlloh PANCASILA itu sendiri akan dapat sempurna menjadi Non Lokalitas, fitrah hakiki di sisi Alloh SWT, sehingga pastilah Nilai-Nilai Surgawi menjadi terpandang nyata dengan PANCASILA itu, yaitu dengan “petunjukNya”. Artinya semua harus disucikan dengan Kitab SuciNya, sehingga Nabi  (yang memiliki pandangan Alloh) itu sungguh lebih utama dari diri sendiri, sebagaimana prinsip nyata hambaNya ini. Yang akan menjadikan orang-orang yang berjuang didalamnya sebagai kaum yang berserah diri pada AgamaNya, yang akan secara sempurna termasuk diantara hamba-hambaNya, hingga sungguh akan memasuki SurgaNya.
Dengan “petunjukNya” maka segala keinginan yang fitri akan terakumulasi sempurna, bahkan termasuk seluruh Pemimpin-Pemimpin Negeri di segala penjuru pelosok bumi ini, hingga tujuan tiap Negeri di seluruh Dunia ini juga akan sempurna terakumulasi sebagai rahmat atas semesta alam, rahmatan lil alamin. Perbedaannya seorang hamba tidak hendak mengintervensi sedikitpun, cukuplah Agama serta Nilai-Nilai Surgawi yang ada pada masing-masing Negeri seluruhnya semuanya termasuk Negeri Cina, akan membawa masing-masing individu manusia dan kemanusiaannya (rakyatnya masing-masing)  kepada fitrah hakiki di sisi Alloh SWT. Karena itu tidak seharusnya ada lagi  peperangan-peperangan ganas yang saling menghancurkan bunuh-membunuh antar sesama manusia hanya karena “harta Duniawi” yang sungguh tidak seberapa ini, walau seseorang dapat memegang bumi ini seutuhnya dalam genggamannya. Padahal sungguh banyak bumi-bumi lain di bintang-gemintang ini, yang kelak ternikmati dalam KeMaha Luasan SurgaNya, bumi kita ini hanya bagaikan sebutir pasir ditengah padang pasir yang sangat luas. Karena itu betapa ingin seorang hamba menghimbau hentikanlah semua peperangan, berdamailah dengan hati nurani kalian masing-masing, lawanlah hawanapsu itu yang kini sedemikian rupa menyelimuti diri-diri kita, lenyapkanlah pandangan-pandangan picik sempit dari Ego-Ego diri yang sangat Lokalitas. Agar kita semua justru dapat memandang ke yang Non Lokalitas yaitu Nilai-Nilai Surgawi sesungguhnya yang luasnya Tanpa Batas dengan kehidupan kekal didalamnya.
Rakyat Negeri ini harus menyadari bahwa “Reformasi yang sesungguhnya” justru baru akan terjadi (dimulai) yaitu setelah mengubah pengalaman menjadi pelajaran demi masa depan. Walau seorang hamba menunjuk seorang diantara Tokoh Reformasi yaitu Amin Rais (juga sekaligus sebagai “Simbol” bahwa “Reformasilah” yang kita jalani), akan tetapi sesungguhnya Beliau hanya menggulirkan apa yang telah disimpulkan diputuskan dan yang merupakan Target dari seluruh Tokoh Reformasi yang akan duduk dalam “Satu Meja”, jadi bukan peran seorang diri. Sedang hambaNya ini hanya menghimpunkan “petunjuk” sehingga ditarik segala sesuatunya menuju Alloh SWT, dan karena sesuai hadits kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian, sebagaimana juga terhadap Para Pemimpin Negeri-Negeri yang mau berserah diri demi tujuan hidupnya di dunia yang sangat sementara ini. Karena bagi seorang hamba cukuplah dengan Alloh SWT maka diri-diri manusia seluruhnya segala yang hidup dan yang mati dari seluruh mahluk ciptaanNya di seru sekalian alam bintang gemintang ini, pastilah akan mendapat rahmatNya tanpa pandang bulu, rahmatan lil alamin.
