Friday, January 17, 2014

MENGAPA INDONESIA ADALAH SION?



Bila seorang Nabi “bernubuat” untuk Akhir Zaman maka niscaya hakekat, pasti terjadi. Akan tetapi bukan dalam persepsi manusia melainkan Alloh SWT, karena itu “hukum” yang ditegakkan adalah AgamaNya yang hakiki belaka, Agama Alloh SWT. Indonesia dalam bahasa Kitab Suci adalah Sion, Zion, karena itu “Persatuan Indonesia” adalah bersatunya penduduk bumi ke Era Globalisasi Alam Semesta Bintang Gemintang, rahmatan lil alamin dalam pengertian yang sesungguhnya. Pandanglah bagaimana sebutan Zionis bagi Bani Israil memiliki efek negative, lantas bagaimana bila Indonesia justru Zionis yang Asli pada Akhir Zaman? Misalnya bagaimana perasaan umat Islam ketika yang ditegakkan oleh Zionis yang Asli adalah “Islam”? Begitulah bila ucapan hakekat dari seorang Nabi dipersepsikan oleh “hawanapsu” atau tanpa pengetahuan yang sebenarnya terkadang bisa berbalik menghantam diri sendiri. Pada kenyataannya Indonesia telah “Dinubuat” apakah dari seorang Sunan (Giri) ataukah Sang Prabu Jayabaya yang jelas banyak Ulama-Ulama Islam memandang kenyataan-kenyataan “semisal” hal Akhir Zaman bagi Negeri ini, khususnya Masyarakat Adil Makmur yang juga menjadi cita-cita rakyat Negeri ini.
Sekali lagi bila “Nubuat” (ramalan) itu sungguh dari seorang Nabi pasti yang ditegakkan adalah Agama Alloh SWT. Dan pada Akhir Zaman justru yang hendak dibangun AgamaNya dari seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali yang bagaikan membangun “sebuah rumah” yaitu sejak dari Nabi Adam AS. Seorang hamba yang diberi penglihatan tentang “Isra Mikraj” sangat memahami betapa hal tersebut justru merupakan “pengejawantahan” dari peristiwa “Isra Mikraj” itu sendiri. Dimana tidak berapa lama lagi akan terjadi “Dialog” antar seluruh para Nabi dan RasulNya sejak dari Nabi Adam AS dalam kenyataan sesungguhnya, sehingga terwujud terbukti betapa seluruh Agama Alloh SWT itu merupakan “satu kesatuan utuh” saling menyempurnakan satu sama lain bagaikan membangun “sebuah rumah” yaitu rumah para Nabi dan Rasul seluruhnya semuanya tanpa kecuali. Untuk saat ini mungkin tidak mudah memahami maksud seorang hamba tentang akan terjadinya “Dialog” antar seluruh para Nabi dan RasulNya yang semua tercermin dalam peristiwa Isra Mikraj, padahal demikianlah yang terjadi bagaimana Alloh SWT pada Akhir Zaman akan secara tuntas menyelesaikan segala yang “diperselisihkan” umat manusia selama ini, yaitu antar umat dari seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali.
Tidak seorang manusiapun yang dapat “menyatukan” seluruh AgamaNya dari seluruh para Nabi dan RasulNya kecuali dengan terjadi “Dialog” antar para Nabi dan RasulNya itu sendiri yang semua adalah atas Kehendak Alloh SWT belaka. Semua ini tercermin dalam peristiwa Isra Mikraj, sehingga sesungguhnya peristiwa Isra Mikraj itulah yang menjadi “Realitas Hakiki”, dimana “Segala Agama” dari sejak Nabi Adam AS semua ditarik ke sisi Alloh SWT, semua menuju Alloh SWT. Di sisiNya Surga (Kerajaan Alloh SWT) yang dijanjikan, tidak dapat sampai serta memasuki Surga itu kecuali yang “bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya. Bagaimanapun sedemikian rupa manusia mengagung-agungkan NabiNya akan tetapi bila prilakunya ternyata tidak bersesuaian dengan ajaran NabiNya pasti tertolak. Banyak manusia khususnya kaum wanita yang tidak menyukai (orang semiskin) Nabi beristri banyak (berbagi kemiskinan?) tanpa ilmu memadai tanpa mengenal fitrah hakiki di sisi Alloh SWT tentang wujud laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan tidak bijak dalam memaknai prilaku Nabi yang satu ini, juga prilaku “persaudaraan kebersamaan” antar istri-istri Nabi. Padahal di Akhirat SurgaNya seorang laki-laki akan secara langsung diciptakan Alloh SWT baginya istri-istri (bidadari) yang dapat “menutupi” apa saja yang kurang, apa saja yang dibutuhkan diri seorang laki-laki, walau ada istri duniawi yang bersamanya di Surga itu. (Entah, apakah Aisyah RA sungguh akan mendapat perlakuan jauh lebih baik lebih istimewa bila yang memperistrinya bukan Nabi SAW tapi orang lain, karena bagaimanapun pasti akan bersuami juga. Banyak gadis-gadis masa lalu bahkan di bawah umur 9 tahun yang sudah bersuami, tidak ada undang-undang yang melarang (apa sesungguhnya yang telah terjadi terhadap mereka?). Sedang melalui Nabi SAW hendak diperlihatkan oleh Alloh SWT bagaimana perlakuan terbaik bagi wanita yang halal di sisi Alloh SWT).
