Thursday, October 24, 2013

MENUJU MASYARAKAT ADIL MAKMUR




Konsep jelas dan dapat dipertanggung jawabkan sangatlah penting, hakekatnya tidak sekedar “prilaku Muhammad” Rasulullah SAW seorang diri, akan tetapi pada seluruh prilaku para Nabi dan RasulNya bahkan seluruh hamba-hambaNya tanpa kecuali yang “Notabene” berprilaku Alloh berahlak Alloh, sehingga juga tidak membeda-bedakan sedikitpun karena sama-sama “prilaku Alloh” yang Non Lokalitas, yang Segala Maha sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna. Jadi “perluaslah “ pemahaman kita terhadap makna “makan sepiring bersama” (sebagai bentuk keadilan) dengan Asma ul Husna, karena bagaimana prilaku para Nabi dan RasulNya selain Nabi Muhammad SAW pastilah juga hakekat. Jangan paksa orang-orang Luar Islam (hingga saat ini Islam “terlokalisir” hanya umat Nabi Muhammad SAW) itu mengikuti Al Quran dan As Sunnah tanpa “keikut sertaan” prilaku junjungannya masing-masing yang di sisi Alloh SWT (kelak teruji) sama-sama hakekat. Sesuai peristiwa Isra Mikraj tidak satupun para Nabi dan RasulNya dari seluruh hamba-hambaNya seluruhnya semuanya dari “sejak Nabi Adam AS” (artinya seluruh manusia tanpa kecuali) yang tidak terliputi, sehingga segala “Hisab” atas manusia dan jin seluruhnya semuanya adalah dengan “Al Quran yang di Lauhil Mahfuz”.
Katakanlah, aku tidak meminta upah sedikitpun apalagi “memperdagangkan” Konsep Adil Makmur dari apa yang terpandang di “sisi” Alloh SWT sebagai Nilai-Nilai Surgawi. Bahwa Adil Makmur yang hakiki yang sesungguhnya adalah “Bahasa Surga”, bahasa “sisi” Alloh SWT yang Maha Adil. Tidak akan terwujud Masyarakat Adil Makmur kecuali dengan Alloh SWT yang tidak lain membangun dan yang dibangun adalah “Nilai-Nilai Surgawi” itu belaka. Pahamilah dan perlakukanlah segala semua ayat-ayat Alloh SWT itu secara Non Lokalitas sesuai Nama-NamaNya Terbaik yang Serba Maha, tidak secara Lokalitas sehingga baik disadari atau tidak telah “terlokalisir” sedemikian rupa oleh manusia itu sendiri. Padahal sesuai Asma ul Husna tidak Cuma sebumi kita bahkan di segala penjuru bintang gemintang di segala gugusan-gugusan bintang, dimana padanya Alloh SWT juga menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya. Semua adalah dari firman-firman Alloh SWT “Yang Hidup” (itulah Nilai-Nilai Surgawi), sama semisal dengan kejadian bumi kita ini yang juga dari firman-firman Alloh SWT “Yang Hidup” (yang juga dari Nilai-Nilai Surgawi), di “sisi”Nyalah “Kehidupan Kekal Tanpa Batas”, meliputi segalanya seru sekalian alam bintang gemintang, dan itulah makna hakiki dari “rahmatan lil alamin” yang akan teruji bahwa seprimitif apapun “kehidupan” (pada masa Nabi Adam misalnya) maka “Hisab” sungguh juga dengan Al Quran. Jadi ukuran sesungguhnya tidak hanya “prilaku Nabi Muhammad SAW” akan tetapi “prilaku seluruh hamba-hambaNya” yang diturunkan kalimat-kalimat Kitab-KitabNya walau itu hanya satu kalimat sehingga sangat tidak sempurna atau sangat primitif (hanya saja Nabi SAW menginginkan terbaik tersempurna dari prilaku umat-umat sebelumnya).
Bahwa sebagai Kitab Suci Tersempurna maka yang terpandang di “sisi” Alloh SWT di Lauhil Mahfuz hanyalah Al Quran, seakan tidak terpandang Kitab-KitabNya yang lain (terlokalisir), akan tetapi ketika “ilmu Quran” itu “terbuka” maka menjadi terpandanglah seluruh Kitab-KitabNya yang lain, seluruhnya semuanya walau di bintang gemintang. Semua ini sesuai dengan “kemaha luasan” Surga yang Tanpa Batas sehingga hakekat “rahmatan lil alamin” menjadi terpandang sempurna dan semakin terang benderang. Bahwa  dalam “mengejawantahkan” ucapan atau istilah Al Quran dan As Sunnah itu selayaknya juga “merujuk” pada seluruh Kitab-KitabNya yang lain dari sejak Nabi Adam AS dari segala pelosok bumi ini, sesuai wilayah Al Quran (ilmu Quran) itu sendiri, sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna. (sanggupkah?). Sehingga dari Agama manapun termasuk Hindu Budha Zarathustra Sinto Khong Hu Cu danseterusnya pastilah akan terpandang nyata “Apa itu Adil Makmur sesungguhnya” (yaitu semua dengan Asma ul Husna). Bahwa semua yang hakekat benar-benar dari sisi Alloh SWT pasti akan “Teruji” dan tidak akan “gugur”, pasti akan naik ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya”. Dimana segala kelimat-kalimatNya segalanya semuanya akan “bergabung” bagikan bentukan bangunan “sebuah rumah” yang “dibentuk” oleh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali,  sehingga akan terpandanglah Nilai-Nilai Surgawi yang sesungguhnya. Demikian itulah “rumah” yang dibangun para Nabi dan RasulNya (seluruhnya akan “bertemu”), dan semua ini sangat jelas tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj.
