PERKENALAN PERUSAHAAN
Bismillahirohmannirrohim
“ALAS
KETONGGO ONE”
adalah perusahaan yang didalamnya insyaAlloh terkandung unsur jihad sehingga
harus lepas dari segala bentuk hawanapsu dari sisi kemanusiaan, ego-ego
kepemilikan misalnya, karena itu tidak ada yang disebut “nilai saham” seperti hal masjid, maka dalam hal ini nama pemilik
hanyalah sarana duniawi belaka, hingga kepada suatu tujuan Ego Alloh semata,
kepada suatu pencapaian fitrah Alloh, ahlak Alloh, dimana penglihatan. pendengaran dan hati (akal)
bukan dari diri sendiri lagi melainkan dari Alloh SWT. Sehingga orang-orang
yang bekerja di dalamnya akan termasuk orang-orang yang berjihad. Karena jihad
itu intinya hanya untuk Alloh yang sungguh lepas dari segala hawa napsu, dari
segala sisi kemanusiaan, khususnya ketika Alloh dan rasulNya lebih utama dari
diri sendiri maka “kedirian”pun lenyap.
Saat demikian terpancar dari dalam dirinya
cahaya yang menyatu dengan cahaya seluruh para nabi dan rasulNya, sama-sama
dalam ridho Alloh SWT. Karena tiap kebenaran walau tidak terlihat hasilnya
pasti cahaya, prilaku yang menjadi bagian dari ayat-ayatNya, itulah ahlak
Alloh, fitrah Alloh. Kebenaran hakiki itu harus lepas dari sisi kemanusiaan,
dan pasti tidak bercampur dengan hawanapsu terlepas dari segala sifat buruk
yang hasilnya adalah api, terpedaya oleh gangguan syetan, lepas kendali
sehingga justru terlepas dari tali Alloh, melenceng dari ayat-ayat Alloh,
karena ingin dipuji, sifat uyub, riya dansebagainya, banyak pekerjaan sia-sia karena hal ini.
Sangat tidak benar sosok-sosok para nabi dan
rasulNya menjadikan harta yang dititipkan Alloh sebagai milik pribadi padahal
pribadinya itu telah lenyap menjadi pribadi Alloh, Ahlak Alloh,
pandangan-pandangannya adalah pandangan Alloh. Pastilah semua harta itu dijadikan
rahmat bagi manusia. Maka janganlah terpedaya oleh bisikan syetan bahwa nabi
belum tentu semua “amanah” padahal apa yang di sisi Alloh lebih baik dari dunia
beserta seluruh isinya. Bahwa prilaku
taqwa itu sendiri adalah juga prilaku yang bukan dari dirinya sendiri
lagi melainkan telah menjadi prilaku Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang sehingga bukanlah prilaku taqwa bila itu tidak bijak, tidak adil,
tidak welas asih yaitu mereka yang masih demikian terpedaya oleh sifat
keduniawian.
Ketiadaan Nabi setelah Rasululloh Muhammad SAW
maka selayaknya manusia berharap kepada Pewaris yang dijanjikan Alloh yang akan
terus diturunkanNya hingga Akhir Jaman. Dimana tanda-tandanya pasti sama
seperti para Nabi dan RasulNya yaitu memiliki pandangan penglihatan pendengaran
dan hati (akal) bukan dari diri sendiri lagi melainkan dari Alloh SWT sehingga
juga dapat membawa manusia kepada Alloh SWT, demikianlah Alloh SWT menurunkan
Pewaris para nabi dan rasulNya.
Jadi hanya bila menjadi bagian dari kebenaran
hakiki barulah bisa disebut jihad,
karena itu tidak serta merta sebuah perusahaan dapat memenuhi unsur Jihad,
melainkan sebuah cita-cita idealis yang harus diperjuangkan dirintis dibangun
mirip dengan membangun masjid. Dimana masjid itu aslinya lepas dari segala aliran yang pada
masa Rasululloh SAW hidup aliran-aliran ini sama sekali tidak ada. Karena itu
umat masih merupakan sesuatu yang utuh padu tidak ada perpecahan semua berada pada fokus pandangan
kesaksian yang sama Tidak ada Tuhan melainkan Alloh dan Muhammad itu
Rasululloh. Masjid hakiki itu selayaknya persis sama perannya seperti masjid
Nabawi dan masjidil Haram (Ka’bah) milik semua baik NU Muhammadiyah Sunni Syiah
yang nyata-nyata semua hanya “nama-nama duniawi” belaka, penamaan-penamaan atas
aliran-aliran. Seperti hal Ka’bah sebuah masjid dimanapun itu selayaknya bukan
hanya milik suatu golongan kelompok, Rumah Alloh adalah bagi seluruh hamba
Alloh, umat Rasululloh Muhammad SAW. Maka bagaimana jawaban kalian bila Alloh
SWT kelak bertanya mengapa hambaKu tidak
boleh beribadah di rumahKu? (semoga tidak menjadi batal amal yang untuk
membangun “rumah Alloh”, hanya prilaku pribadi-pribadilah yang bertanggung
jawab.)
Sayang sekali hadits tentang terpecah umat
Islam menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang (disebutkan) masuk
Surga, telah disalah artikan sebagai hanya satu “Nama Duniawi” padahal
“Penamaan” itu justru buatan manusia belaka yaitu yang terinspirasi untuk
“memberi” nama sesuai “Nama golongan yang masuk Surga” dalam hadits tersebut,
dan sekali-sekali bukan Nabi Muhammad SAW sendiri yang mendirikannya. Bahwa
semua “Penamaan-Penamaan” oleh manusia bukanlah hakekat sesungguhnya bahkan
orang-orang yang tidak menjadi anggota suatu golonganpun juga tidak mau dirinya
disebut sebagai golongan Ahlussunnah wal jamaah yaitu atas “penilaian manusia”
bahwa dia termasuk golonganku karena itu dia (akan) masuk surga, karena di luar
golonganku pasti masuk neraka, hanya golongankulah yang masuk surga.
Demikian yakinnya dia karena dirinya mengira
termasuk golongan Ahlussunnah wal jamaah yang disebut hadits, dan karena dia sungguh mengaku ikut
dan sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan golongan tersebut. Seakan membuat
kelompok dan memerangi kelompok lain yang tidak sepaham, diri atau
golongannyalah yang paling benar.