Pandanglah betapa jadi “sempit” pandangan dan lingkup seorang istri disebabkan tidak (kurang) bijaknya seorang wanita saat di dunia ini. Bahwa semakin banyak istri-istri saling “bekerja sama” disamping seorang suami maka tiap istri akan dikaruniai Alloh SWT ilmu-ilmu dari istri-istrinya yang lain, ilmu memasak misalnya dalam kemaha luasan rasa masakan padahal saat di dunia ini tidak pandai suka memasak, hanya karena bersikap bijak bekerja sama secara bijak saat hidup di dunia ini dengan istri-istri yang pandai memasak dalam “melayani” kebutuhan suami. Alloh SWT mengaruniai seorang wanita ilmu yang dengan ilmu itu akan memiliki wilayah serta pandangan yang sangat luas dalam kebersamaan di Surga dengan suami yang hakekatnya adalah “satu diri” berapapun istri-istri (bidadari) yang dikaruniai Alloh SWT kepada seorang laki-laki. Pahala berlipat-lipat ketika sebuah kebaikan ditanam saat di dunia ini. Maka silahkan uji materi dengan Asma ul Husna perkataan hambaNya tentang hal ini, serta semua yang menjadi keraguan, karena segala kebenaran itu berasal dari sisi Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna.
Dan sesungguhnya tidaklah mahluk itu memandang Tuhannya melainkan yang terpandang nanti hanyalah Asma ul Husna belaka dalam kenyataan sesungguhnya, sehingga baik berdialog antar sesama mahluk dan juga berdialog dengan Alloh SWT akan langsung mengetahui bahwa itu dari Alloh SWT dari petunjukNya, yang semua tidak lain dari dan bagi NamaNamaNya Sendiri, NamaNamaNya Terbaik belaka (Asma ul Husna). Manusia tidak menemui Tuhannya melainkan “kehadiran” wajahNya dalam wujud Asma ul Husna, yang akan dipahami dan dimengerti hati sanubari yang telah menjadi Non Lokalitas. Akan tetapi tidak sekali-sekali ada penjelmaan Alloh SWT menjadi mahluk atau berupa apapun walau itu seorang Nabi yang Agung, karena niscaya dirinya itu kecil dibanding bumi dimana dirinya hanyalah “tabir” bagi Kehendak Alloh SWT, itulah hakekat wakil Alloh kalifahNya, apa yang datang darinya adalah berasal dari Alloh SWT. Bukan dirinya yang berkata-kata dan berbuat melainkan dari Alloh SWT, dirinya hanyalah “tabir” bagi Alloh SWT. Dan keadaan di Surga kelak, di sisi Alloh SWT semua yang terpandang hanyalah “tabir” bagi Alloh SWT, kemanapun kita memandang disitulah “wajah” Alloh SWT.
Sesungguhnya banyak orang salah paham tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi pada Akhir Zaman karena memandang keduanya harus dengan ilmu Alloh SWT yaitu dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang terbangun sedemikian rupa. Demikian pula segala umat (Agama-Agama) untuk dapat “bertemu” dengan junjungannya masing-masing, dimana semua ini telah tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj, dan karena “sosok-sosok” mereka Beliau-Beliau tidak seperti kita lagi. Seperti hal pada masa lalu para Waliullah Tanah Jawa ini dapat menemui Nabi Khidir AS yang semua adalah dengan ilmu Alloh SWT. Jadi untuk itu pahamilah dahulu “Nilai-Nilai Surgawi”, bahwa Surga itu sesungguhnya “kekal”, sehingga apakah pada masa lalu, kini dan nanti Surga itu tetap “Exis” tetap “Ada”, tidak terpandang kecuali juga dengan Nilai-Nilai Surgawi. Maka sesungguhnya orang-orang yang berjihad membangun Nilai-Nilai Surgawi yang kekal itu, mereka tidak mati melainkan hidup, sehingga mereka dapat terpandang yaitu melalui Nilai-Nilai Surgawi. Apakah  dunia yang kita pandang ini ada atau tidak ada maka Nilai-Nilai Surgawi itu tetap ada, Surga itu tidak pernah beranjak bergerak dari kedudukannya, tidak ada perubahan sama sekali dalam hukum Alloh SWT.
