Konsep jelas dan dapat dipertanggung jawabkan sangatlah
penting, hakekatnya tidak sekedar “prilaku Muhammad” Rasulullah SAW seorang
diri, akan tetapi pada seluruh prilaku para Nabi dan RasulNya bahkan seluruh
hamba-hambaNya tanpa kecuali yang “Notabene” berprilaku Alloh berahlak Alloh,
sehingga juga tidak membeda-bedakan sedikitpun karena sama-sama “prilaku Alloh”
yang Non Lokalitas, yang Segala Maha sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul
Husna. Jadi “perluaslah “ pemahaman kita terhadap makna “makan sepiring
bersama” (sebagai bentuk keadilan) dengan Asma ul Husna, karena bagaimana
prilaku para Nabi dan RasulNya selain Nabi Muhammad SAW pastilah juga hakekat.
Jangan paksa orang-orang Luar Islam (hingga saat ini Islam “terlokalisir” hanya
umat Nabi Muhammad SAW) itu mengikuti Al Quran dan As Sunnah tanpa “keikut
sertaan” prilaku junjungannya masing-masing yang di sisi Alloh SWT (kelak
teruji) sama-sama hakekat. Sesuai peristiwa Isra Mikraj tidak satupun para Nabi
dan RasulNya dari seluruh hamba-hambaNya seluruhnya semuanya dari “sejak Nabi
Adam AS” (artinya seluruh manusia tanpa kecuali) yang tidak terliputi, sehingga
segala “Hisab” atas manusia dan jin seluruhnya semuanya adalah dengan “Al Quran
yang di Lauhil Mahfuz”.
Katakanlah, aku tidak meminta upah sedikitpun apalagi
“memperdagangkan” Konsep Adil Makmur dari apa yang terpandang di “sisi” Alloh
SWT sebagai Nilai-Nilai Surgawi. Bahwa Adil Makmur yang hakiki yang
sesungguhnya adalah “Bahasa Surga”, bahasa “sisi” Alloh SWT yang Maha Adil.
Tidak akan terwujud Masyarakat Adil Makmur kecuali dengan Alloh SWT yang tidak
lain membangun dan yang dibangun adalah “Nilai-Nilai Surgawi” itu belaka.
Pahamilah dan perlakukanlah segala semua ayat-ayat Alloh SWT itu secara Non
Lokalitas sesuai Nama-NamaNya Terbaik yang Serba Maha, tidak secara Lokalitas
sehingga baik disadari atau tidak telah “terlokalisir” sedemikian rupa oleh
manusia itu sendiri. Padahal sesuai Asma ul Husna tidak Cuma sebumi kita bahkan
di segala penjuru bintang gemintang di segala gugusan-gugusan bintang, dimana
padanya Alloh SWT juga menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Semua
adalah dari firman-firman Alloh SWT “Yang Hidup” (itulah Nilai-Nilai Surgawi),
sama semisal dengan kejadian bumi kita ini yang juga dari firman-firman Alloh
SWT “Yang Hidup” (yang juga dari Nilai-Nilai Surgawi), di “sisi”Nyalah
“Kehidupan Kekal Tanpa Batas”, meliputi segalanya seru sekalian alam bintang
gemintang, dan itulah makna hakiki dari “rahmatan lil alamin” yang akan teruji
bahwa seprimitif apapun “kehidupan” (pada masa Nabi Adam misalnya) maka “Hisab”
sungguh juga dengan Al Quran. Jadi ukuran sesungguhnya tidak hanya “prilaku
Nabi Muhammad SAW” akan tetapi “prilaku seluruh hamba-hambaNya” yang diturunkan
kalimat-kalimat Kitab-KitabNya walau itu hanya satu kalimat sehingga sangat
tidak sempurna atau sangat primitif (hanya saja Nabi SAW menginginkan terbaik
tersempurna dari prilaku umat-umat sebelumnya).