Ingat, pada kenyataannya dalam “Satu Agama” saja sedemikian kuat pengaruh dari sifat-sifat yang sangat “Lokalitas”, sehingga terbentuk “golongan-golongan sekte-sekte firkah-firkah”, maka bagaimana masing-masing golongan khusus dalam Islam, yaitu bila ingin tujuan Adil Makmur itu terwujud semuanya pasti menunjuk “ikutilah Al Quran dan As Sunnah”, tentu saja tiap golongan sangat yakin dengan pandangannya. Jadi tetap tidak mudah karena “pilihan-pilihan” akan muncul dimana dengan ayat-ayat yang sama berbeda tafsir. Bayangkan bila seluruh Agama atau berbagai Agama ditambah pernik-pernik Duniawi sama-sama memiliki Konsep Adil Makmur yang semua “mengajukan” dengan sangat yakin sebagai bentuk paling benar pada sebuah Negara. Tentu ada adu argumentasi dalam menentukan suatu pilihan, yang kemudian hingga kini berakhir dengan kekecewaan (gagal). Apakah Saudi Arabia itu tidak berpedoman pada Al Quran dan As Sunnah? Adil Makmurkah Negeri atau Kerajaan itu? Apakah Negeri inipun sungguh Adil Makmur yang sesuai dambaan sesuai cita-cita hanya dengan sebuah keinginan (dengan keyakinan sangat) “berpedomanlah pada Al Quran dan As Sunnah”, dan betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas akan terus saling berbenturan bahkan terkadang antar keluarga sendiri, sementara “Antar Negara” apa yang terjadi?
Dan apakah seorang hamba dianggap sedang “menjual” Konsep Adil Makmur hanya karena tulisan-tulisan ada pada blog alasketonggoone (sebelum ini masnano.info) nama suatu perusahaan? Ingatlah, betapa Ulama-Ulama (Cendekiawan-Cendekiawan Islam) khususnya masa kini baik itu dengan menulis atau berceramah serta mereka yang “meminta” upah bahkan dengan tarif tertentu, akan terjegal masuk Surga bahkan untuk mendapat pahala ketika ditanya Alloh SWT yaitu katakanlah, aku tidak meminta upah sedikitpun....... Maka berbahagialah bergembiralah orang-orang yang sungguih-sungguh menulis berceramah hanyalah dengan Alloh SWT dengan pandangan-pandanganNya sehingga semua demi AgamaNya menjadi rahmat atas semesta alam, bagi manusia seluruhnya. Pastilah persesuaian dengan “prilaku Nabi” demikian penting baginya, semua doa-doa pastilah bagi keselamatan umat manusia. Betapa ingin saudara-saudaranya juga selamat dan masuk Surga mengingat keadaan moral Duniawi seperti saat ini, yang sedemikian rupa telah membelenggu manusia tanpa kecuali, mungkin timbul kekhawatiran tentang hal ini?
Alas Ketonggo One suatu perusahaan yang dirancang untuk membentuk “Keekonomian” Islam yang siapapun dari Agama manapun dapat mendirikannya agar sedemikian rupa terbentuk “Keekonomian yang rahmatan lil alamin”, sesuai Lingkup “amanah Alloh” pada hambaNya ini yaitu ke bintang gemintang, lingkup kekalifahan yang sesungguhnya. Bahwa sudah waktunya langit demi langit akan “Terbuka”, Lingkup kehidupan manusia tidak lagi hanya “sebumi” akan tetapi ke segala bumi di seru sekalian alam Tanpa Batas, itulah hakekat sesungguhnya “rahmatan lil alamin”. Karena itulah seharusnya tidak perlu heran, bila yang hendak dibangun dan terbangun adalah “Nilai-Nilai Surgawi”, sehingga istilah Masyarakat Adil Makmur hanyalah “dampak” dari terrealisasinya Nilai-Nilai Surgawi tersebut. Jelas tidak berapa lama lagi Islam tidak lagi seperti keadaan sekarang ini, Islam akan menjadi “bagi segala Agama” (segala Agama adalah Islam) walau di bintang gemintang, sebagaimana Alloh SWT itu Tuhan bagi Semua Agama walau di bintang gemintang, Islam sungguh Islam yang rahmatan lil alamin yang Serba Non Lokalitas. Semua Agama itu telah dijernihkan disucikan diluruskan semua “Teruji” dengan Asma ul Husna, dan menjadi bagian yang hakekat di dalam Al Quran.