Tidak demikian ketika hadits itu lahir maka di
sisi Alloh SWT memang telah terbentuk tertulis 73 jalan bagi seluruh umat
Islam. Dan ada satu jalan yang sungguh sangat “terang benderang” menembus
langit demi langit ke seru sekalian alam, itulah jalan para Pewaris Nabi yang
tergaris sesuai surah Al Fatehah, yaitu yang diberi nikmat sebagaimana nikmat
yang telah Alloh SWT berikan kepada para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya
bukan yang dimurkai dan yang sesat.
Sebagaimana para Nabi dan RasulNya maka para
Pewaris juga memiliki penglihatan pendengaran dan hati (akal) bukan dari
dirinya sendiri lagi melainkan dari Alloh SWT yaitu sebagai ciri hakiki dari
Pewaris Nabi. Sesuai surah Al Fatehah justru yang “menyatukan” seluruh Agama
yang diturunkan Alloh SWT adalah para Pewaris
Nabi tersebut, sehingga ilmu yang diturunkan Alloh meliputi seluruh
Agama seluruhnya semuanya tanpa kecuali, tidak suatu agamapun melainkan
terliputi walau di bintang gemintang. Cukuplah mengikuti satu saja prilaku
(Alloh) di antara Nabi-Nabi yang diturunkanNya, maka telah mengakui dan
melaksanakan Agama dari seluruh semua Nabi-NabiNya tanpa kecuai. Tidak seorang
Nabipun yang tidak mengakui Nabi-Nabi lain yang Alloh turunkan walau di bintang
gemintang. Demikianlah cahaya yang sangat “terang benderang” dari para Pewaris
Nabi (padahal mereka bukan Nabi atau Rasul) yang (sesuai surah Al Fatehah)
ilmunya meliputi segala seluruh AgamaNya di muka bumi ini.
Maka pandanglah bagaimana masing-masing umat
dari para NabiNya saling bertengkar tentang ajaran AgamaNya. Padahal seluruh
para Nabi dan RasulNya bagaikan membangun “sebuah rumah” yang sungguh saling
melengkapi antara satu Nabi dengan Nabi lainnya. Dapat dikatakan Ahlussunnah
wal jamaah yang dimaksud hadits hanyalah yang termasuk dalam cahaya hakiki yang
sangat “terang benderang” dari para Pewaris Nabi tersebut, yang semuanya
hanyalah cahaya Alloh SWT belaka, dari pandangan-pandangan Alloh belaka, Ahlak
Alloh, Fitrah Alloh. Dalam Agama tugas mereka dengan ilmu Alloh hanya
menggiring menghimpun seluruh umat sebagai satu kesatuan sebagaimana pada masa
Rasululloh SAW. Selayaknya dengan tidak membentuk satu golonganpun, cukuplah
ilmu hakiki para Pewaris Nabi itu dapat memberi tahu memberi penjelasan tentang
apa yang selama ini “diperselisihkan”. Bahkan juga menyatukan segala Agama yang
diturunkan Alloh SWT walau di bintang gemintang, yang padanya sungguh Alloh
juga menciptakan mahluk seperti di bumi ini, semua adalah sesuai “KeMaha
Luasan” Surga (Adam) yang sesungguhnya Tanpa Batas, di “sisi”Nya itu. Sungguh
Alloh SWT pula yang disembah mahluk bintang Syira, yang padanya juga Alloh
ciptakan matahari dan bulan bercahaya.
Dengan tingkat teknologi saat ini betapa
sangat mengherankan bila para Ilmuwannya tidak juga dapat memahami bahwa
kesempurnaan “masa depan” manusia adalah pada Area Cahaya diatas Cahaya (Nuur
Alloh SWT). Area yang sifatnya tidak lagi Lokalitas tetapi adalah Non
Lokalitas, Tanpa Batas, dimana kehidupan “kekal” seharusnya lebih dapat
termaklumi, karena sungguhkah terjadi perjalanan Antar-Bintang tanpa hidup
kekal? Semua menjadi jelas dan eksakta, tidak bisa tidak Agama itu sifatnya
menjadi sangat pasti alam, sangat-sangat rasional. Potensi kemanusiaan paling
hakiki yang disebut “fitrah” yang ada pada diri manusia menjadi sangat tampak
jelas, itulah “potensi Surgawi” yang demikian nyata diisyaratkan tersyirat di
dalam semua Kitab SuciNya walau diceritakan dalam bentuk “kejatuhan Adam dari
Surga” serta upaya “pengembalian ke Surga lagi”.
Sayang kata-kata sederhana itu tiba-tiba
menjadi sangat sempit maknanya, padahal sesungguhnya sangat kompleks, tidak
sesederhana yang terbayangkan selama ini. Apa itu Surga, dimana Surga itu?
(Yang sejak dulu hingga sekarang dan selamanya adanya di “sisi” Alloh SWT
belaka, dan tidak pernah beranjak dari tempat kedudukannya). Apa itu bumi,
ciptaan macam apa bumi itu? Betapa imej yang berkembang, bumi itu ya hanya bumi kita ini, sebagaimana Adam itu ya manusia
pertama di bumi kita ini (yang bolehjadi Adam itu di turunkan dari atas sana,
dari Surga melewati segala bintang gemintang terus dan terus meluncur
sedemikian rupa hingga sampailah di bumi kita ini yang hanya seperti debu di alam semesta.).
Bahwa semua perkataan di sisi Alloh
kalimat-kalimat di sisi Alloh sifatnya Non Lokalitas yang tanpa batas dan akan
tetap demikian selamanya, tidak pernah menjadi bersifat Lokalitas, itulah yang
di “sisi”Nya, SurgaNya. Semua ini sesuai
Nama-NamaNya yang Segala Maha, Asma ul Husna. Karena itu satu perkataan
adalah dalam jumlah yang juga tanpa batas, sehingga satu perkataan dapat
“mewakili” seluruh perkataan yang “sama semisal”. Pembentukan sosok Adam di
bumi kita ini akan juga “mewakili” pembentukan sosok “semisal Adam” sekaligus
sedemikian rupa, di segala penjuru bintang-gemintang. Pembentukan langit dan
bumi juga menggambarkan betapa banyak terjadi bentukan-bentukan “semisal”
sekaligus serentak (dalam hal ini berupa gugusan-gugusan bintang belaka). Alloh
SWT tidak membentuk pasir yang hanya
satu butir (dengan sifatNya yang Segala Maha, Non Lokalitas) melainkan
butir-butir pasir yang banyak tanpa batas, demikian pula bumi dengan
pemandangan langitnya yang “semisal” yaitu matahari dan bulan bercahaya, tentu
juga demikian dengan sosok-sosok “semisal” Adam dengan “fitrah Alloh” yang sama
semisal pula.