Bahwa sebagai Kitab Suci Tersempurna maka yang terpandang di
“sisi” Alloh SWT di Lauhil Mahfuz hanyalah Al Quran, seakan tidak terpandang
Kitab-KitabNya yang lain (terlokalisir), akan tetapi ketika “ilmu Quran” itu
“terbuka” maka menjadi terpandanglah seluruh Kitab-KitabNya yang lain,
seluruhnya semuanya walau di bintang gemintang. Semua ini sesuai dengan “kemaha
luasan” Surga yang Tanpa Batas sehingga hakekat “rahmatan lil alamin” menjadi
terpandang sempurna dan semakin terang benderang. Bahwa dalam “mengejawantahkan” ucapan atau istilah
Al Quran dan As Sunnah itu selayaknya juga “merujuk” pada seluruh
Kitab-KitabNya yang lain dari sejak Nabi Adam AS dari segala pelosok bumi ini,
sesuai wilayah Al Quran (ilmu Quran) itu sendiri, sesuai Nama-NamaNya Terbaik,
Asma ul Husna. (sanggupkah?). Sehingga dari Agama manapun termasuk Hindu Budha
Zarathustra Sinto Khong Hu Cu danseterusnya pastilah akan terpandang nyata “Apa
itu Adil Makmur sesungguhnya” (yaitu semua dengan Asma ul Husna). Bahwa semua
yang hakekat benar-benar dari sisi Alloh SWT pasti akan “Teruji” dan tidak akan
“gugur”, pasti akan naik ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya”. Dimana segala
kelimat-kalimatNya segalanya semuanya akan “bergabung” bagikan bentukan
bangunan “sebuah rumah” yang “dibentuk” oleh para Nabi dan RasulNya seluruhnya
semuanya tanpa kecuali, sehingga akan
terpandanglah Nilai-Nilai Surgawi yang sesungguhnya. Demikian itulah “rumah”
yang dibangun para Nabi dan RasulNya (seluruhnya akan “bertemu”), dan semua ini
sangat jelas tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj.
Ingat, pada kenyataannya dalam “Satu Agama” saja sedemikian
kuat pengaruh dari sifat-sifat yang sangat “Lokalitas”, sehingga terbentuk
“golongan-golongan sekte-sekte firkah-firkah”, maka bagaimana masing-masing
golongan khusus dalam Islam, yaitu bila ingin tujuan Adil Makmur itu terwujud
semuanya pasti menunjuk “ikutilah Al Quran dan As Sunnah”, tentu saja tiap
golongan sangat yakin dengan pandangannya. Jadi tetap tidak mudah karena
“pilihan-pilihan” akan muncul dimana dengan ayat-ayat yang sama berbeda tafsir.
Bayangkan bila seluruh Agama atau berbagai Agama ditambah pernik-pernik Duniawi
sama-sama memiliki Konsep Adil Makmur yang semua “mengajukan” dengan sangat
yakin sebagai bentuk paling benar pada sebuah Negara. Tentu ada adu argumentasi
dalam menentukan suatu pilihan, yang kemudian hingga kini berakhir dengan kekecewaan
(gagal). Apakah Saudi Arabia itu tidak berpedoman pada Al Quran dan As Sunnah?
Adil Makmurkah Negeri atau Kerajaan itu? Apakah Negeri inipun sungguh Adil
Makmur yang sesuai dambaan sesuai cita-cita hanya dengan sebuah keinginan
(dengan keyakinan sangat) “berpedomanlah pada Al Quran dan As Sunnah”, dan
betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas akan terus saling berbenturan bahkan
terkadang antar keluarga sendiri, sementara “Antar Negara” apa yang terjadi?
Dan apakah seorang hamba dianggap sedang “menjual” Konsep
Adil Makmur hanya karena tulisan-tulisan ada pada blog alasketonggoone (sebelum
ini masnano.info) nama suatu perusahaan? Ingatlah, betapa Ulama-Ulama
(Cendekiawan-Cendekiawan Islam) khususnya masa kini baik itu dengan menulis
atau berceramah serta mereka yang “meminta” upah bahkan dengan tarif tertentu,
akan terjegal masuk Surga bahkan untuk mendapat pahala ketika ditanya Alloh SWT
yaitu katakanlah, aku tidak meminta upah sedikitpun....... Maka berbahagialah
bergembiralah orang-orang yang sungguih-sungguh menulis berceramah hanyalah
dengan Alloh SWT dengan pandangan-pandanganNya sehingga semua demi AgamaNya
menjadi rahmat atas semesta alam, bagi manusia seluruhnya. Pastilah persesuaian
dengan “prilaku Nabi” demikian penting baginya, semua doa-doa pastilah bagi
keselamatan umat manusia. Betapa ingin saudara-saudaranya juga selamat dan
masuk Surga mengingat keadaan moral Duniawi seperti saat ini, yang sedemikian
rupa telah membelenggu manusia tanpa kecuali, mungkin timbul kekhawatiran
tentang hal ini?