Seluruh para Nabi dan RasulNya itu tugasnya adalah membangun Nilai-Nilai Surgawi yaitu dengan Kitab Suci yang diturunkan Alloh SWT. Akan tetapi pada kenyataannya seluruh Kitab Suci itu tidak dapat menjadi sesuatu yang “padu” menyatu. Dan siapapun termasuk hambaNya ini tidak akan mungkin dapat menyatukan semua Kitab SuciNya itu, demikian pula para Pewaris Nabi juga para Waliulloh, hingga pada Akhir Zaman atas Kehendak Alloh SWT Sendirilah akan terjadi “Dialog” antar seluruh Nabi-NabiNya itu, barulah akan dapat “menyatu” segalanya yaitu di sisi Alloh SWT, terpandang Surga yang dijanjikan secara sempurna lengkap dimana seluruh Kitab SuciNya (kembali) menyatu semua merupakan kalimat-kalimat Surgawi semua kembali ke asalnya dari Surga. Artinya seluruh mahluk dengan Kitab SuciNya sebenarnya hendak ditarik ke Surga, akan tetapi setiap diturunkan Nabi dan RasulNya mendapat perlawanan luar biasa dan sebagian berhasil dibunuh. Karena itu harus ada “kesadaran” manusia untuk tidak menentang para Nabi dan RasulNya yang nyata-nyata hukum yang hendak ditegakkan hanyalah bagi “kebaikan” manusia juga. Jadi terhadap orang-orang yang menegakkan AgamaNya yang jelas-jelas “bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya selayaknya juga tidak ditentang tetapi justru dibantu. Karena yang mereka tegakkan juga Nilai-Nilai Surgawi, membantu mereka berarti juga menjadikan diri sendiri menuju Surga, menjadi kalifah. Karena sesungguhnya menjadi kalifah di sisi Alloh SWT itu pastilah juga akan membawa manusia lainnya untuk menjadi kalifah di sisi Alloh SWT pula, hal yang akan bertolak belakang bila seorang Firaun juga hendak menjadikan manusia lainnya menjadi “raja” seperti dirinya, itulah Dunia.
Kalau saja manusia tahu Surga di sisiNya Tanpa Batas dan kekal sebagaimana makna Asma ul Husna itu Sendiri adalah cara sesungguhnya bagaimana dapat melanglang Buana ke segala penjuru Alam Semesta Bintang Gemintang yang hakekatnya semua tercipta dari kalimat-kalimatNya belaka, semua berasal beranjak dari NamaNamaNya Sendiri, NamaNamaNya Terbaik (Asma ul Husna) belaka pastilah akan berlomba-lomba berbuat “kebaikan”. Apakah manusia masih demikian peduli harta benda duniawi yang sungguh tidak seberapa walau seluruh bumi ini ada dalam genggamannya? Bila saja menyadari ternyata bumi hanya sebesar debu di Alam Semesta atau bagaikan sebutir pasir ditengah padang pasir yang sangat luas. Dimana dengan kalimat-kalimat Alloh SWT seru sekalian alam bintang gemintang rahmatan lil alamin adalah dalam genggaman dalam jangkauan seluruh para Nabi dan RasulNya, maka masing-masing diri dari bangsa jin dan manusia akan tunduk dan patuh pada AgamaNya.
Seharusnya manusia dapat menyadari memahami mengetahui mengerti bahwa ternyata dengan atau didalam “Nilai-Nilai Surgawi” semua mahluk manusia baik yang telah mati maupun masih hidup semua dapat “terpandang” sekaligus (global), semua jadi “kelihatan”. Bagaimana  semua mahluk akan ditarik diperjalankan menuju Tuhannya sehingga Nilai-Nilai Surgawi itu berisi pengetahuan tentang “segala” dan segala pengetahuan “ada” secara hakekat didalamnya. Bahwa kekal yang Tanpa Batas (Non Lokalitas) adalah melingkupi meliputi jeda-jeda waktu terbatas seluruhnya yaitu waktu-waktu duniawi yang sangat Lokalitas ini. Karena itu berapapun umur mahluk di dunia ini akan dapat “terpandang” kembali sedemikian rupa tanpa sedikitpun yang tersembunyi atau yang dapat disembunyikan. Demikian itulah bila dengan pandangan-pandangan yang Non Lokalitas, dengan pandangan-pandangan Alloh SWT yang beranjak dari Asma ul Husna, sehingga akan sangat berbeda bila dengan pandangan-pandangan yang sangat Lokalitas banyak yang tersembunyi dari jangkauan, banyak yang bisa disembunyikan, banyak kebohongan-kebohongan yang bisa  disembunyikan dan karena yang dibohongi juga pandangannya sangat Lokalitas, itulah Realitas Duniawi. Karena itu kehidupan sementara dunia ini tujuan sebenarnya adalah membentuk diri agar memiliki prilaku Non Lokalitas, berahlak Alloh SWT, memiliki kekuatan-kekuatan Tanpa Batas dengan sebutan “kalifah” yang dibentuk dari tanah bumi. Bahwa Alloh SWT sebenarnya baru “hendak” membentuk kalifah, karena itu pada Akhir Zaman itulah baru akan terbentuk “kalifah”, jadi bukan kekalifahan di dunia ini.