Sesuai KeMaha Luasan Surga di “sisi”Nya,
sesuai KeMaha Luasan “sisi”Nya itu yang Tanpa Batas, maka “pengejawantahan”
sosok Adam dari Surgapun terjadi “serentak” sedemikian rupa di “segala bumi”
yang jumlahnya tanpa batas tersebut dan
yang karenanya semua sama-sama memiliki “fitrah Surgawi”. Agama yang sama
semisal serta Al Quran yang “semisal” pula yang Alloh SWT turunkan pada
bumi-bumiNya yang lain. Jadi sesungguhnya betapa banyak “besaran-besaran Al
Quran” yang sedemikian rupa tersebar di seru sekalian alam segala penjuru bintang
gemintang, di seluruh bumi-bumiNya. Akan tetapi semua sungguh “semisal” karena diturunkan dari Lauhil Mahfuz
yang sama, nilai-nilai Surgawi dari “sisi” Alloh yang sama. Dalam hal ini Alloh
juga telah memperlihatkan kepada para Pewaris yang diKehendakiNya dengan
pemandangan yang luar biasa terang benderang betapa “besaran-besaran Al Quran”
itu sedemikian rupa. Dimana di bumi kita ini saja bila Alloh SWT hendak
menurunkan “Kitab Suci”, maka niscaya “Al
Quran” kembali yang akan diturunkanNya yaitu dari Lauhil Mahfuz yang sama,
khususnya kepada para Pewaris Nabi yang diKehendakiNya. Maka bagaimana mungkin
bisa memiliki Ilmu Quran yang hakiki, tanpa diturunkanNya kembali Al Quran itu
di hatinya? Hal demikian karena memang telah sempurna Kitab Suci yang diturunkanNya
dan tidak akan berubah hukum Alloh itu untuk selama-lamanya.
Terpandang sedemikian rupa “besaran-besaran Al
Quran” itu (Pewaris Nabi yang diKehendakiNya tentu lebih mengetahui), maka
seakan besarnya menjadi berkali lipat dari Al Quran biasa. Dan bila diturunkan
bukan di negeri Arab, maka seakan “huruf-hurufnya” menjadi tidaksama dengan Al
Quran yang ada. Hal yang demikian bagi Pewaris Nabi sebagai sesuatu yang biasa,
karena Al Quran pada bumi-bumiNya yang lain bahkan dengan bahasa yang tak
terbayangkan. Dan semua ini sebenarnya hanya dapat berarti bahwa “Ilmu Quran”
itu di Akhir Jaman akan disempurnakan Alloh SWT bukan di Negeri Arab, jadi
bukan dengan bahasa atau “huruf” Arab. Walau pada kenyataannya apa yang
dikatakan diisyaratkan oleh para Pewaris Nabi hanya dapat dimengerti oleh diri
mereka sendiri, dimana orang awam belum tentu dapat memahami bahwa itu hanya
isyarat diantara mereka saja. Artinya tidak akan mengerti kecuali yang mendapat
“petunjuk” seperti mereka pula. Yang jelas untuk dapat menundukkan langitNya
dan bumiNya juga hanya dengan Alloh. Jadi selayaknya Surga yang sifatnya “Serba
Non Lokalitas” jangan dipahami sebagai yang bersifat Lokalitas.
Dewasa ini “pencarian” planet-planet semisal bumi sebagai hal yang sangat menarik
sehingga sangat gencar dilakukan, tapi sayang sekali petunjuk Agama
dikesampingkan. Para Ilmuwannyapun tidak mempercayai Hari Berbangkit juga
kehidupan kekal di Akhirat. Akan tetapi dengan semakin memahami sifat-sifat Non
Lokalitas pada Alam yang pada hakekatnya adalah dari Dia Sendiri, Dzat yang
memiliki Asma ul husna (pandanglah bagaimana akan terbukti semua pemahaman akan
ditarik kepadaNya, termasuk ilmu yang dikembangkan para Ilmuwan), yang
dipetikkan dari Nama-NamaNya Sendiri, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri,
Pemujian bagi DiriNya Sendiri. Dan karena Alloh adalah Dzat sebagaimana
Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul husna. Di dalam EsaNya “perpaduan” Nama-NamaNya
adalah gerak kekal Alam Semesta, “perpaduan” disini dapat berarti “Pemujian
bagi DiriNya Sendiri”, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri, itulah makna EsaNya
atas Asma ul husna, sifat-sifat Non Lokalitas senantiasa melekat padaNya. Di
“sisi”Nyalah fitrah segala sesuatu, qadar-qadar hakiki semua ciptaan, tidak
sesuatupun terjadi melainkan atas izinNya, semua dalam pengetahuanNya, tidak
sesuatupun yang tidak diketahuiNya, segala dalam “genggamanNya”. Maka mulailah
memahami bahwa yang “dicari” itu juga bumi-bumiNya sebagaimana bumi kita ini.
Pandanglah, ketika Yang Awal adalah juga Yang
Akhir maka “Segala Waktu” adalah dalam “genggaman”, “Segala Waktu” tercakup di dalamnya, tidak
ada waktu yang tidak tercakup di dalamnya. Waktu apapun akan “terdata”, sekilas
apapun jeda waktu itu niscaya akan dapat “terpandang” kembali, akan dapat
ditemukan, walau bagaikan sebutir pasir (ataupun sebesar zarah) di tengah
Lautan Padang Pasir yang sangat luas niscaya dapat ditemukan. “Data Waktu” itu
tidak akan lenyap, demikianlah perumpamaan “Genggaman Tuhan” yang Paling Awal
dan tidak berawal, yang Paling Akhir dan tidak berakhir, Dialah Yang Awal dan
Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin. Segala sesuatu apapun itu niscaya
terletak “Antara” Yang Awal dan Yang Akhir (pahamilah pengertian ini dengan
sesempurna mungkin). “Segala Waktu”, segala “Kilasan-Kilasan waktu apapun itu
niscaya terletak di “Antara” Nama-NamaNya Yang Awal dan Yang Akhir (yang ketika
Memuji DiriNya Sendiri maka terbentuklah “Segala Waktu”).