Marilah kita renungkan kembali hakekat Islam yang kita jalani selama ini, dari generasi ke generasi, apa sungguh-sungguh Islam yang dipahami secara Non Lokalitas sesuai Asma ul Husna? (Silahkan uji materi dengan Asma ul Husna). Bahwa lingkup Islam cakupan Islam yang sesungguhnya apakah hanya “sebumi”? bagaimana umat Islam selama ini dalam memahami Asma ul Husna sedemikian rupa telah terlokalisir oleh lokalitas-lokalitas sempit. Apakah hanya Nabi Muhammad SAW yang “berisra mikraj”, sedang umat Islam tidak? Hamba-hambaNya yang lain tidak mungkin ditarik Alloh SWT untuk berisra mikraj? Padahal sebutan “hambaNya” dalam ayat isra mikraj menunjukkan betapa banyak “permisalan-permisalan” atas Nabi Muhammad SAW yang semua “diisra mikrajkan Alloh SWT”, khususnya umat Nabi Muhammad SAW itu sendiri yang menjalani sholat yang sungguh “bersesuaian” dengan Kehendak Alloh SWT yang diperintahkanNya. Dan pandanglah bagimana para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya telah ada “menunggu” di langit demi langit, apakah mereka itu diisra mikrajkan Alloh SWT? Dengan “kendaraan” apa?
Bila saja orang benar-benar mengenal “Apa itu Nilai-Nilai Surgawi”, maka akan lebih mudah “memahami” hakekat sesungguhnya dari peristiwa isra mikraj. Dan juga “memaklumi” tentang bagaimana para Nabi dan RasulNya bahkan seluruhnya semuanya telah berada di langit demi langit dalam kondisi “seutuhnya”, karena secara hakekat yaitu dengan pandangan melalui Nilai-Nilai Surgawi maka mereka (para Nabi dan RasulNya) itu “tidak mati” baik jasad maupun jiwa, Cahaya Alloh SWT yang “Kekal” terbawa dalam diri-diri mereka masing-masing, “menyatu” dengan diri-diri mereka “seutuhnya”, bahkan bagi “siapa saja” yang mati dengan Alloh SWT, dengan ahlak Alloh fitrah Alloh berada “seutuhnya” dalam Nilai-Nilai Surgawi niscaya akan sama semisal dengan para Nabi dan RasulNya itu, seluruhnya semuanya. Jadi pahamilah tentang Lingkup Surgawi yang Tanpa Batas dengan kehidupan “Kekal” di dalamnya.
Kini pandanglah pula alam semesta bintang-gemintang dengan wujud bumi yang bagaikan sebutir pasir di tengah padang pasir yang sangat luas, bagaimana menjelajahi antar bintang tanpa hidup kekal? Padahal Nilai-Nilai Surgawi itu “merata” (senantiasa melekat) pada seluruh alam semesta bintang gemintang, seru sekalian alam Tanpa Batas. Dan memang hanya dengan Nilai-Nilai Surgawi itulah maka penjelajahan manusia atas seru sekalian alam ini terwujud. Bahwa rahmatan lil alamin tidak lain Nilai-Nilai Surgawi itu sendiri, merupakan Lingkup “kekalifahan” yang sesungguhnya bagi manusia, Lingkup Kehidupan Tanpa Batas yang “dijanjikan” di dalam seluruh Kitab-KitabNya, dari para Nabi dan RasulNya (yang disebut Surga). Lebih jauh kendaraan (dengan teknologi) macam apa sehingga manusia sungguh dapat menjelajahi seru sekalian alam bintang gemintang? Bagi Agama tentu teknologi “sisi” Alloh  SWT, “Cahaya Diatas Cahaya”.akan tetapi jelas terjadi perbedaan cara pandang bahwa Teknologi Duniawi tidak bisa dikait-kaitkan dengan “Cahaya Diatas Cahaya”, apalagi itu Cahaya Tuhan, Cahaya Alloh SWT, juga tidak bisa dikaitkan dengan Buraq, kendaraan yang mengantar Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha.