Mungkinkah “prilaku Non Lokalitas” dapat terbentuk sedemikian rupa pada mahluk-mahluk yang prilakunya sangat Lokalitas yaitu saat di dunia ini? Bisa dan mungkin bila “keimanan” adalah pada seluruh para Nabi dan RasulNya, menyeluruh tidak terkotak-kotak walau itu di bintang gemintang (seluruh hamba-hambaNya yang lain di segala gugusan-gugusan Bintang), semua yang Non Lokalitas dimanapun pastilah akan sama-sama beranjak bersumber dari Asma ul Husna. Tidak ada manusia super (termasuk Alien sekalipun) kecuali dengan Alloh SWT, walau selama ini telah dikhayalkan sedemikian rupa. Karena itulah harap direnungkan sungguh-sungguh bahwa ajaran hakekat pasti akan “dipertemukan” dengan ajaran-ajaran Alloh SWT yang lain dari seluruh para Nabi dan RasulNya tanpa kecuali walau di bintang gemintang yaitu saat “diperjalankan” semuanya menuju “sisi” Alloh SWT, sebagaimana peristiwa Isra Mikraj. Karena bagaimana mungkin disebut hakekat bila tak seorang Nabipun dipertemukan Alloh SWT saat perjalanan ke sisiNya apalagi saling bersalam-salaman mengucapkan salam. Bagaimana seluruh ajaran para NabiNya itu bergabung bertemu bagaikan bangunan “sebuah rumah”, walau itu dari bumi-bumiNya yang lain di segala gugusan bintang gemintang. Dimana Kitab Suci pada mereka itupun niscaya juga akan “semisal” dengan yang di Lauhil Mahfuz, sebagaimana yang di bumi kita ini. Dan semua menuju “sisi” Alloh SWT, SurgaNya yang luas sesungguhnya Tanpa Batas, sebagaimana makna dari Asma ul Husna itu Sendiri.
Bahwa “Hisab” itu adalah saat perjalanan menuju Alloh SWT, ke sisiNya, ke SurgaNya. Dimana segala prilaku yang tidak menuruti AgamaNya yang senantiasa menentang ajaran-ajaranNya, tidak bersesuaian dengan cahaya dari para Nabi dan RasulNya, bahkan berhasil membunuh diantara para Nabi dan RasulNya, jelas tidak akan dapat mencapai sisi Alloh SWT atau SurgaNya walau dengan “pengagungan” luar biasa terhadap NabiNya. Jalan mereka adalah jalan pembunuhan para NabiNya, yang lebih ditujukan kepada kerajaan (kekuasaan) Duniawi (yang adalah Surga bagi mereka). Bila saja Tuhan itu tampak (terpandang) bagi mereka niscaya akan dibunuh (seperti ucapan seorang komunis, mana Tuhan ta bedil, akan ditembaknya). Demikian itu sisi lain dari pandangan nyata hegemoni kerajaan duniawi. Seorang Firaun tidak ingin ada Tuhan lain atau yang disembah selain dirinya, maka terbunuh seorang Nabi akan menunjukkan “kekuasaan dirinya” atas segala sesuatu (didalam dirinya bersemayam perkataan “aku adalah Tuhan”). Dimana hal-hal yang “semisal” dengan prilaku “keakuan Firaun” itu senantiasa berulang dan berulang terjadi hingga Akhir Zaman. Hingga akan terbentuk “ritual” yang cocok bagi mereka, sebuah kebanggaan Kharisma (walau sebenarnya semu) pembunuhan dan pelecehan luar biasa atas NabiNya, sedang rakyatnya tidak tahu hakekat yang sesungguhnya. Bahwa Agama termasuk Islampun tidak luput dari pengaruh kekuatan-kekuatan (jahat) yang senantiasa berusaha menyimpangkan manusia dari fitrah hakikinya.
Bahwa seharusnya umat Islam dapat memandang lebih luas hakekat “perjalanan” ke Sidratul Muntaha, karena sebenarnya Isra Mikraj juga menggambarkan secara sangat jelas “Hisab” hingga sempurna mencapai sisi Alloh SWT. Bagaimana tubuh-tubuh itu ditarik ke suatu Lingkup Tanpa Batas, ke Serba Maha, ke yang Non Lokalitas. Semua “tubuh” merupakan “bentukan” yang terbentuk dibentuk utamanya dari “makanan yang dimakan”, dimana kekuatan-kekuatan (iman) pada yang Segala Maha itulah hendaknya yang menjadi ruh (dari ruhNya) atas tubuh-tubuh yang terbentuk dibentuk itu. Akan tetapi tarikan-tarikan pada lingkup yang sangat “Lokalitas” itulah dimana tubuh-tubuh terbentuk terlahir justru ke dalam pengaruh nyata suatu ruang lingkup yang sangat Lokalitas yaitu Dunia ini, dan disebut “Dunia” karena memang sifatnya yang “Serba Terbatas” (Lokalitas). Karena itu dapat dimaklumi bahwa dengan Nilai-Nilai Duniawi yang Serba Terbatas itulah manusia berusaha memahami ayat-ayat firman-firman kalimat-kalimat Alloh didalam Kitab SuciNya, sehingga istilah-istilah Agama tentang Kiamat kebangkitan Padang Maksyar Alam Barzah, Hisab menuju sisiNya dan SurgaNya danlainlain telah dipahami dengan pengaruh Nilai-Nilai Duniawi yang sangat Lokalitas itu.