Alas Ketonggo One suatu perusahaan yang dirancang untuk
membentuk “Keekonomian” Islam yang siapapun dari Agama manapun dapat
mendirikannya agar sedemikian rupa terbentuk “Keekonomian yang rahmatan lil
alamin”, sesuai Lingkup “amanah Alloh” pada hambaNya ini yaitu ke bintang
gemintang, lingkup kekalifahan yang sesungguhnya. Bahwa sudah waktunya langit
demi langit akan “Terbuka”, Lingkup kehidupan manusia tidak lagi hanya “sebumi”
akan tetapi ke segala bumi di seru sekalian alam Tanpa Batas, itulah hakekat sesungguhnya
“rahmatan lil alamin”. Karena itulah seharusnya tidak perlu heran, bila yang
hendak dibangun dan terbangun adalah “Nilai-Nilai Surgawi”, sehingga istilah
Masyarakat Adil Makmur hanyalah “dampak” dari terrealisasinya Nilai-Nilai
Surgawi tersebut. Jelas tidak berapa lama lagi Islam tidak lagi seperti keadaan
sekarang ini, Islam akan menjadi “bagi segala Agama” (segala Agama adalah
Islam) walau di bintang gemintang, sebagaimana Alloh SWT itu Tuhan bagi Semua
Agama walau di bintang gemintang, Islam sungguh Islam yang rahmatan lil alamin
yang Serba Non Lokalitas. Semua Agama itu telah dijernihkan disucikan
diluruskan semua “Teruji” dengan Asma ul Husna, dan menjadi bagian yang hakekat
di dalam Al Quran.
Marilah kita renungkan kembali hakekat Islam yang kita
jalani selama ini, dari generasi ke generasi, apa sungguh-sungguh Islam yang
dipahami secara Non Lokalitas sesuai Asma ul Husna? (Silahkan uji materi dengan
Asma ul Husna). Bahwa lingkup Islam cakupan Islam yang sesungguhnya apakah
hanya “sebumi”? bagaimana umat Islam selama ini dalam memahami Asma ul Husna
sedemikian rupa telah terlokalisir oleh lokalitas-lokalitas sempit. Apakah
hanya Nabi Muhammad SAW yang “berisra mikraj”, sedang umat Islam tidak?
Hamba-hambaNya yang lain tidak mungkin ditarik Alloh SWT untuk berisra mikraj?
Padahal sebutan “hambaNya” dalam ayat isra mikraj menunjukkan betapa banyak
“permisalan-permisalan” atas Nabi Muhammad SAW yang semua “diisra mikrajkan
Alloh SWT”, khususnya umat Nabi Muhammad SAW itu sendiri yang menjalani sholat
yang sungguh “bersesuaian” dengan Kehendak Alloh SWT yang diperintahkanNya. Dan
pandanglah bagimana para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya telah ada
“menunggu” di langit demi langit, apakah mereka itu diisra mikrajkan Alloh SWT?
Dengan “kendaraan” apa?
Bila saja orang benar-benar mengenal “Apa itu Nilai-Nilai
Surgawi”, maka akan lebih mudah “memahami” hakekat sesungguhnya dari peristiwa
isra mikraj. Dan juga “memaklumi” tentang bagaimana para Nabi dan RasulNya
bahkan seluruhnya semuanya telah berada di langit demi langit dalam kondisi
“seutuhnya”, karena secara hakekat yaitu dengan pandangan melalui Nilai-Nilai
Surgawi maka mereka (para Nabi dan RasulNya) itu “tidak mati” baik jasad maupun
jiwa, Cahaya Alloh SWT yang “Kekal” terbawa dalam diri-diri mereka
masing-masing, “menyatu” dengan diri-diri mereka “seutuhnya”, bahkan bagi
“siapa saja” yang mati dengan Alloh SWT, dengan ahlak Alloh fitrah Alloh berada
“seutuhnya” dalam Nilai-Nilai Surgawi niscaya akan sama semisal dengan para
Nabi dan RasulNya itu, seluruhnya semuanya. Jadi pahamilah tentang Lingkup
Surgawi yang Tanpa Batas dengan kehidupan “Kekal” di dalamnya.