Tentu saja seorang hamba memilih sebaliknya, karena pada dasarnya alam semesta adalah dari firman-firman Alloh SWT dari kalimat-kalimat Alloh yang tidak lain dari cahaya Alloh SWT “Cahaya Diatas Cahaya”. Bahwa hancur luluh sebuah gunung dalam pandangan Nabi Musa AS hanya “mengembalikan” gunung Thursina itu kepada (Cahaya) Tuhan bagi gunung itu. Dan yang terpandang kemudian adalah garis-garis hukumNya firman-firmanNya Sepuluh Perintah Tuhan dalam wujud Kitab Taurat. Demikian itu adalah “Lingkup Sebuah Gunung” yang Alloh SWT menciptakan gunung Thursina itu dengan kalimat-kalimat firman-firmanNya paling sempurna sehingga Nabi Musa AS sungguh (dapat sampai) memandang “wajah” Tuhannya dalam bentuk Kitab Suci Taurat. Suatu kejadian suatu peristiwa “Pengenalan Diri Alloh SWT kepada mahluk”. Maka “semisal” itulah gunung-gunung terbentuk sehingga Nabi Musa AS  sesungguhnya tidak hanya memandang “sebuah gunung” melainkan “seluruh gunung-gunung” seluruhnya semuanya secara “serentak” walau itu di bintang gemintang. itulah ayat-ayat dari Kitab SuciNya yang Non Lokalitas dari DiriNya Sendiri, dipetikkan dari Nama-NamaNya Sendiri dari dan bagi Nama-NamaNya yang Terbaik, Asma ul Husna. Di sisiNya Surga yang dijanjikan dalam “kemaha luasan” Tanpa Batas, dari dan bagi Nama-NamaNya Terbaik belaka, Asma ul Husna sehingga terpandang “Surga”, terpandang “Nilai-Nilai Suirgawi” yang Non Lokalitas Segala Maha oleh Nabi Musa AS. Demikianlah hakekat ilmu Alloh SWT ilmu Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS.
Dan sungguh itu hanya pada “sebuah gunung” sedang bila pada bumi (pada kejadian “bumi” akan sekaligus terkait dengan kejadian “langit”) pada alam semesta langit dan bumi, maka “pemandangan yang terjadi” adalah apa yang disebut “Kiamat Kubro”, yaitu alam semesta langit bumi akan “hancur luluh” maka yang terpandang kemudian seluruh garis-garis hukumNya paling Sempurna berupa Dua Keping Lauhil Mahfuz yang amat sangat besar Al Fatehah dan Ayat-Ayat Al Quran seluruhnya, merupakan Kitab SuciNya paling Sempurna, “Pengenalan DiriNya Paling Sempurna kepada mahluk”, dan itulah Nilai-Nilai Surgawi sehingga menjadi “Sempurnalah” Surga itu dengan kalimat-kalimat Tuhannya, yaitu Al Quran.
Dengan cara pandang “permisalan” antara gunung dan bumi, maka hakekat Kiamat Kubro juga tidak harus sama dengan persepsi-persepsi yang ada hingga saat ini, karena jangankan “sebuah bintang” yang besarnya sedemikian rupa di banding bumi kita sehingga secara “akal” justru bumi kita ini yang seharusnya jatuh hancur luluh ke dalam bintang itu. Jadi bagaimana mungkin bintang-bintang (tidak hanya satu bintang) justru berjatuhan ke bumi? (mau ada dimana bumi kita ini, bahwa di bumi itulah kamu akan dibangkitkan). Maka bagi seorang hamba cukuplah bila Nilai-Nilai Surgawi secara sempurna “mengejawantah” di bumi kita dan langit kita, dimana seluruh isi Kitab-KitabNya menjadi “kenyataan” sempurna..
Bagi seorang hamba, “Kiamat” itu justru hanya “peralihan” dari kehidupan “sebumi” (sebagaimana Adam diturunkan ke bumi) menjadi ke segala bumi di seru sekalian alam Tanpa Batas (disebut Surga), dari Nilai-Nilai Duniawi yang Terbatas ke Nilai-Nilai Surgawi yang Tanpa Batas Non Lokalitas, dari kehidupan Duniawi yang sementara kepada kehidupan Surgawi yang kekal Tanpa Batas, dari ketidak sempurnaan menjadi Ke Maha Sempurnaan yaitu Lingkup “sisiNya” itu yang menuruti Nama-NamaNya Terbaik belaka, yang Kekal, yang Tidak Berubah sebagaimana sejak atau sampai kapanpun Asma ul Husna itu “Tidak Pernah Berubah”, Alloh SWT Tidak Pernah Berubah, dan karena Asma ul Husna Tidak Pernah Berubah maka “Tidak Pernah Ada Perubahan Dalam Hukum Alloh SWT”. (Bila kemudian ada manusia yang menganggap Asma ul Husna itu berubah maka bukan Asma ul Husna Alloh SWT yang berubah, akan tetapi hukum selain Alloh SWT itulah yang ada dalam pandangan manusia tersebut, Maha Suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan.) Jadi “Apa Itu Kiamat Kubro” sesungguhnya? Karena akan menjadi sesuatu yang aneh bila manusia bisa hidup kekal ke bintang gemintang tanpa terjadi “Kiamat Kubro”.