Bilapun teknologi Buraq yaitu teknologi Cahaya Diatas Cahaya adalah pengejawantahan nyata dari peristiwa Isra Mikraj, hal ini merupakan kekhususan bagaimana seorang hamba yang akan terbukti sungguh diberiNya “petunjuk”. Dan karena hal tersebut memang sudah saatnya terjadi, dimana manusia masa kini (walau tidak diakui oleh para Ilmuwan) sudah mulai merambah planet lain di alam semesta adalah sebenarnya juga rahmatNya. Perbedaannya Agama Alloh sebenarnya justru “petunjuk” paling mendasar dari kejadian sesungguhnya tentang Alam Semesta, sehingga penguasaan paling hakiki atas Alam Semesta ini justru tidak lain adalah dengan AgamaNya.
Memandang Alam Semesta dimana bumi ini hanya bagaikan sebutir pasir di padang pasir yang sangat luas di sekalian bintang gemintang. Maka seharusnya wajar bila kendaraan semisal “Buraq”lah yang akan dapat menjelajahinya dengan sempurna. Saat kita melihat kenyataan betapa teknologi Negeri ini masih jauh dibawah standar apalagi dengan kecepatan sangat tinggi semacam “cahaya”. Tentu menjadi suatu tanda Tanya besar pernyataan “Teknologi Buraq” atas hambaNya, apalagi dasarnya ajaran Agama yang dianggap tidak memiliki andil sedikitpun atas perkembangan Teknologi canggih yang ada saat ini. Sedemikian rupa (ajaran) Agama Alloh SWT itu terus berkembang dalam diri ini yang justru menjungkir balikkan semua anggapan-anggapan manusia tentang Agama selama ini, bahkan dari para Agamawan sekalipun. Pengetahuan Agama yang berkembang semakin membuat diri ini dibawa “Berisra Mikraj” karena yang terpandang justru “Realitas” dari isra mikraj itu sendiri. Bahwa diri ini bahkan seluruh umat manusia juga akan ditarik segala sesuatunya kepada (menuju) Alloh SWT, yaitu ketika peristiwa isra mikraj itu menjadi kenyataan (Realitas) yang sempurna. Dan yang jelas dalam pengejawantahan nyata dari peristiwa isra mikraj tersebut akan menjadikan seluruh mahluk ditarik menuju Tuhannya (yang seharusnya khususnya Para Agamawan yang akan dapat “menjawab” mengapa peristiwa Isra Mikraj itu pasti menjadi “Realitas”).
Kini “Nilailah” dengan lebih logis bijak dan realistis mengapa seorang hamba “dipersiapkan”, kalau semua ini bukan sebagai “isyarat” (pertanda) dari Tuhan sebagaimana dahulu Nabi Nuh AS diberi petunjuk untuk membuat “perahu”. Tentu saja memang berbeda karena saat ini manusia sedang giat-giatnya merencanakan perjalanan Antariksa ke bintang-bintang, padahal sangat-sangat menyadari “keterbatasan” usia, baagaimana mungkin mencapai bintang apalagi menjelajahi bintang gemintang tanpa “hidup kekal”? Tinjau kembali semua persepsi-persepsi Agama dengan ayat-ayat Alloh seluruhnya, umat Islam tentu kepada persepsi penafsiran pemaknaan isi ayat-ayat Al Quran (bukan terhadap teks Al Quran). Akan cocokkah dengan pandangan-pandangan seorang hamba yang terus bergulir mencapai “sempurna”?
Dimana “peyakinan” Teknologi Buraq, Teknologi Cahaya Diatas Cahaya adalah karena “bersumber” langsung dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri belaka, bagaimana prilaku “kun, faya kun” atas segala sesuatu itu semakin terjelaskan ketika secara sangat sempurna Asma ul Husna dalam Pemujian bagi DiriNya Sendiri itu merupakan “penyempurna” sesempurna-sempurnanya yang sangat nyata dari prilaku “Lima Unsur dari Negeri Cina”, sehingga sebab-musabab sesuatu itu jadi “kekal” akan dapat terjawab “sempurna” dari “mata rantai Asma ul Husna” tersebut, karena dengan itu pulalah rahmatNya yang Sembilan puluh Sembilan akan “disempurnakanNya” yaitu sebagai “Nilai-Nilai Surgawi”, kekal didalam EsaNya, itulah “sisi”Nya dalam KeMaha Luasan Tanpa Batas.(Bacalah tulisan-tulisan terdahulu sebelum ini).