Kini pandanglah pula alam semesta bintang-gemintang dengan
wujud bumi yang bagaikan sebutir pasir di tengah padang pasir yang sangat luas,
bagaimana menjelajahi antar bintang tanpa hidup kekal? Padahal Nilai-Nilai
Surgawi itu “merata” (senantiasa melekat) pada seluruh alam semesta bintang
gemintang, seru sekalian alam Tanpa Batas. Dan memang hanya dengan Nilai-Nilai
Surgawi itulah maka penjelajahan manusia atas seru sekalian alam ini terwujud.
Bahwa rahmatan lil alamin tidak lain Nilai-Nilai Surgawi itu sendiri, merupakan
Lingkup “kekalifahan” yang sesungguhnya bagi manusia, Lingkup Kehidupan Tanpa
Batas yang “dijanjikan” di dalam seluruh Kitab-KitabNya, dari para Nabi dan
RasulNya (yang disebut Surga). Lebih jauh kendaraan (dengan teknologi) macam
apa sehingga manusia sungguh dapat menjelajahi seru sekalian alam bintang
gemintang? Bagi Agama tentu teknologi “sisi” Alloh SWT, “Cahaya Diatas Cahaya”.akan tetapi jelas
terjadi perbedaan cara pandang bahwa Teknologi Duniawi tidak bisa
dikait-kaitkan dengan “Cahaya Diatas Cahaya”, apalagi itu Cahaya Tuhan, Cahaya
Alloh SWT, juga tidak bisa dikaitkan dengan Buraq, kendaraan yang mengantar
Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha.
Tentu saja seorang hamba memilih sebaliknya, karena pada
dasarnya alam semesta adalah dari firman-firman Alloh SWT dari kalimat-kalimat
Alloh yang tidak lain dari cahaya Alloh SWT “Cahaya Diatas Cahaya”. Bahwa
hancur luluh sebuah gunung dalam pandangan Nabi Musa AS hanya “mengembalikan”
gunung Thursina itu kepada (Cahaya) Tuhan bagi gunung itu. Dan yang terpandang
kemudian adalah garis-garis hukumNya firman-firmanNya Sepuluh Perintah Tuhan
dalam wujud Kitab Taurat. Demikian itu adalah “Lingkup Sebuah Gunung” yang
Alloh SWT menciptakan gunung Thursina itu dengan kalimat-kalimat
firman-firmanNya paling sempurna sehingga Nabi Musa AS sungguh (dapat sampai)
memandang “wajah” Tuhannya dalam bentuk Kitab Suci Taurat. Suatu kejadian suatu
peristiwa “Pengenalan Diri Alloh SWT kepada mahluk”. Maka “semisal” itulah
gunung-gunung terbentuk sehingga Nabi Musa AS
sesungguhnya tidak hanya memandang “sebuah gunung” melainkan “seluruh
gunung-gunung” seluruhnya semuanya secara “serentak” walau itu di bintang
gemintang. itulah ayat-ayat dari Kitab SuciNya yang Non Lokalitas dari DiriNya
Sendiri, dipetikkan dari Nama-NamaNya Sendiri dari dan bagi Nama-NamaNya yang
Terbaik, Asma ul Husna. Di sisiNya Surga yang dijanjikan dalam “kemaha luasan”
Tanpa Batas, dari dan bagi Nama-NamaNya Terbaik belaka, Asma ul Husna sehingga
terpandang “Surga”, terpandang “Nilai-Nilai Suirgawi” yang Non Lokalitas Segala
Maha oleh Nabi Musa AS. Demikianlah hakekat ilmu Alloh SWT ilmu Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa AS.