Sedang tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi insyaAlloh pasti kita akan menemui, sebagaimana hambaNya ini juga mengantar umat masing-masing Agama kepada junjungannya masing-masing, hingga kita semua menemui Alloh SWT atas Kehendak Alloh SWT Sendiri, dan di “sisiNya” Surga yang dijanjikan. Bahwa dengan “Nilai-Nilai Surgawi” para Waliulloh Tanah Jawa ini dapat “menemui” Nabi Khidir AS menurut ilmu yang dikaruniakan Alloh SWT. Maka demikian pula dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang sungguh hakekat pula kita akan dapat memandang langsung turunnya Al Masih dan Al Mahdi dan menemui Beliau-Beliau, yang semua adalah atas Kehendak Alloh SWT. Bahkan kelak demikian pula, hanya dengan Nilai-Nilai Surgawilah kita dapat bertemu semua para Nabi dan RasulNya semuanya seluruhnya dalam keadaan “seutuhnya”. Sedang mengenai “pertemuan” dengan Al Mahdi maka ilmu Alloh tentang hal ini ada dipegang oleh para Imam Syiah yang ada saat ini di Iran, khususnya melalui catatan-catatan dari dan tentang Para Imam Yang Duabelas, dimana semua ajaran itu disebut “Mushaf Fatimah” yang semua itu hanya kumpulan ajaran dari Para Imam Yang Duabelas saja. Sedang tentang turunnya Al Masih sebagian ada di dalam Mushaf Fatimah dari Para Imam Yang Duabelas sedang sebagian lain justru dipegang oleh umat Nasrani itu sendiri, (sehingga akan “ditaklukkan Dajjal” itu oleh Al Masih sendiri). Bahwa seorang hamba tidak memiliki hak atau kekuasaan sedikitpun untuk dapat menemui hamba-hambaNya yang hidup pada masa lalu, para Nabi dan RasulNya, para Waliulloh juga para Imam yang Duabelas, atau siapapun melainkan semua akan berjalan sesuai dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang terbangun dan dibangun melalui hambaNya ini, hingga sempurnalah Surga itu dengan kalimat-kalimat Al Quran, dan akan sempurnalah RahmatNya yang Sembilan-puluh-sembilan itu kepada mahluk.
Untuk dapat lebih memahami dengan sabar “Apa sesungguhnya Kiamat Kubro itu” maka pelajari renungkan dan telaah kembali peristiwa Isra Mikraj dengan apa yang telah diuraikan dalam tulisan-tulisan hambaNya ini, karena dalam pandangan hambaNya “Kiamat Kubro” itu kini sungguh sedang “berproses” (sungguh akan terjadi). Sebagaimana yang tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj maka kita semua (seluruh mahluk baik jin dan manusia) suka atau tidak suka akan ditarik ke sisi Alloh SWT, sehingga kelak juga akan terpandang  “Apa itu Hisab”. Bagaimana mahluk yang tidak memiliki “cahaya Alloh SWT” didalam dirinya pasti akan “terbakar”. Hanya  dengan kekuatan-kekuatan Alloh SWT yang lebih lebih dan lebih kuat dari segala “kemaha dahsyatan” alam semesta langit dan bumi maka dirinya akan selamat dari azab dan mencapai sidratul muntaha serta Surga di sisiNya. Bersama “perjalanan waktu” menuju Alloh SWT maka manusia akan berusaha membentuk kendaraan yaitu (dengan Teknologi) Buraq dengan menuruti “petunjuk” Alloh SWT kepada hambaNya ini. Sungguh semisal dengan saat Nabi Nuh AS membuat “perahu” dengan menuruti garis taqdir yang tertulis di sisi Alloh SWT, jadi Nabi Nuh AS membuat perahu juga dengan “petunjukNya”.