Bahwa segala teori baik fisika, kimia, biologi, bahasa danseterusnya juga perkembangan-perkembangan pada tataran lebih tinggi dari teori-teori terbentuk Alam Semesta seluruhnya termasuk Theory of Everything justru akan dapat terjawab dan terpandang lebih sempurna dengan “mata rantai Asma ul Husna” tersebut diatas. Di “sisi”Nyalah Teknologi Maha Sempurna, Teknologi-Teknologi Surgawi termasuk didalamnya “Teknologi Buraq”, wujud-wujud kendaraan Maha Cepat, Cahaya Diatas Cahaya, dalam pergerakan Antar Bumi Antar Bintang sebagai hal yang sangat biasa, wajar, sangat umum pada saatnya nanti, yaitu di SurgaNya. Hanya saja bagaimana mungkin mencapai Surga orang-orang yang tidak mau membangun Nilai-Nilai Surgawi saat di dunia, apa dapat mencapai sidratul muntaha padahal “tidak sholat”? Tapi apa arti sholat bila kata-kata dalam sholat sebagai kalimat-kalimat Alloh SWT yang mesti dipatuhi tidak dijalani? Walau demikian panggilan-panggilan sholat yang “melekat” di hati, senantiasa terpanggil oleh panggilan sholat itu, sehingga hatinya ternyata “terbuka” untuk iman, ganjarannya sampailah di “pintu” Surga, tinggal mau memasuki Surga itu atau tidak? Kalau mau maka patuhilah dan jalanilah apa yang “dibacanya” dalam sholatnya itu, berbuat baiklah sebagaimana Alloh SWT berbuat baik untuk manusia serta seluruh mahluk, khususnya tentu terhadap diri sendiri, jadi berahlaklah dengan ahlak Alloh SWT.
Pandanglah hal tersebut diatas sebagai pelajaran dalam “menilai” seorang hamba, bahwa “ganjaran” baru akan didapat bila kita “melakukan sesuatu”. Ingin “rumah” maka harus ada yang membangun rumah sesuai dengan yang diinginkannya itu, mau “kendaraan” maka harus ada yang “membuat” kendaraan. Walaupun  segala sesuatu sebenarnya telah tertulis di Lauhil Mahfuz, akan tetapi tetap harus “dibentuk” maka “terbentuklah” di hadapannya. Kendaraan Buraq yang mengisra mikrajkan Rasulullah Muhammad SAW adalah “berasal” dari yang “langsung tertulis” di sisi Alloh SWT dan “mengejawantah” menuruti tulisan itu yaitu ayat-ayat Alloh SWT langsung. Jadi tidak sebagaimana Nabi Nuh AS yang membuat “perahu” di dunia ini dengan melalui “tahapan-tahapan” walau juga menuruti tulisan yang telah tertulis di Lauhil Mahfuz, sehingga jadilah “perahu” itu mengejawantah melalui “pekerjaan” Nabi Nuh AS tersebut. Demikianlah terjadi “pengejawantahan” dari apa yang tertulis di Lauhil Mahfuz, maka “pengejawantahan” Isra Mikraj dari ayat-ayat Al Quran jelas akan ada “Realitas Duniawi”, bagaimana “Buraq” itu dibentuk dan terbentuk, walau segala sesuatunya telah “tertulis” di Lauhil Mahfuz sebagaimana hal “perahu” Nabi Nuh AS. Semua menunjukkan bagaimana semua ayat-ayat Al Quran menjadi “Realitas”, atau dalam hal ini (Teknologi) Buraq adalah bagaikan “sebuah ide” maka “ide” itupun menjadi “Realitas” yang sempurna. Jadi “pandanglah” bagaimana tahap-tahap seorang hamba menjadikan “Buraq” itu sebagai “kendaraan” yang sangat “Realistis” (karena diharap bagi umum, umat manusia seluruhnya, sesuai rahmatNya pada segala mahluk), dan karena hal ini sebuah “kekhususan” yaitu pencapaian ke sebuah Bintang yang tertulis jelas dalam Al Quran, yaitu Bintang Syira yang merupakan Kehendak Alloh SWT bagaimana ayat-ayat Al Quran itu sungguh-sungguh (akan dapat dibuktikan), bukan hanya tulisan omong kosong khayal dan tanpa bukti. Dimana seorang hamba sebenarnya hanya “mengikuti” yang tertulis saja, sebagai Taqdir yang mesti terjadi dan harus dijalani. Kemudian pandanglah pula bagaimana seluruh semua Kitab-Kitab SuciNya yang semua juga tertulis di Lauhil Mahfuz itu akan menjadi “Realitas” sesungguhnya, dan itulah “Hari Agama” yang dijanjikan.