Kemudian tentang diturunkanNya Al Mahdi dan Al Masih bukankah keduanya termasuk orang-orang yang hidup pada masa lalu? Apakah keduanya dapat “hadir” di hadapan seluruh manusia di dunia ini sesuai persepsi-persepsi yang ada selama ini ataukah akan dapat terpandang nyata keduanya (turun dari sisi Alloh SWT) adalah dengan Nilai-Nilai Surgawi yang terbangun sedemikian rupa? Karena bagi seorang hamba hanya dengan pandangan-pandangan yang “Non Lokalitas” maka keduanya akan dapat “terpandang”. Bahkan segala yang haq dan yang batil akan tampak jelas, dimana yang haq pasti akan sampai ke sisi Alloh SWT dan akan “teruji” sempurna dengan Asma ul Husna. Sedangkan yang Batil itu niscaya tidak akan berupa cahaya dari CahayaNya, tidak akan naik tidak akan sampai ke sisi Alloh SWT, karena akan jadi api (Neraka) yang bahan bakarnya manusia dan batu. Hisab itu hakikinya adalah dengan Asma ul Husna dan karena pada hakekatnya memang menuju Asma ul Husna.
Pandanglah bagaimana rakyat Negeri ini memiliki cita-cita Adil Makmur, apakah mereka yakin dapat mencapai cita-cita itu tanpa “petunjuk” Alloh SWT? Pada awal Reformasi terlihat betapa besar harapan bangsa ini untuk kepada cita-cita itu, kenyataannya Para Tokoh Reformasi telah berusaha berjalan sendiri-sendiri yang masing-masing yakin hanya dengan “caranya” cita-cita itu akan dapat terwujud. Hingga saat ini rakyat belum memahami bahwa yang sedang dikejar lebih kepada “kekuasaan”, dimana pada kenyataannya ada “kekuasaan” dengan kekuatan yang lebih sangat besar di luar Negara ini yang Negeri inipun akan dan harus berada dalam wilayah atau pengaruh kekuasaannya. Maka segala “kekuasaan” di muka bumi ini hanyalah Lokalitas-Lokalitas Kekuasaan betapapun berusaha berserikat menyatukan diri untuk menghimpun kekuatan yang lebih sangat besar. Sedangkan rakyatnya masyarakat yang ada didalam Negara-Negara itu sebenarnya juga berkeinginan bercita-cita “semisal” dengan cita-cita rakyat Negara ini, berhasilkah semua menggapai cita-cita?
Pelajaran nyata bagi rakyat Negeri ini dari apa yang terjadi pada Negeri-Negeri bahkan yang disebut Negeri Maju tetap rentan untuk jatuh pada krisis. Maka hanya dengan “petunjuk” Alloh SWT  Pemilik Keadilan dan Kekayaan yang sesungguhnya maka cita-cita Adil Makmur itu dapat tercapai. Karena itu beri kesempatan “Satu Priode” untuk mengikuti “petunjuk” Alloh SWT kepada hambaNya ini. Khususnya demi mengembalikan lebih dahulu ke semangat Reformasi Awal Negeri ini, dimana Para Tokoh Reformasi masih bahu membahu bersatu padu, pada rencana-rencana cemerlang membangun Negeri. Padahal yang dicari sebenarnya “Hukum” yang Rahmatan lil Alamin, dimana Rahmat Alloh SWT itulah yang akan tercurah dari langit dan bumi bagi Negeri ini. Cahaya RahmatNya itu sebenarnya telah “ada” bersama figure Gus Dur, akan tetapi tidak atau kurang kuat sehingga kembali tenggelam kepada kekuasaan-kekuasaan lama yang masih sangat kuat sebelum Era Reformasi. Sebagaimana tenggelamnya fitrah Alloh pada diri manusia oleh kenyataan-kenyataan Dunia yang sangat Lokalitas.
Bahwa kekuasaan-kekuasaan lama bukan berarti tidak layak tampil justru sebaliknya sangat layak sebagaimana seluruh Agama selain Islam layak tampil untuk kepada “Kesatuan Agama Alloh SWT” dari seluruh para Nabi dan RasulNya yang bagaikan membangun “sebuah rumah”. Sehingga Alloh SWT menjernihkan mensucikan seluruh Agama itu untuk ditarik kesisiNya, yang akan menjadi sesuatu yang padu sebagai Nilai-Nilai Surgawi semuanya seluruhnya. Karena itu janganlah berpikiran tentang Negara Islam bahkan Negara Hindu, Negara Budha serta lainnya, cukuplah Indonesia yang dalam bahasa Kitab Suci dikenal sebagai Sion, Zion. Maka kekuasaan-kekuasaan lama yang sangat layak tampil justru dari “Awal” sejarah (masa lalu) Negeri ini bila hendak tampil maka tampillah. Karena ada suatu tempat di Tanah Jawa ini dimana sebuah “Kraton” layak berdiri (dibangun) yaitu di “Alas Ketonggo”. Maka ketika terbangun “Nilai-Nilai Surgawi” bagi Kraton itu akan tampaklah Kerajaan-Kerajaan masa lalu sejak Awal Sejarah Negeri ini, serta Kerajaan-Kerajaan “semisal” di seluruh pelosok bumi dan Alam Semesta. Ingatlah bahwa kekuatan-kekuatan Non Lokalitas sungguh (dapat) nyata dan bukan khayalan atau sebagai sesuatu yang mistis, karena kerajaan-kerajaan masa lalu adalah termasuk Realitas Duniawi yang akan dapat “terpandang” kembali. Pahamilah hakekat Nilai-Nilai Surgawi walau saat ini mungkin memang masih sulit dipahami dan dimengerti. Karena bumi sebenarnya menyimpan “data sejarah” yang sangat lengkap, sebagaimana computer dapat menyimpan segala data kemudian dapat “ditampilkan” kembali. Bahwa Realitas Duniawi adalah “penggalan-penggalan” kejadian yang sangat Lokalitas, yang sebenarnya tidak pernah lenyap di sisi Alloh SWT yang Serba Non Lokalitas Yang Awal dan Yang Akhir. Dimana  segala semua kejadian itu hanya terletak “diantara” NamaNamaNya Yang Awal dan Yang Akhir belaka. Karena itu dengan pandangan-pandangan Alloh SWT akan dapat terpandang kembali segala sesuatunya itu walau sebesar zarah, seumpama computer dapat menampilkan data-data yang tersimpan sedemikian rupa.