Bagaimanapun Kiamat Kubro yang “menurut Agama” pada dasarnya tidak harus “sepenuhnya” dicocokkan dengan “pengetahuan manusia tentang Alam Semesta bintang gemintang”, karena lebih kepada “pemahaman manusia kepada Ajaran Agama itu sendiri”. Persepsi tentang bumi dan langit misalnya apakah harus disesuaikan dengan pengetahuan manusia tentang bumi (dalam buku-buku Ilmiah saat ini) yang menjadi bagian dari Alam Semesta bintang gemintang? Persepsi tentang “apa sesungguhnya Langit itu?” hingga saat ini belum ada “kecocokan” yang tepat, jadi sebenarnya “Langit” termasuk yang belum dimengerti secara jelas. Karena itu maksud “kejadian bumi” di dalam Kitab SuciNyapun sebenarnya tidak seperti yang terbayangkan selama ini atau dapat dikatakan kejadian langit dan bumi serta pergiliran siang dan malam dalam Agama, persepsi sesungguhnya tidak menuruti jalan pikiran dan pemahaman manusia yang sangat Lokalitas (walau dengan bahasa Ilmiah yang masuk akal). Karena itulah seperti pada masa Nabi Ibrahim AS bila tiba-tiba matahari terbit dari arah sebaliknya dari Barat ke Timur maka hal tersebutpun dapat akan dan pasti terjadi menjelang Kiamat Kubro tanpa manusia harus mengerti secara Ilmiah sebab musababnya (itulah sebabnya Kiamat terjadi dengan tiba-tiba), khususnya sebagai tanda telah “tertutup” pintu taubat. Dan yang jelas manusia sudah diberi “peringatan” sebelumnya, jauh hari ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup atau masa jauh sebelumnya, bukankah telah ribuan tahun? Walau demikian bukan berarti persepsi-persepsi  tentang kejadian Alam Semesta Langit dan Bumi  selama ini, yang bergulir dari hambaNya “salah”. Tidak demikian melainkan merupakan tahapan-tahapan yang dikaruniakan Alloh SWT untuk kepada hakekat sesungguhnya, sehingga akan dapat dimengerti manusia seluruhnya khususnya para Ilmuwan. Istilah “Langit” misalnya memang akan lebih dekat dengan pengertian “Luar Gravitasi”, hingga kepada pemahaman penciptaan secara Kun, faya kun oleh Alloh SWT.
Jelasnya tahapan-tahapan tanda-tanda “Kiamat Kubro” sebenarnya bolehjadi sudah ada dan bahkan “terlewati” dimana manusia sama sekali “tidak menyadarinya”, bukan karena Alloh SWT tidak memberi isyarat itu secara sangat jelas melainkan pandangan-pandangan manusia itu sendiri lebih “terfokus” pada apa maunya sebagian besar manusia itu sendiri, artinya terbawa arus Duniawi yang Notabene terkadang jauh dari realisasi tanda-tanda Kiamat Kubro yang terus bergulir sejak dahulu. Padahal hakekat  “telah dekat” di sisi Alloh SWT akan jauh berbeda pemahaman “telah dekat” oleh manusia. Sehingga manusia bertanya-tanya karena telah terjadi “pergantian sekian generasi” bahkan tanda-tanda Kiamat Kubro belum ada dirasakan secara lengkap (termasuk oleh para Agamawan). Bagaimana dapat dirasakan tanda-tanda Akhir Jaman yang terus bergulir kalau pengetahuan yang sesungguhnya tentang hal ini terabaikan oleh kelengahan dan ketidak sempurnaan pikiran-pikiran manusia yang sangat Lokalitas?
Jadi bukan tanpa alasan bila seorang hamba meyakini dimana seharusnya tanda-tanda Kiamat Kubro itu telah ada dan terlewati dalam perjalanan waktu yang ribuan tahun, khususnya setelah Kitab Suci Al Quran diturunkan, dan karena “pemahaman” yang sesungguhnya “berbeda” atau bahkan sangat jauh berbeda dengan cara pandang manusia terhadap (kejadian) Alam Semesta antara Kitab Suci itu Sendiri dengan apa yang terpandang oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Artinya Kitab Suci memiliki jalur sendiri yang Alloh SWT Sendiri yang mengetahui, sedang manusia hanya akan dapat memahami melalui apa yang terpandang dalam (realitas) kehidupan sehari-hari yang telah berjalan ribuan tahun dari generasi ke generasi. Kitab Suci itu lebih ke Non Lokalitas dalam KeMaha SempurnaanNya sedang manusia tidak, yaitu seumpama cara pandang Nabi Musa AS terhadap gunung Thursina saat mendapat wahyu Kitab Taurat dengan pandangan manusia sehari-hari terhadap gunung Thursina itu, apa juga terpandang “Hancur Luluh” sebagaimana dalam pandangan Nabi Musa AS? Saat sekarang ini Kosmologi sedemikian rupa pandangannya terhadap Alam Semesta, apakah uraiannya (teori-teorinya) sungguh dapat sama dan sejalan dengan bacaan dalam Al Quran?
Semakin kita mengenal “Nilai-Nilai Surgawi” (dan karena yang dibangun dan terbangun melalui hambaNya adalah “wilayah Surga” ke bintang gemintang) maka akan semakin jelas dan mendalam pengertian tentang “Apa itu Kiamat Kubro” yang menjadikan wilayah kehidupan manusia Tanpa Batas. Bukan sesuatu yang salah bila seorang hamba mengatakan bahwa kita memang sedang “Menuju Masyarakat Adil Makmur” suatu “dampak” nyata dari terbangunnya Nilai-Nilai Surgawi di Negeri ini.wallahu a’lam bish showwab. Sekian dulu.