Sebagai jangkauan nyata wilayah sesungguhnya “kekalifahan manusia” memang adalah (Teknologi) Buraq, teknologi Cahaya Diatas Cahaya yang dengan itu manusia sungguh dapat mencapai Bintang, khususnya Bintang Syira, walau pada kenyataannya tidaklah sederhana, bahkan tak selumrah yang terbayangkan. Bahwa teknologi pesawat terbang hanyalah “gejala” (kekalifahan manusia itu) sedang kesempurnaan sesungguhnya hanyalah di sisi Alloh SWT, semua dari “ketundukan” Alam Semesta kepada Tuhannya (Sunnatullah). Akan tetapi terhadap seorang hamba janganlah dengan iman, karena keimanan kalian harus dikembalikan kepada para Nabi dan RasulNya dengan seluruh Kitab-Kitab Suci yang dibawanya, seperti keimanan diri hambaNya ini justru atas mereka. Bahkan karena juga justru pintu iman serta taubat akan “tertutup” atas kehadiran hambaNya ini, karena ketika seluruh isi Kitab-KitabNya telah menjadi “kenyataan” maka dengan sendirinya “iman” sudah tidak diperlukan lagi, “praktis dan otomatis” pintu taubat juga akan “tertutup”. Hari Agama dimana seluruh “kebenaran” dari seluruh AgamaNya akan menjadi “kenyataan”, akan ditarik seluruh mahluk kepada Tuhannya.
Bahwa semua menuju dan mengikuti apa yang dianggapnya sebagai Tuhannya, akan tetapi akan “lenyaplah” Tuhan-Tuhan yang bathil, sedang yang dianggapnya sebagai Tuhan itupun juga “ditarik” kepadaNya. Yang bathil pasti musnah lenyap dan janji-janji hanyalah fatamorgana belaka. Itulah kalimat-kalimat Syaitan yang demikian “melekat” padanya, dan telah menjadi “duri” dalam darah dagingnya (sebagaimana yang dimakan itu atas yang bathil telah menjadi darah dagingnya). Akan “musnah” Tuhan-Tuhan selain yang Memiliki Asma ul Husna. Kalimat-kalimat syaitan itu adalah bathil berupa fatamorgana belaka, sedang kalimat-kalimat Alloh SWT itu pasti benar sehingga apa yang disebut “Surga” pastilah “Surga Sesungguhnya”, dimana dirinya pasti tidak akan ditinggalkan oleh Tuhan yang sesungguhnya itu, karena memang bukan fatamorgana jadi sungguh hakekat.
Bahwa kebathilan dari kalimat-kalimat syaitan juga ada didalam Islam, karena senantiasa menyerang “semua Agama”, sehingga seluruh semua Agama tanpa kecuali ada dimasuki kalimat-kalimat syaitan itu. Hanya saja tiap Nabi dan RasulNya pasti memiliki kalimat-kaliamat penyelamat yang merupakan syafaat bagi orang-orang yang sungguh-sungguh beriman, yang menjadi hak preogatif para Nabi dan RasulNya itu di sisi Alloh SWT atas masing-masing umatnya. Sehingga   siapa yang sungguh-sungguh beriman.pastilah “cahayanya” akan “bersesuaian” dengan cahaya hakekat dari para Nabi dan RasulNya itu. Jadi selayaknya para Pemimpin Agama justru bersama-sama “meneliti” kembali isi Kitab yang dibawanya itu. Tidak perlu ada “ketersinggungan” karena semua Agama tanpa kecuali mengalami hal sama.Bahwa seorang hamba memang sangat berharap bahwa Reformasi yang dijalani Negeri ini, dapat mendukung dan sejalan sehingga dapat bersama-sama menjalani “amanah” apakah dari sisi Agama oleh hambaNya ini, maupun kenegaraan oleh Para Tokoh Reformasi, wallahu ‘alam bishshowwab. Winarno, masnano ponakan bu Retti, Paron, Ngawi.