Tersimpan terdata sedemikian rupa segala
prilaku mahluk apapun itu, juga segala prilaku manusia walau berusaha
disembunyikan sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya di “sisi” Alloh itu
perbuatan yang sia-sia belaka. Di Area Tanpa Batas sosok manusia hanya bagaikan
“kilasan-kilasan waktu” belaka (karena sedemikian pendek umur manusia itu
dibandingkan waktu yang Tanpa Batas), yang “Terekam”, Terdata sedemikian rupa
di “sisi” Alloh SWT. Dan “data” itu dapat dipanggil kembali, itulah perumpamaan
Hari Berbangkit yang dijanjikan, maka adakah yang lenyap “Antara” Yang Awal dan
Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin? Bahkan segala sesuatu, segala mahluk
di segala bumi, di seluruh bumi-bumiNya di segala gugusan-gugusan bintang
gemintang segalanya tercatat, terdata secara sangat sempurna, tidak ada yang
tidak diketahuiNya (walau itu seekor semut hitam yang merayap di atas batu
hitam di saat gelap gulita) , segala dalam pengetahuanNya, dalam
“GenggamanNya”. Demikian itulah Dzat Yang Maha Mengetahui, mengetahui segalanya
Tanpa Batas.
Manusia seakan dapat menyembunyikan sedemikian
rupa dalam sifat-sifat yang sangat Lokalitas (demikian terbatas), kesementaraan
(karena hanya kilasan waktu), dalam jeda-jeda waktu yang sempit, bahkan merasa
demikian aman, karena segala bukti telah dilenyapkan, semua saksi dapat
ditundukkan justru menjadikan mereka semua terlibat dalam konspirasi. Betapa
banyak pandangan yang terperangkap dalam Lokalitas-Lokalitas sempit seperti
itu. Tak terkecuali dalam prilaku beragama, sehingga masing-masing merasa
“paling benar”. Selayaknya “kebenaran” itu harus diuji dengan Sumber Kebenaran
itu Sendiri yang Maha Benar lagi Maha Mengetahui.
Apa saja yang dikatakan dianggap dari Alloh SWT ujilah dengan Asma ul husna,
tidak akan gugur bila itu sungguh kalimat-kalimatNya, ayat-ayatNya. Adil dari
keMaha AdilanNya, bijak dari KeMaha BijaksanaanNya, suci dari keMaha SucianNya.
Alloh itu Maha Kekal gugurlah bila tidak kekal, yang Maha Hidup maka gugurlah
bila mati (walau matinya cuma satu detik). Yang bernyawa itu pasti mati,
bagaimana bisa manusia terjerumus menyembah mahluk serta ciptaan-ciptaan lain?
“Keberhasilan” yang dicapai tidak lebih karena
sedemikian rupa dapat memanfaatkan “ketidak tahuan” umat, bahkan dialihkan
diganti dengan kalimat-kalimat cerita lain yang menyesatkan menjadikan umat
semakin jauh dari hakekat sesungguhnya. Janganlah memanfaatkan “ketidak tahuan”
umat yang terkadang suatu yang kecil kesalahan yang dianggap kecil tanpa
penjelasan memadai dapat berakibat
besar, dan sangat fatal. Karena hakekat beragama itu justru untuk “tahu”
hingga mencapai kebenaran sesungguhnya yang paling benar, mengungkapkannya
dengan jujur tidak menyembunyikannya padahal tahu itulah yang benar. Maka yang
mesti diikuti adalah orang yang sungguh-sungguh takut azab Alloh, yang
sungguh-sungguh memiliki pengetahuan tentang azabNya itu (yang tentu dapat
menguraikan gambaran-gambaran tentang azabNya itu dengan benar dan jelas).
Orang yang sungguh mengenal azabNya tidak mungkin berani untuk bermain
kata-kata pada ayat-ayatNya kalimat-kalimatNya. Hanya orang yang sesungguhnya
tidak mengetahui hal azabNya dengan benar maka berani mempermainkan pemahaman
ayat-ayatNya kalimat-kalimatNya, orang yang sebenarnya tidak takut pada Alloh,
menjadi penentang paling keras hingga di akhir hidupnya diperlihatkan kepadanya
akibat perbuatannya itu. Akibat sangat tragis antara lain: betapa umat
berduyun-duyun justru meninggalkan Tuhannya atau sebaliknya seakan Tuhan
meninggalkan umat tersebut. Jadi ujilah dan ujilah kembali dengan Asma ul
husna, karena Agama itu “akal” dan bukan dogma yang diterima walau secara buta,
Agama harus teruji ketika diuji, sehingga “kebenaran” itu tampak dengan
sesungguh-sungguhnya.
Bahwa “pengejawantahan” Adam (Surgawi) adalah
sesuai keMaha Luasan Surga itu sendiri, dimana segala bumi, segala bintang
gemintang “tercakup”. Bahkan pada satu bumi kita ini saja “pengejawantahan”
Adam Surgawi juga serentak terbentuk di segala penjuru belahan-belahan bumi ini
sendiri. Maka demikianlah “permisalan” wujud-wujud mahluk manusia yang
terbentuk antara satu belahan bumi dengan belahan bumi yang lain (yang
hakekatnya juga tidak berbeda dengan keserentakkan mahluk-mahluk yang terbentuk
di segala bumi-bumiNya, yang istilah
agama diturunkan dari Surga), sehingga pasangan Adam Hawa yang terbentuk di
Tanah Arab akan semisal dengan yang terbentuk di pelosok benua Amerika, Afrika,
Cina ataupun (Irian Jaya) Papua. Yang masing-masing membentuk komunitas untuk
saling kenal mengenal.