Bagaimana Nabi Muhammad SAW dapat memandang segala sesuatu saat perjalanan ke Area yang Maha Non Lokalitas yang atas Kehendak Alloh SWT berdialog dengan para Nabi sejak Nabi Adam AS. Maka dengan Nilai-Nilai Surgawi yang Non Lokalitas pula umat Budha dan juga Khong Hu Cu akan dapat menemui junjungannya masing-masing, demikian pula Agama-Agama lain. Bahkan Agama Nabi Adam AS yang masih demikian sederhana (Primitif) akan terjadi dialog dengan Nabi Muhammad SAW yang merupakan “penghulu” semua seluruh para Nabi dan RasulNya. Karena itu tuduhan umat Islam bahwa Agama Budha serta Khong Hu Cu dianggap bukan Agama Alloh SWT sungguh belum terbukti sehingga terjadi “Dialog” dengan Nabi Muhammad SAW. Bahwa ucapan Nabi agar mencari ilmu Alloh SWT itu walau ke Negeri Cina menunjukkan segala hal tidaklah sesederhana kelihatannya, bagaimana tiap umat dari Nabi-NabiNya masing-masing merasa benar dengan menuduh luar Agama yang dianutnya adalah sesat, kafir. (Padahal teguran Al Quran tidaklah atas seluruh isi Kitab Suci akan tetapi hanya poin-poin saja dari sebab musebab terjadi penyimpangan akidah, “agar” umat yang ditegur iyu meneliti kembali Kitab Suci yang dipegangnya dengan sungguh-sungguh tentang masalah tersebut, dan agar dapat lurus kembali sehingga cahaya yang didapat akan kembali “bersesuaian” dengan cahaya NabiNya bagi Kitab Suci tersebut.)
Pandanglah bagaimana umat Islam melakukan ibadah sholat akan tetapi ketika Realitas Isra Mikraj itu “mengejawantah” yang ternyata diluar perkiraan tiba-tiba jadi sulit untuk menerima. Apalagi ternyata umat-umat lain bahkan dari seluruh semua NabiNya juga akan menjadi bagian dari AgamaNya didalam pengejawantahan Isra Mikraj itu. Menjadi sangat jelas bahwa didalam Kitab-Kitab Suci tersebut ada Nilai-Nilai Keadilan, Kebijaksanaan, Kemuliaan danseterusnya sehingga juga rahmatan lil alamin dengan qadar masing-masing. Surgapun juga terpandang dalam Agama mereka bahkan semua juga naik ke langit sebagaimana yang terjadi dengan Nabi Adam AS. Ditarik ke sisi Alloh SWT seluruh manusia tanpa kecuali apapun Agama yang dianutnya. Masing-masing Nabi yang diturunkan Alloh SWT pada Hari Kiamat akan membawa “cahayaNya” yang sebenarnya untuk “menjemput” umat pengikut Nabi tersebut, maka siapa yang “bersesuaian” dengan “cahaya Alloh SWT” pada diri Beliau-Beliau AS itu pastilah akan sampai ke sisi Alloh SWT dan SurgaNya. Maka “memandang” dengan Nilai-Nilai Surgawi yang Non Lokalitas yaitu dengan pandangan-pandangan Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna akan terpandanglah “Segala Umat”, yang semua diisra mikrajkan menuju Alloh SWT semuanya seluruhnya tanpa kecuali. Prilaku yang hakekat pasti akan “teruji” dengan Asma ul Husna, prilaku yang menyimpang tidak akan mendapat cahayaNya, yang mereka pandang hanyalah fatamorgana Surga, dan jalan bagi mereka adalah jalan pembunuhan para Nabi dan RasulNya. Pandanglah bagaimana tukang-tukang Sihir Firaun dalam adu ilmu dengan Nabi Musa AS juga memiliki “Ritual” sehingga pada akhirnya mereka akan dapat membedakan antara yang haq dan yang batil. Apakah akan menjadi tunduk dan patuh menjadi pengikut Nabi Musa AS atau tetap sebaliknya. Hendaknya kejadian-kejadian masa lalu merupakan “pelajaran” sejauh dapat diambil hikmahnya.