Dan sungguh itu hanya pada “sebuah gunung” sedang bila pada
bumi (pada kejadian “bumi” akan sekaligus terkait dengan kejadian “langit”)
pada alam semesta langit dan bumi, maka “pemandangan yang terjadi” adalah apa
yang disebut “Kiamat Kubro”, yaitu alam semesta langit bumi akan “hancur luluh”
maka yang terpandang kemudian seluruh garis-garis hukumNya paling Sempurna
berupa Dua Keping Lauhil Mahfuz yang amat sangat besar Al Fatehah dan Ayat-Ayat
Al Quran seluruhnya, merupakan Kitab SuciNya paling Sempurna, “Pengenalan
DiriNya Paling Sempurna kepada mahluk”, dan itulah Nilai-Nilai Surgawi sehingga
menjadi “Sempurnalah” Surga itu dengan kalimat-kalimat Tuhannya, yaitu Al
Quran.
Dengan cara pandang “permisalan” antara gunung dan bumi,
maka hakekat Kiamat Kubro juga tidak harus sama dengan persepsi-persepsi yang
ada hingga saat ini, karena jangankan “sebuah bintang” yang besarnya sedemikian
rupa di banding bumi kita sehingga secara “akal” justru bumi kita ini yang
seharusnya jatuh hancur luluh ke dalam bintang itu. Jadi bagaimana mungkin
bintang-bintang (tidak hanya satu bintang) justru berjatuhan ke bumi? (mau ada
dimana bumi kita ini, bahwa di bumi itulah kamu akan dibangkitkan). Maka bagi
seorang hamba cukuplah bila Nilai-Nilai Surgawi secara sempurna “mengejawantah”
di bumi kita dan langit kita, dimana seluruh isi Kitab-KitabNya menjadi
“kenyataan” sempurna..
Bagi seorang hamba, “Kiamat” itu justru hanya “peralihan”
dari kehidupan “sebumi” (sebagaimana Adam diturunkan ke bumi) menjadi ke segala
bumi di seru sekalian alam Tanpa Batas (disebut Surga), dari Nilai-Nilai
Duniawi yang Terbatas ke Nilai-Nilai Surgawi yang Tanpa Batas Non Lokalitas,
dari kehidupan Duniawi yang sementara kepada kehidupan Surgawi yang kekal Tanpa
Batas, dari ketidak sempurnaan menjadi Ke Maha Sempurnaan yaitu Lingkup
“sisiNya” itu yang menuruti Nama-NamaNya Terbaik belaka, yang Kekal, yang Tidak
Berubah sebagaimana sejak atau sampai kapanpun Asma ul Husna itu “Tidak Pernah
Berubah”, Alloh SWT Tidak Pernah Berubah, dan karena Asma ul Husna Tidak Pernah
Berubah maka “Tidak Pernah Ada Perubahan Dalam Hukum Alloh SWT”. (Bila kemudian
ada manusia yang menganggap Asma ul Husna itu berubah maka bukan Asma ul Husna
Alloh SWT yang berubah, akan tetapi hukum selain Alloh SWT itulah yang ada
dalam pandangan manusia tersebut, Maha Suci Alloh dari apa yang mereka
persekutukan.) Jadi “Apa Itu Kiamat Kubro” sesungguhnya? Karena akan menjadi
sesuatu yang aneh bila manusia bisa hidup kekal ke bintang gemintang tanpa terjadi
“Kiamat Kubro”.
Sedang tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi insyaAlloh
pasti kita akan menemui, sebagaimana hambaNya ini juga mengantar umat
masing-masing Agama kepada junjungannya masing-masing, hingga kita semua
menemui Alloh SWT atas Kehendak Alloh SWT Sendiri, dan di “sisiNya” Surga yang
dijanjikan. Bahwa dengan “Nilai-Nilai Surgawi” para Waliulloh Tanah Jawa ini
dapat “menemui” Nabi Khidir AS menurut ilmu yang dikaruniakan Alloh SWT. Maka
demikian pula dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang sungguh hakekat pula kita akan
dapat memandang langsung turunnya Al Masih dan Al Mahdi dan menemui
Beliau-Beliau, yang semua adalah atas Kehendak Alloh SWT. Bahkan kelak demikian
pula, hanya dengan Nilai-Nilai Surgawilah kita dapat bertemu semua para Nabi
dan RasulNya semuanya seluruhnya dalam keadaan “seutuhnya”. Sedang mengenai
“pertemuan” dengan Al Mahdi maka ilmu Alloh tentang hal ini ada dipegang oleh
para Imam Syiah yang ada saat ini di Iran, khususnya melalui catatan-catatan
dari dan tentang Para Imam Yang Duabelas, dimana semua ajaran itu disebut
“Mushaf Fatimah” yang semua itu hanya kumpulan ajaran dari Para Imam Yang
Duabelas saja. Sedang tentang turunnya Al Masih sebagian ada di dalam Mushaf
Fatimah dari Para Imam Yang Duabelas sedang sebagian lain justru dipegang oleh
umat Nasrani itu sendiri, (sehingga akan “ditaklukkan Dajjal” itu oleh Al Masih
sendiri). Bahwa seorang hamba tidak memiliki hak atau kekuasaan sedikitpun
untuk dapat menemui hamba-hambaNya yang hidup pada masa lalu, para Nabi dan
RasulNya, para Waliulloh juga para Imam yang Duabelas, atau siapapun melainkan
semua akan berjalan sesuai dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang terbangun dan
dibangun melalui hambaNya ini, hingga sempurnalah Surga itu dengan
kalimat-kalimat Al Quran, dan akan sempurnalah RahmatNya yang
Sembilan-puluh-sembilan itu kepada mahluk.