Jadi pandanglah fitrah Alloh, sunnatullah,
nilai-nilai Surgawi yang berlaku di seru sekalian alam bintang gemintang (bukan Cuma di bumi kita ini Agama Alloh itu
berlaku), untuk tidak terlalu terpengaruh pada teori-teori yang ada (yang mungkin
katanya bersumber dari Agama), sehingga turunnya pasangan Adam Hawa dari Surga
menjadi demikian dipersempit Cuma di Tanah Arab. Apakah sungguh di pelosok
Papua itu berasal dari komunitas Arab? Padahal “perbedaan” antar pelosok bumi
hanyalah “pelajaran” betapa juga terjadi perbedaan bahkan tak terbayangkan bila
antar-bumi Antar-Bintang, dan karena memang alam semesta ini dipenuhi oleh
“perbedaan”, walau dianggap “kembar” misalnya, tetap ada “perbedaan”, karena
itu yang ada sebenarnya “permisalan” yang semisal. Maka dengan “terbuktinya”
betapa pengejawantahan Adam Surgawi sungguh sekaligus terjadi di
belahan-belahan bumi ini sendiri, artinya penciptaan atau terbentuk mahluk di
bumi-bumiNya yang lain tidak harus terjadi “penyeberangan” sosok-sosok mahluk
dari satu bumi ke bumi lainnya atau perjalanan antar bintang. Bahwa hukum Alloh
pula yang berlaku di Bintang Syira sebagaimana yang tertulis jelas dalam
ayat-ayat Al Quran, Alloh juga yang disembah mahluk Bintang Syira, dimana
nilai-nilai Surgawi adalah sama semisal dengan apa yang kita pandang di bumi
kita ini.
Bahwa belenggu-belenggu “keterbatasan” yang
sangat Lokalitas sudah selayaknya “dilepas” sehingga sungguh dapat memandang
secara Tanpa Batas yaitu pada nilai-nilai Surgawi saja. Yang sebenarnya berlaku
di seru sekalian alam bintang-gemintang, jadi mengertilah tentang Islam yang
rahmatan lil alamin, dimana (teknologi) Buraq yang demikian tersyirat tertulis
nyata dalam Al Quran menunjukkan wilayah nyata “ilmu Quran” yang hakiki di alam
semesta. Karena itu jangan heran bila di Akhir Jaman maka Pewaris Nabi secara
khusus diberi pengetahuan nyata yang dalam hal ini adalah (teknologi) Buraq
(teknologi Cahaya diatas Cahaya), yaitu sesuai wilayah Al Quran itu sendiri.
Sehingga makna rahmatan lil alamin bukanlah omong kosong yang tidak mungkin
terbukti dengan kenyataan ilmu-ilmu
(juga ilmu Quran) yang dipegang umat Islam saat ini, dianggap telah sangat
ketinggalan jaman. Maka “kelebihan ilmu Quran” yang ada dalam genggaman para
Pewaris Nabi hakiki adalah (teknologi) Buraq ini, sehingga sungguh akan
mencapai bintang-bintang khususnya bintang Syira karena tertulis jelas dalam Al
Quran, dan memang para Pewaris Nabi hakikilah yang sesungguhnya akan dapat
merealisasikan semua isi Al Quran itu di Alam Semesta Bintang Gemintang,
sehingga nyatalah “perbedaan”nya kelak.
Pemahaman Agamapun selayaknya jangan lagi
mengikuti atau masih demikian terpengaruh oleh belenggu-belenggu
“keterbatasan”. Karena fitrah Alloh itu sungguh Realistis dan yang Realistis
itu adalah Tanpa Batas, sebagaimana KeMaha BesaranNya, KeMaha LuasanNya, yaitu
wilayah “sisi”Nya itu. Dan karena itulah pada akhirnya segala mahluk di segala
bumi di segala penjuru bintang gemintang akan “dipersatukan” dalam suatu tempat
wilayah yang kita kenal sebagai “Surga”. Maka pandanglah bagaimana
belenggu-belenggu “keterbatasan” itu demikian membelenggu manusia membentuk
kelompok-kelompok aliran-aliran golongan-golongan. Padahal pada tiap Nabi Alloh
turunkan kebenaran yang bila “diteliti” sungguh-sungguh adalah “semisal”, semua
mengikuti fitrah Alloh masing-masing belaka. Persis seperti perkembangan
ilmu-ilmu menjadi matematika, fisika,
kimia, kedokteran, bahasa, biologi danseterusnya, yang pada masing- masingnya
sungguh Alloh turunkan “kebenaran”. Janganlah suara burung perkutut menjadi
tidak diakui (dianggap salah) sebagai “fitrah Alloh” hanya karena kita adalah
komunitas dengan suara ayam, sebagaimana Matematikawan juga mengakui adanya
“kebenaran” pada ilmu-ilmu sosial juga bahasa danseterusnya.
Jadi baik golongan syiah, Sunni, NU,
Muhammadiyah danseterusnya sungguh Alloh turunkan petunjuk pada
masing-masingnya. Karena itu bila belenggu-belenggu “keterbatasan” dilepas,
maka akan terjadi “kewajaran” atas perbedaan-perbedaan, sebagaimana antara satu
bumi dengan bumi lainnya yang tidak berapa lama lagi pasti terbukti, khususnya bintang Syira, walau sungguh belum
terbayangkan hingga saat ini. Yang jelas Lingkup Pewaris Nabi adalah seru
sekalian alam bintang- gemintang, yang nyata-nyata tidak hanya sebumi, dan
semua ini adalah sesuai dengan surah al fatehah, yang pada masa lalu secara jelas diisyaratkan
dengan perjalanan Buraq. Jadi tidak layak manusia menilai dalam “keterbatasan”,
atau menilailah dengan pandangan Alloh yang Tanpa Batas, maka pastilah justru
akan mengakui masing-masing hidayah yang sungguh sama-sama berasal dari Alloh
SWT, walau itu hanya satu kalimat. Kemudian biarlah perkembangan masing-masing
Agama khususnya dari masing-masing Nabi itu Alloh SWT Sendiri yang akan
menariknya kembali kepadaNya. Kita ini sungguh terbiasa dengan ilmu-ilmu kimia,
fisika, matematika, bahasa danseterusnya, yang ternyata semua saling berlomba
menyempurnakan kehidupan, akan tetapi mengapa dalam beragama tidak? Padahal
“semisal” itulah seluruh para Nabi dan Rasul yang diturunkanNya yaitu untuk
saling menyempurnakan bagaikan membangun “sebuah rumah” yang secara hakekat
sungguh Tanpa Batas.
Selayaknya renungkanlah pernyataan ini dengan
tenang dan sabar, bahwa mereka yang tergabung dalam golongan Syiah semua akan
datang menuju Alloh SWT, kemudian sedemikian rupa “terpecah” untuk masuk ke
dalam 73 jalan yang telah disediakan sebagaimana yang termaksud dalam hadits.