Seorang hamba berjuang untuk “Reformasi” adalah dengan menunjuk Tokoh yang tidak terlalu “kental” dengan Figur kekuasaan-kekuasaan lama sebelum Reformasi (yaitu Amin Rais). Kecenderungan ini sama sekali bukan tidak menghormati Tokoh-Tokoh lainnya, yang pada kenyataannya juga ingin “mereformasi” kearah yang lebih baik lebih bijak dari apa yang telah ditinggalkan pendahulu-pendahulu pembangun juga pendiri Negara kita ini. Bahwa “kebersamaan” (musyawarah dan mufakat) antar seluruh Tokoh-Tokoh Reformasi serta para Mahasiswa yang dahulu terlibat langsung seharusnya lebih ditonjolkan sehingga ide-ide cemerlang bagi terwujudnya cita-cita Negeri ini tidak disia-siakan. Walau kecenderungan kepemimpinan dalam keAgamaan memang lebih dipentingkan bagi hambaNya ini, dengan anggapan akan lebih dekat kepada (rahmat) Alloh SWT. Arus Keduniawian dengan moral yang sudah seperti sekarang ini selayaknya dilawan dengan Arus KeAgamaan yang Rahmatan lil Alamin bijak atas seluruh semua Agama serta dapat membawa diri-diri manusia kepada fitrah hakiki di sisi Alloh SWT, dengan Lingkup Seru Sekalian Alam Bintang Gemintang yang tidak lagi hanya Sebumi.
Ketika langit “terbuka” dan kekuatan-kekuatan Non Lokalitas hadir dalam kehidupan manusia maka kelak “makanan-makanan Surgawi dengan kekuatan-kekuatan Non Lokalitas” itulah tubuh-tubuh akan (kembali) dibentuk dan terbentuk dengan akibat-akibat logis tiba-tiba juga memiliki pandangan-pandangan Non Lokalitas, pandangan-pandangan yang Tanpa Batas. Sebagaimana “makanan berulat” (sangat tidak sempurna) yang telah menjatuhkan Adam dan Hawa dari Surga karena secara otomatis kekuatan-kekuatan tubuh tidak lagi Non Lokalitas tidak lagi bersifat Surgawi (jatuh) kepada kekuatan-kekuatan yang sangat Lokalitas hingga terbentuklah (sifat-sifat) Duniawi seperti yang ada sekarang ini. Sangat jelas kedatangan para Nabi dan RasulNya adalah demi mengembalikan manusia ke Surga, karena itu mengapa tidak dapat dipahami bila seorang hamba lebih mengedepankan kepemimpinan KeAgamaan yang Rahmatan lil Alamin? Dan mengapa mesti mencari jalan lain bila panggilan untuk kepada Alloh SWT itu telah Datang, dan mengapa masih berusaha mengikuti Arus Duniawi bagi Negeri ini? Bukankah kita senantiasa belajar dari pengalaman, dan senantiasa kecewa bila perkiraan untuk mencapai cita-cita ternyata tidak juga terwujud, bahkan krisis moral yang justru menjadi-jadi. Padahal juga tahu kalau terus mengikuti pola Keduniawian yang ada saat ini untuk target sebagai Negara Maju saja sulit terwujud, apalagi dianggap dapat membahayakan eksistensi Negara-Negara lain yang lebih dahulu disebut-sebut sebagai Negara Maju yang akan bisa “terpuruk”, bila penguasaan keekonomian atas Negara-Negara lain terlepas. Lantas bagaimana tiap Pemimpin Negara ini dapat mewujudkan cita-cita Adil Makmur kecuali hanya sekedar janji? Karena itu rakyat Negeri ini serta yang hendak menjadi Pemimpin bagi Negeri ini harus menyadari dan yakin hanya dengan mengikuti “petunjukNya” maka cita-cita Adil Makmur insyaAlloh akan terwujud.
Bahwa “Adil” itu sungguh “Bahasa Surga” bahasa sisi Alloh SWT yang Maha Adil Maha Kaya didalam KeMaha Luasan RahmatNya Tanpa Batas. Alam Semesta langit bumi bintang gemintang ini ada dalam KekuasaanNya GenggamanNya, maka hanya dengan Alloh SWT cita-cita Adil Makmur dapat terwujud. Bahkan azab Alloh SWT yang sungguh dahsyat juga akan tampak bagi mereka yang tidak berlaku adil dan bijak, sehingga kelak sesuai hadits (yang hingga kini masih dianggap nonsen), emas permata yang ditumpuk di pinggir jalanpun tidak ada yang sudi mengambilnya, manusia akan berlomba-lomba berbuat baik bahkan yang termiskin sekalipun berusaha beramal. Fitrah Surgawi Fitrah Kekalifahan akan tampak, akan terbentuk sempurna dalam Kemaha luasan pandangan yang tanpa batas. Dan sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi rakyat Negeri ini saja, rakyat Negara-Negara lain manusia seluruhnya pasti memiliki cita-cita “semisal” karena semua sama-sama memiliki fitrah kekalifahan fitrah Surgawi (potensi menuju Surga), fitrah Alloh SWT. Yang disebut-sebut sebagai “Pemberontak” juga sesungguhnya memiliki cita-cita “semisal”, hanya saja seorang hamba Alloh SWT adalah kepada Rahmatan lil Alamin seru sekalian alam tidak hanya sebumi, sehingga “bersama” seorang hamba tidak akan ada lagi istilah “Pemberontak” di Negara manapun di seluruh pelosok bumi ini yang semua milik Alloh SWT belaka, demikian itulah bila Alloh SWT sebagai tempat menghamba.