Winarno, masnano ponakan bu Retti Paron Ngawi.

Monday, October 7, 2013

BANGUNLAH KRATON DI ALAS KETONGGO




Kepada KGPH PA Tedjowulan, segeralah bangun Kraton” itu, karena pada dasarnya sudah “ditunggu” khususnya masyarakat Paron. Bolehjadi memang “sudah waktunya” Kraton yang telah direncanakan (diramalkan) nenek moyang itu terbentuk terwujud terrealisasi. Jadi perlihatkanlah dengan sesungguhnya kemampuanmu sebagai seorang “Raja”, yang bahkan karena membangun dari “awal”, insyaAlloh akan terbangun pula suatu sistem dengan “Inspirasi Terbaru dan Terbaik” sedemikian rupa sehingga menjadi “kerajaan” yang rahmatan lil alamin. Menjadi ujung tombak dalam membawa Negeri ini menuju masyarakat Adil Makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja. Dimana diri ini sebagai hamba Alloh yang sangat mendukung hanya menyarankan ikutilah “petunjuk Alloh SWT” dengan menuruti “fitrah Alloh”, karena itulah “Spiritualitas” yang benar. Artinya dalam membangun “Kraton” seorang Tedjowulan hendaknya bersama-sama berusaha mengubah diri menjadi hamba Alloh yang tunduk patuh mengikuti prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al Quran dan As Sunnah, sehingga ahlak menjadi ahlak Alloh.
Pelajaran nyata bahwa semua Negeri-Negeri di seluruh pelosok bumi ini telah “gagal” membawa rakyatnya Adil Makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja, baik itu kapitalisme, sosialisme, imperialisme dansebagainya bahkan yang disebut “daullah Islamiyah” juga pada kenyataannya masih demikian “terasa” didominasi oleh sifat-sifat yang sangat “Lokalitas” dalam mewujudkannya. Padahal sifat-sifat “kedirian, golongan”  serta semua sifat yang  masih sangat Lokalitas harus lenyap dalam “merrealisasikan mengejawantahkan” hukum Alloh SWT yang rahmatan lil alamin. Dimana semua yang dari Alloh SWT itu pastilah bersifat “Non Lokalitas” sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna yang Segala Maha. (Bacalah tulisan-tulisan sebelum ini). Artinya bila “kedirian” itu lenyap maka yang tinggal justru “Kehendak Alloh SWT” belaka, sehingga jadilah Alloh SWT sebagai penglihatannya ketika dia melihat, pendengarannya ketika dia mendengar dan hatinya ketika dia berpikir menilai berprilaku dengan akalnya. Itulah “ahlak Alloh” yang merupakan ciri khas ciri hakiki seluruh semua para Nabi dan RasulNya walau di bintang gemintang. dalam hal ini tidak ada “perbedaan” secara hakiki “ahlak Alloh” itu atas seluruh hamba-hambaNya (dimanapun), dan sungguh Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna pula yang disembah mahluk Bintang Syira. Kemudian siapapun yang prilakunya “bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya maka pada saat itu dirinyapun dapat ikatakan “berahlak Alloh SWT” (sebagaimana yang pernah terjadi dalam perang Badar). Karena itulah prinsip spiritual yang benar adalah menjadikan “Nabi itu sungguh lebih utama” dari dirinya sendiri, sehingga dapat “meneladani” secara total prilaku NabiNya. Juga terhadap tiap keputusan yang “bersesuaian” dengan Al Quran dan As Sunnah dirinya akan tunduk  patuh.
Sesungguhnya hanya dengan Alloh SWT maka “Kerajaan” yang didamba dicita-citakan akan dapat terwujud sempurna. Dimana “Keekonomian”pun harus dengan Alloh SWT, prinsip-prinsip yang bersifat Lokalitas selayaknya diganti dibuang dibersihkan dijernihkan, walau tetap tidak mungkin terwujud kecuali dengan “petunjukNya”. Dan bolehjadi hal “Keekonomian” inilah yang dianggap sebagai “tolok ukur” keberhasilan dalam membentuk masyarakat Adil Makmur. Padahal  berapa banyak Negeri-Negeri yang runtuh bahkan dengan “Azhab Alloh” yang demikian dahsyat justru karena “Keekonomian” dianggap sangat berhasil, Negeri itupun terpendam bersama harta benda yang demikian melimpah (mungkin juga seperti Karun yang memiliki harta yang banyak). Karena itulah diri ini sebagai seorang hamba Alloh tidak lebih hanya berusaha membawa menuju Taqwa yang tidak lain berprilaku berahlak Alloh termaksud, karena prilaku Alloh itulah prilaku Taqwa yang sesungguhnya. Dimana di SurgaNya kelak yaitu di "sisi" Alloh SWT yang ada hanyalah prilaku Taqwa belaka yang semakin dan semakin sempurna (meluas sesuai kemaha luasan Surga itu), walau sejak memasuki Surga prilaku Taqwanya sudah sangat sempurna, tidak ada prilaku di luar Taqwa.