Masing-masing diri akan secara otomatis berada pada jalannya masing-masing sesuai
menurut “cahaya yang terpancar dari dalam dirinya, yaitu akibat prilakunya di
dunia ini”, kemudian hanya ada satu jalan yang “bersesuaian” dengan cahaya para
Nabi dan RasulNya, dan itulah golongan (Jamaah) Ahlussunnah. Maka pengertian
Ahlussunnah itu sesungguhnya adalah Para Pewaris Nabi yang diturunkan Alloh
(sebagai “penyambung sunnah” yang sama-sama berasal dari Alloh SWT) yang dalam
hal ini adalah pada golongan Syiah (itulah ahlussunnah wal jamaah dari Syiah).
Sedang yang tergabung dalam golongan Sunnipun (walau di dunia ini menyebut diri
golongan ahlussunnah wal jamaah), semua akan datang menuju Alloh SWT, kemudian
terpecah memasuki 73 jalan yang disediakan Tuhan bagi mereka sesuai yang
termaksud dalam hadits, semua berjalan sesuai menurut “cahaya yang terpancar
dari dalam dirinya, yaitu akibat prilakunya di dunia ini”. Maka cahaya yang
“bersesuaian” dengan cahaya para Nabi dan RasulNya, itulah Jamaah para Ahli
Sunnah hakiki yang diturunkan Alloh SWT, yang dalam hal ini pada golongan
tersebut (Sunni) saat di dunia ini. Hal yang sama akan terjadi pada NU,
Muhammadiyah danseterusnya. Sungguh banyak yang tertolak, bahkan tertolak
sebagai umat Nabi Muhammad SAW (padahal mengaku umat Islam saat di dunia ini),
cahaya mereka demikian kelam dan gelap, perbuatan mereka demikian terpedaya
oleh syetan yang terkutuk.
Kemudian baik Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah
danseterusnya mereka yang menjadi Jamaah para Ahli Sunnah Hakiki, para Pewaris
Nabi di “sisi” Alloh SWT justru saling melengkapi saling menyempurnakan (di
Surga itu), sebagaimana seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya
saling melengkapi semua (cahaya mereka) bergabung sedemikian rupa bagaikan
membangun “sebuah rumah”, padahal saat di dunia ini ada yang saling bermusuhan
bertengkar (dalam ideologi dan pemikiran). Layak seperti keadaan saat ini,
bagaimana ilmu fisika, kimia, biologi, kedokteran, bahasa serta ilmu-ilmu
sosial danseterusnya ternyata saling melengkapi menyempurnakan kehidupan (dan
semuanya tetap masing-masing merasa “benar” tapi menurut fak masing-masing).
Demikian pula antara petani, nelayan, mereka yang bekerja di
perusahaan-perusahaan di pabrik-pabrik baik di bidang teknologi atau juga
kemeliteran baik di pemerintahan, kepolisian ketentaraan danseterusnya
kenyataannya semua saling melengkapi. Maka silahkan uraikanlah dengan pendapat
yang lebih baik bila permisalan-permisalan dalam uraian ini tidak disukai atau
sangat tidak berkenan oleh golongan-golongan dalam Islam. Sedangkan umat pada
masing-masing Nabi sejak Nabi Adam AS juga semua akan menuju Alloh SWT, dan
akan berjalan menurut jalan-jalan yang telah disediakan Tuhan atas mereka, dan
mereka yang tertolak adalah yang tidak bersesuaian cahaya dengan cahaya para Nabi dan RasulNya itu.
Bahwa semua memang berjalan berdasarkan “cahaya” sebagaimana yang dilihat Alloh
adalah “hati”, yang semua adalah akibat dari apa yang dilakukannya di dunia
ini. Dan di Surga semua para Nabi dan RasulNya itu juga akan saling melengkapi
saling menyempurnakan kehidupan Surgawi, yang Maha Luas Tanpa Batas, seluas
langit dan bumi, seluruh langit-langit dan bumi-bumi, dengan kehidupan kekal di
dalamnya.
Akan nyatalah bahwa dari bintang (bumi)
manapun Al Quran (nilai-nilai Surgawi) yang sama dan semisallah yang akan
“terpandang”, karena itu Alloh SWT juga sungguh menurunkan KitabNya di
bumi-bumiNya yang lain, sehingga Alloh SWT pula yang disembah di seru sekalian
alam bintang gemintang, dimana bintang Syira adalah contoh nyata yang tertulis
jelas dalam Al Quran (karena itu pastilah akan jadi kenyataan yang tak terbantahkan).
Dan sesungguhnya ke Maha Luasan Surga menjadi tampak demikian (semakin) nyata
bila tidak hanya sebatas suatu wilayah saja atau hanya sebumi ini saja
melainkan justru bila pandangan manusia adalah kepada segala bumi seru sekalian
alam sesuai isi surah Al Fatehah sebagai nilai-nilai Surgawi paling hakiki.
KeMaha Sucian Alloh itulah yang sungguh telah “melepaskan” pandangan-pandangan
manusia dari belenggu-belenggu “keterbatasan”, ke segala bumi ke segala
gugusan-gugusan bintang hingga (dapat memandang) ke fitrah Alloh SWT paling
sempurna, sidratul Muntaha di dekatnya ada Surga tempat tinggal (untuk ini “pahamilah” ayat-ayat yang dimulai dengan
“Maha Suci Alloh). Maka demikian pula zikir yang 99 masing-masing 33 kali itu
sungguh telah dapat menuntun pandangan hati manusia untuk terus menembus (juga
dapat berlepas diri dari) langit demi langit hingga kepada KeMaha BesaranNya
paling besar, inipun sesuai ayat permulaan surah Al Fatehah.
“Hal (Teknologi) Buraq Adalah Sebuah
Keniscayaan.” Bahwa seorang hamba tidak asal bicara tentang (teknologi) Buraq
tanpa dasar yang kuat khususnya isyarat-isyarat dari para Pewaris Nabi yang
dikehendakiNya terdahulu, terlepas dari pendapat Ulama-Ulama saat ini yang
tidak sejalan karena Buraq dianggap “mahluk miterius yang cenderung irrasional”
yang tidak dapat disangkut pautkan dengan istilah “teknologi”. Padahal
“teknologi” hanyalah “istilah ilmu” (pahamilah pernyataan ini) yang dalam hal
ini bagian dari sifat Zhahir dari NamaNya Yang Zhahir. Bahwa ketika Yang Zhahir
adalah juga Yang Bathin maka tidak suatu wujudpun yang tidak “terbentuk”, segala
benda segala mahluk segala sesuatu apapun “terbentuk”, sebagaimana terbentuk “Segala
Waktu” ketika Yang Awal adalah juga Yang Akhir. Karena Alloh adalah Dzat Yang
Memuji DiriNya Sendiri, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri Asma ul husna, dari
Alloh dan akan kembali kepada Alloh. Bahwa Asma ul Husna itulah yang menjadi
hakekat dari seluruh kalimat-kalimat Alloh, ayat-ayat Alloh, firman-firman
Alloh dimana “kesempurnaan” segala sesuatu itu adalah di “sisi” Alloh SWT.