Untuk dapat lebih memahami dengan sabar “Apa sesungguhnya
Kiamat Kubro itu” maka pelajari renungkan dan telaah kembali peristiwa Isra Mikraj
dengan apa yang telah diuraikan dalam tulisan-tulisan hambaNya ini, karena
dalam pandangan hambaNya “Kiamat Kubro” itu kini sungguh sedang “berproses”
(sungguh akan terjadi). Sebagaimana yang tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj
maka kita semua (seluruh mahluk baik jin dan manusia) suka atau tidak suka akan
ditarik ke sisi Alloh SWT, sehingga kelak juga akan terpandang “Apa itu Hisab”. Bagaimana mahluk yang tidak
memiliki “cahaya Alloh SWT” didalam dirinya pasti akan “terbakar”. Hanya dengan kekuatan-kekuatan Alloh SWT yang lebih
lebih dan lebih kuat dari segala “kemaha dahsyatan” alam semesta langit dan
bumi maka dirinya akan selamat dari azab dan mencapai sidratul muntaha serta
Surga di sisiNya. Bersama “perjalanan waktu” menuju Alloh SWT maka manusia akan
berusaha membentuk kendaraan yaitu (dengan Teknologi) Buraq dengan menuruti “petunjuk”
Alloh SWT kepada hambaNya ini. Sungguh semisal dengan saat Nabi Nuh AS membuat “perahu”
dengan menuruti garis taqdir yang tertulis di sisi Alloh SWT, jadi Nabi Nuh AS
membuat perahu juga dengan “petunjukNya”.
Bagaimanapun Kiamat Kubro yang “menurut Agama” pada dasarnya
tidak harus “sepenuhnya” dicocokkan dengan “pengetahuan manusia tentang Alam
Semesta bintang gemintang”, karena lebih kepada “pemahaman manusia kepada
Ajaran Agama itu sendiri”. Persepsi tentang bumi dan langit misalnya apakah
harus disesuaikan dengan pengetahuan manusia tentang bumi (dalam buku-buku
Ilmiah saat ini) yang menjadi bagian dari Alam Semesta bintang gemintang? Persepsi
tentang “apa sesungguhnya Langit itu?” hingga saat ini belum ada “kecocokan”
yang tepat, jadi sebenarnya “Langit” termasuk yang belum dimengerti secara
jelas. Karena itu maksud “kejadian bumi” di dalam Kitab SuciNyapun sebenarnya
tidak seperti yang terbayangkan selama ini atau dapat dikatakan kejadian langit
dan bumi serta pergiliran siang dan malam dalam Agama, persepsi sesungguhnya
tidak menuruti jalan pikiran dan pemahaman manusia yang sangat Lokalitas (walau
dengan bahasa Ilmiah yang masuk akal). Karena itulah seperti pada masa Nabi
Ibrahim AS bila tiba-tiba matahari terbit dari arah sebaliknya dari Barat ke
Timur maka hal tersebutpun dapat akan dan pasti terjadi menjelang Kiamat Kubro
tanpa manusia harus mengerti secara Ilmiah sebab musababnya (itulah sebabnya
Kiamat terjadi dengan tiba-tiba), khususnya sebagai tanda telah “tertutup” pintu
taubat. Dan yang jelas manusia sudah diberi “peringatan” sebelumnya, jauh hari
ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup atau masa jauh sebelumnya, bukankah telah
ribuan tahun? Walau demikian bukan berarti persepsi-persepsi tentang kejadian Alam Semesta Langit dan
Bumi selama ini, yang bergulir dari
hambaNya “salah”. Tidak demikian melainkan merupakan tahapan-tahapan yang
dikaruniakan Alloh SWT untuk kepada hakekat sesungguhnya, sehingga akan dapat
dimengerti manusia seluruhnya khususnya para Ilmuwan. Istilah “Langit” misalnya
memang akan lebih dekat dengan pengertian “Luar Gravitasi”, hingga kepada
pemahaman penciptaan secara Kun, faya kun oleh Alloh SWT.