Bolehjadi  akan banyak kendala dalam membangun “Kraton yang rahmatan lil alamin” (Non Lokalitas), mengingat demikian dominan serta telah membudaya segala desah nafas denyut-denyut kehidupan dengan sifat-sifat yang sangat Lokalitas, bukan hanya di Paron tetapi di hampir seluruh pelososk bumi ini. Istilah komersil dan bahkan yang dianggap Non Komersilpun tidak lepas dari sifat Lokalitas. Maka satu-satunya cara terbaik adalah kepada pemahaman Agama Alloh yang murni yang Serba Non Lokalitas sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna, kunci segala kunci, sumber segala sumber yang langsung memandang “sisi” Alloh SWT. Itulah Nillai-Nilai Surgawi yang Serba Non Lokalitas dengan lingkup kehidupan yang tidak hanya “sebumi” melainkan segala bumi seru sekalian alam bintang gemintang sebagaimana makna hakekat dari rahmatan lil alamin yang sesungguhnya Tanpa Batas. (Dan sesungguhnya itulah Lingkup kekhalifahan yang “dijanjikan” di seluruh Kitab-KitabNya, dari seluruh para Nabi dan RasulNya.)
Agama Alloh SWT adalah (pe)”nasihat” terbaik tidak hanya bagi diri ini ataupun seorang  KGPH PA Tedjowulan, tetapi seluruh manusia dan jin. Kebersamaan dalam menjalani kehidupan dunia ini secara “fitrah Alloh” tentu dengan penjelasan dan keterangan yang memadai, sehingga demikian nyata sungguh menuju Alloh SWT dan SurgaNya, Surga yang di “sisi”Nya itu. Akan tetapi sungguh tidak akan masuk Surga siapapun termasuk diri ini bila berprilaku tidak “bersesuaian” dengan Asma ul Husna, Surga yang “isinya” hanya kekuatan-kekuatan Segala Maha belaka. Akan “terbakarlah” bagi siapapun yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan Alloh SWT, yaitu CahayaNya, maka dalam dirinya harus terpancar Cahaya Alloh SWT Cahaya Diatas Cahaya. Hanya dengan (kekuatan) Alloh SWT yang lebih lebih dan lebih kuat dari segala kemaha dahsyatan alam semesta Langit bumi, sehingga segala kemaha dahsyatan alam semesta Langit bumi itu tidak dapat lagi “menghancurkan” dirinya tubuhnya, dan karena itulah kehidupan di Surga itu “kekal”. Kalau saja manusia tahu untuk apa kehidupan di dunia ini dengan sesungguhnya, pastilah manusia akan berlomba-lomba menuju Alloh SWT, akan senantiasa berbuat baik. Bila saja mengetahui betapa tidak sebandingnya harta benda duniawi yang demikian melimpah dan walaupun bumi ini dalam genggamannya dalam kekuasaannya. Karena bumi ini ternyata hanya bagaikan sebutir pasir di tengah padang pasir bintang gemintang, atau bagaikan setetes air dibanding lautan yang sangat luas. Jadi pandanglah betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas demikian “menipu” dan ternyata demikian mempengaruhi sedemikian banyak manusia.
Bagaimanapun diri ini hanya berusaha menyarankan dengan memberikan pandangan sedemikian rupa, karena bolehjadi sebagai orang yang terbiasa di Kraton maka KGPH PA Tedjowulan tentu memiliki prinsip-prinsip kekratonan sendiri yang telah mentradisi dan membudaya (mendarah daging). Sementara diri inipun sedang berusaha mewujudkan apa yang bolehjadi merupakan “amanah Alloh”, untuk jelasnya bacalah apa yang sudah diri ini tulis di blog “alasketonggoone” agar kita dapat bersama-sama berjuang (bersesuaian) yang mungkin bisa saling menguatkan, dan tidak bertentangan.  Dan karena sesungguhnya apa yang terjadi pada prilaku ayahmu adalah “takdir” sehingga terjadi gonjang-ganjing di Kraton Solo, artinya “memang ini sebenarnya adalah dawuh untuk membangun Kraton di Alas Ketonggo”, apa KGPH PA Tedjowulan mau konsekwen menjalaninya atau tidak, insyaAlloh semua akan berjalan sebagaimana apa yang telah terpandang oleh orang-orang tua dahulu, insyaAlloh. (Sekian dulu). Wallahu a’lam bishshowwab.
Winarno, masnano ponakan Bu Retti Paron, Ngawi.