Sedang “teknologi” itu hanyalah “istilah” bagaimana manusia membentuk suatu
bentuk yang sebenarnya bagian dari ZhahirNya tersebut.
Akan tetapi “kecepatan gerak” di sisiNya yang
adalah Cahaya Diatas Cahaya sedemikian rupa dipahami dengan sebutan “kun, faya
kun”. Maka tidak akan terpahami kecuali
yang diberi pemahaman tentang hal ini oleh Alloh SWT, sehingga dapat memahami
ayat-ayat Alloh bagaimana langit dan bumi ini terbentuk sedemikian rupa secara “kun,
faya kun”. Karena tanpa memahami “kecepatan gerak” yang kun, faya kun bagaimana
mungkin dapat memahami Buraq secara realistis rasional sebagai “Teknologi
Islami murni” cahaya diatas cahaya? Sekali lagi, “teknologi” itu hanyalah
istilah, sedang kesempurnaan “teknologi” itu hanyalah di sisi Alloh SWT. Bahwa
mengenal Asma ul Husna berarti mengenal hukum hakiki alam semesta, fitrah
Alloh, sunnatullah, bagaimana segala sesuatu segala bintang gemintang ini
terbentuk. Jadi nilailah secara wajar pemahaman seorang hamba tentang (teknologi)
Buraq ini, hingga saatnya pintu taubat tertutup. Karena bila ayat-ayat Alloh
telah menjadi “kenyataan” dengan sendirinya “iman” sudah tidak diperlukan lagi
maka pintu taubat tertutup.
Buraq
adalah dari Cahaya Alloh SWT, dan tidak akan dapat dinaiki kecuali
memiliki CahayaNya pula. Akan “terbakarlah”
bagi yang tidak memiliki CahayaNya, atau bagi yang cahayanya tidak
bersesuaian dengan cahaya para Nabi dan RasulNya. Dengan “kemaha cepatan”
pesawat sedemikian rupa adalah sangat wajar bila dirinya “terbakar”, karena
tidak memiliki kekuatanNya, yaitu kekuatan yang lebih lebih lebih kuat dari
segala “kemaha dahsyatan Alam Semesta” langit dan bumi. Manusia dapat memiliki
kekuatan-kekuatan Alloh adalah dengan berusaha “menyerap” Cahaya Alloh SWT,
yaitu dengan mengikuti kalimat-kalimatNya ayat-ayatNya melalui sunnah para Nabi
dan RasulNya. Khususnya dengan “sholat” sebagai jalan “terpintas” menyerap
CahayaNya, kekuatan-kekuatanNya. Bahwa bukan karena ikut Muhammadiyah seorang
hamba tidak pakai qunut atau juga bukan karena ikut NU maka pakai qunut, akan
tetapi (sejauh ini, masih beranggapan) “tanpa qunut” Nabi sampai ke Sidratul
Muntaha. Sehingga pakai atau tidak pakai
qunut biasa saja, tidak harus sujud sahwi tanpa qunut, kecuali bila NU bisa
membuktikan bahwa Nabi sampai ke Sidratul Muntaha adalah “saat” pakai qunut,
maka masalahnya jadi lain.
Demikian pula, bahwa “kesempurnaan Cahaya
Fitrah Alloh” itu terpancar pada waktu-waktu yang “tepat”, karena itu
“perbedaan” hari saat mulai “puasa Ramadhan” serta jatuh Hari Raya, sama sekali
tidak ada istilah (tidak berkaitan dengan) “benar atau salah”. Melainkan
saat-saat mana “tepatnya” Cahaya Alloh SWT itu ada pada “qadar paling sempurna”
yang dapat “terserap” tubuh khususnya saat sholat. Cahaya Fitrah Alloh yang gaib
tidak kelihatan itulah kelak yang “terserap” pada saat “Sholat Hari Raya”, akan
tetapi manakah “Qadar Cahaya Tersempurna” hanya Alloh SWT yang mengetahui, baik
Ulama NU atau Muhammadiyah tidak ada yang tahu secara hakekat. Karena itu
“perbedaan” hari saat sholat Hari Raya hanyalah perbedaan qadar Cahaya Fitrah
Alloh yang akan “terserap” saja, yang pada keduanya adalah sama-sama Cahaya
Alloh SWT belaka, hanya saja qadar keutamaannya sekali atau dua kali lipat.
Jadi tidak ada istilah mana yang benar atau yang salah, dan semua akan jatuh
pada “taqdir” tentang cahaya yang didapat (terserap). Bolehjadi hari terdahulu
lebih utama atau justru hari yang belakang, atau justru keduanya mendapatkan
“Cahaya Keutamaan” yang sama, karena Cahaya itu tepat “di tengah” (waktu)
keduanya. Padahal juga Cahaya Fitrah (Idul Fitri) paling sempurna itu juga
mengikuti “waktu dan tempat” yang “tepat” terpancar sedemikian rupa ketika
fajar menyingsing, bahkan bolehjadi itu bukan di negeri kita (Indonesia), tapi
mungkin di Malaysia, India, Eropa atau Amerika (selain di Tanah Arab tentunya),
hanya Alloh SWT yang tahu, qadar tersempurna termaksud.