Jelasnya tahapan-tahapan tanda-tanda “Kiamat Kubro”
sebenarnya bolehjadi sudah ada dan bahkan “terlewati” dimana manusia sama
sekali “tidak menyadarinya”, bukan karena Alloh SWT tidak memberi isyarat itu
secara sangat jelas melainkan pandangan-pandangan manusia itu sendiri lebih “terfokus”
pada apa maunya sebagian besar manusia itu sendiri, artinya terbawa arus
Duniawi yang Notabene terkadang jauh dari realisasi tanda-tanda Kiamat Kubro
yang terus bergulir sejak dahulu. Padahal hakekat “telah dekat” di sisi Alloh SWT akan jauh
berbeda pemahaman “telah dekat” oleh manusia. Sehingga manusia bertanya-tanya
karena telah terjadi “pergantian sekian generasi” bahkan tanda-tanda Kiamat
Kubro belum ada dirasakan secara lengkap (termasuk oleh para Agamawan). Bagaimana
dapat dirasakan tanda-tanda Akhir Jaman yang terus bergulir kalau pengetahuan
yang sesungguhnya tentang hal ini terabaikan oleh kelengahan dan ketidak
sempurnaan pikiran-pikiran manusia yang sangat Lokalitas?
Jadi bukan tanpa alasan bila seorang hamba meyakini dimana
seharusnya tanda-tanda Kiamat Kubro itu telah ada dan terlewati dalam
perjalanan waktu yang ribuan tahun, khususnya setelah Kitab Suci Al Quran
diturunkan, dan karena “pemahaman” yang sesungguhnya “berbeda” atau bahkan
sangat jauh berbeda dengan cara pandang manusia terhadap (kejadian) Alam
Semesta antara Kitab Suci itu Sendiri dengan apa yang terpandang oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Artinya Kitab Suci memiliki jalur sendiri yang
Alloh SWT Sendiri yang mengetahui, sedang manusia hanya akan dapat memahami
melalui apa yang terpandang dalam (realitas) kehidupan sehari-hari yang telah
berjalan ribuan tahun dari generasi ke generasi. Kitab Suci itu lebih ke Non
Lokalitas dalam KeMaha SempurnaanNya sedang manusia tidak, yaitu seumpama cara
pandang Nabi Musa AS terhadap gunung Thursina saat mendapat wahyu Kitab Taurat
dengan pandangan manusia sehari-hari terhadap gunung Thursina itu, apa juga
terpandang “Hancur Luluh” sebagaimana dalam pandangan Nabi Musa AS? Saat sekarang
ini Kosmologi sedemikian rupa pandangannya terhadap Alam Semesta, apakah
uraiannya (teori-teorinya) sungguh dapat sama dan sejalan dengan bacaan dalam
Al Quran?
Semakin kita mengenal “Nilai-Nilai Surgawi” (dan karena yang
dibangun dan terbangun melalui hambaNya adalah “wilayah Surga” ke bintang
gemintang) maka akan semakin jelas dan mendalam pengertian tentang “Apa itu
Kiamat Kubro” yang menjadikan wilayah kehidupan manusia Tanpa Batas. Bukan sesuatu
yang salah bila seorang hamba mengatakan bahwa kita memang sedang “Menuju
Masyarakat Adil Makmur” suatu “dampak” nyata dari terbangunnya Nilai-Nilai
Surgawi di Negeri ini.wallahu a’lam bish showwab. Sekian dulu.
Winarno, masnano ponakan bu Retti Paron Ngawi.