Pemerintah yang baik akan memfasilitasi
keduanya (kedua hari-hari itu) karena keduanya memiliki dasar perhitungan
masing-masing dalam beragama, juga adalah hak yang mesti dipenuhi sebagai warga
negara (pemerintah selayaknya hanya “fasilitator”). Jadi bukan karena “pilihan”
pemerintah maka fasilitas sebagai hak tiap warga tidak diberikan. Bahwa
“perbedaan” tafsir adalah hal biasa dalam beragama, bahkan antar para NabiNya,
seumpama Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS sehingga terjadi “perpisahan” bagi
keduanya (layak seperti NU dengan Muhammadiyah ‘berpisah’ atau Sunni dengan Syiah dan lain-lain.). Akan
tetapi di “sisi” Alloh ilmu keduanya justru “senantiasa dan selamanya” adalah
saling melengkapi dalam membangun “rumah Alloh”, karena berasal dari
nilai-nilai Surgawi yang sama bahkan dari sejak Nabi Adam AS mendapat
kalimat-kalimat pertama dari Alloh SWT. Merupakan “pelajaran” dari peristiwa
Isra Mikraj dimana sama sekali “tidak
terpandang” adanya “Perang Agama” pada Akhir Jaman. Sebaliknya justru “saling
memberi salam”, saling menghargai, melengkapi dan menyempurnakan antar seluruh
para Nabi dan RasulNya, seluruh AgamaNya, seluruhnya, semuanya walau di bintang
gemintang, yang nyata-nyata semua adalah wilayah-wilayah sebagai “satu
kesatuan” utuh Seru Sekalian Alam Tanpa Batas. Dimana kelak sungguh segalanya
akan “dipersatukan” (segala gugusan-gugusan bintang itu) dalam wujud Surga yang
dijanjikan.
Sumber dari segala Sumber Hukum sehingga dari
gugusan bintang manapun termasuk dari bumi kita ini niscaya akan terpandang
sidratul muntaha yang sama, Lauhil Mahfuz yang sama dengan Al Quran yang sama.
Maka segalanya semuanya akan mencapai “sisi” Alloh yang sama, Surga yang sama
sebagai tempat tinggal. Jadi mengapa kita masih atau mesti berperang, saling
bunuh, padahal tidak berapa lama lagi bolehjadi kita justru akan kekurangan
orang untuk ke bintang gemintang. Ketika “terbuka” langit maka akan nyatalah betapa
banyak manusia telah menganiaya diri sendiri dengan perbuatan sia-sia
menumpuk-numpuk harta duniawi yang tidak seberapa, sekaya-kaya duniawi ternyata
hanya “sekerat” kecil saja dari bumi kita sendiri, wilayah dan harta yang sama
sekali tidak sebanding dengan seru sekalian alam bintang gemintang tanpa batas.
Karena bagi Penulis yang disebut Akhir Jaman hanyalah “Akhir dari kehidupan
duniawi” itu saja, yang sementara dan sangat Lokalitas. Kehidupan yang hanya
sebumi ini belaka, wilayah sekecil ini, sedebu di alam semesta, demikian itulah
duniawi yang sangat sementara, sangat Lokalitas (di bumi itulah kamu
dihidupkan, dimatikan dan dari bumi itulah kamu akan dibangkitkan.). Sehingga
ketika “terbuka” pintu-pintu langit maka yang “terpandang” justru “lenyaplah
kehidupan duniawi”.
Dan “pelajaran” dari peristiwa Isra Mikraj adalah
bahwa akan “terbakarlah” bagi yang tidak memiliki Cahaya Alloh SWT, jangankan
Buraq dengan kecepatan cahaya, dengan sekian kali “kecepatan suara” saja banyak
pesawat yang terbakar dan meledak beserta isi di dalamnya. Semua terjadi karena
tidak mencapai hakekat sesungguhnya “inti” dari kejadian langit dan bumi yang
secara kun, faya kun. Jadi hanya dengan dapat memahami kejadian langit dan bumi
dalam Agama maka pesawat dengan (teknologi Buraq) kecepatan cahaya diatas cahaya akan segera
dapat terealisasi dengan sempurna. Agama adalah “petunjuk”, akan tetapi kebanyakan
manusia lebih memilih duniawi. Pandanglah bagaimana para Ilmuwan mendapatkan
ilmu dari “ketundukan” Alam Semesta ini kepada Tuhannya (khususnya dalil-dalil
keseimbangan yang matematis), yang secara perlahan atau cepat secara pasti
dibawa kepada “pengenalan” Tuhannya, Nuur Langit dan Bumi. Karena hakekat Alam
Semesta ini adalah kalimat-kalimat Alloh, firman-firman Alloh yang terpandang
sebagai cahaya. Demikianlah pandangan para Ilmuwan akan ditarik dibawa melalui
ilmu itu sendiri justru kepada “pengenalan” akan Alloh SWT, jadi secara pasti
akan menemui Tuhannya. Teknologi nuklir, Nanotek, Kosmologi danseterusnya hanya
akan mempercepat manusia sampai kepada ayat-ayat Alloh SWT, sehingga semakin
yakinlah bahwa “masa depan” manusia adalah pada “Area Cahaya Diatas Cahaya”
yang dikenal dalam Agama sebagai “sisi”
Alloh SWT (Nuur Langit dan Bumi), sehingga sungguh-sungguh akan memahami itulah
wilayah kehidupan Surga yang dijanjikan.
Bahwa semua ini merupakan “pelajaran” betapa
untuk mencapai Alloh SWT tiap manusia harus dapat melepaskan segala bentuk
“kedirian” belenggu-belenggu keterbatasan yang tidak lain adalah dengan KeMaha
SucianNya, hingga dirinya disucikanNya, dilepaskanNya dari segala belenggu
keterbatasan. Prilaku Nabi bagaimana harta dan jiwanya hanya untuk Alloh SWT
belaka, adalah contoh bagaimana mensucikan diri dan harta agar tetap menuju
mencapai KeMaha SucianNya. Seperti hal masjid bagaimana sebuah perusahaan dapat
menjadi “sarana” menuju dan mencapai Alloh SWT jelas harus mengikuti sedemikian
rupa “keteladanan
Nabi” yang
jelas-jelas dengan penglihatan pendengaran dan hati (akal) bukan dari diri
sendiri lagi melainkan dengan Alloh. Artinya juga sudah selayaknya Alloh dan
RasulNya adalah lebih utama dari diri sendiri. Maka perusahaan demikian itulah
yang kini sedang dirintis “ALAS KETONGGO ONE” yang diharap dapat menjadi rahmat bagi manusia serta alam semesta,
rahmatan lil alamin, yang tentunya akan sangat berdampak logis bila Negeri
inipun akan dapat segera mencapai cita-citanya,
khususnya bila bermunculan perusahaan-perusahaan dengan spiritualitas yang sama
semisal sejenis di Negeri ini yaitu dalam mengikuti jejak-jejak “keteladanan Nabi Muhammad SAW”, maka siapa
menyusul, orang-orang yang sungguh berminat mendirikannya? Wallahu a’lam bish showwab.
Salam dari Penulis
ttd
Winarno (Mas Nano)