Selayaknya apa yang disebut “Keekonomian” juga harus (bersifat) Rahmatan lil Alamin, yang semua adalah dengan Alloh SWT, artinya harus dapat menjadi Rahmat bagi seluruh manusia. Siapa bilang Nabi itu menghimpun kekayaan adalah bagi (hawa napsu) diri sendiri? Sekaya-kaya hambaNya dari apa yang terjadi dalam keluarga Nabi Daud AS misalnya hanya suatu Replika kecil kehidupan Surgawi yang hendak diperlihatkan Alloh SWT kepada umat manusia. Suatu kekayaan dalam bentuk “mikro” dari secuil kisah kehidupan Surgawi (didalamnya sungguh kental dengan “Nilai-Nilai Surgawi” yang sedang dibangun), karena itu banyak yang salah paham dalam memaknainya. Tidaklah seorang Nabi itu melainkan untuk menjadi Rahmat bagi seluruh manusia dan Alam Semesta, maka semua prilaku adalah mengikuti petunjuk Alloh SWT. Demikian pula prilaku yang sungguh-sungguh mau menjadi hambaNya, dimana seorang hamba Alloh SWT pastilah akan berusaha untuk selalu berada dalam rahmat dan petunjukNya. Prilaku Nabi Daud AS dalam “berpuasa” misalnya sangat jelas menunjukkan semua prilaku sama sekali bukan karena “hawanapsu” apalagi keserakahan serta hal-hal yang berlebihan. Maka prilaku (terhadap harta danlainlain) yang “semisal” dengan Nabi Daud AS di pelosok lain bumi ini serta Alam Semesta akan menunjukkan kepada manusia tentang hamba-hambaNya yang lain walau seorang Budha.
Bahwa bentuk system “Keekonomian” yang lurus dalam ridho Alloh SWT akan sungguh sangat berbeda dengan Samiri dalam umat Nabi Musa AS yang terseret terjerumus hawanapsu sehingga “kekayaan” justru menjadi “sesembahan” yang disembah. Dan yang “semisal” prilaku Samiri dalam umat Nabi Musa AS ini menjadi sesuatu yang umum pada Jaman sekarang ini yang lebih memilih “uang” dalam suatu system Keekonomian yang menjurus kepada jalan “penyembahan” harta dan kekayaan, walau cara yang terjadi sedemikian halus. Kecenderungan kepada menyembah harta dan kekayaan ini juga akan terbukti manakala harus memilih antara panggilan Keekonomian untuk Alloh SWT atau justru mempertahankan diri dengan Keekonomian Duniawi yang ada hingga saat ini. Karena bila memilih Keekonomian untuk Alloh SWT akan senantiasa “berbagi” dengan manusia lain bahkan seluruh manusia. Maka kalau saja orang tahu hakekat “Perusahaan” yang sungguh-sungguh dibangun untuk (keridhoan) Alloh SWT, sebuah perencanaan yang menuju “Nilai-Nilai Surgawi”, dimana pada Akhirnya “seluruh Agama” akan terlibat, karena sesungguhnya Agama-Agama sejak Nabi Adam AS akan terbukti memiliki sistim “semisal” dalam membangun Keekonomian Umat yang Rahmatan lil Alamin. Suatu system  Keekonomian hakiki itu pada Akhir Jaman akhirnya tidak lagi memakai nilai-nilai berupa “Uang” (mata uang) yang kelak akan “lenyap” sebagaimana “system” yang ada di dalam Surga kelak, yang pasti tidak akan ada lagi yang disebut “lembaran-lembaran mata uang”. Di Surga yang ada hanya “Keekonomian Alloh SWT” dimana tiap manusia akan langsung menerima balasan apapun yang dilakukannya. Istilah “Alloh SWT Maha Cepat HisabNya” yang lebih dikenal sebagai kun, faya kun, demikian itulah kenyataan-kenyataan dalam Surga dalam Lingkungan Hidup yang “Serba Non Lokalitas” merupakan hal yang wajar terjadi. Maka Perusahaan ini didalamnya sungguh mengandung konsep “Jihad” untuk Alloh SWT, sehingga semakin banyak perusahaan-perusahaan “semisal” didirikan di seluruh pelosok bumi dan khususnya di Indonesia maka akan semakin cepat terwujud Sistem Keekonomian yang Rahmatan lil Alamin, sampai-sampai tidak ada seorangpun yang tidak mendapat RahmatNya.
Maka tiap diri berniatlah bergeraklah untuk menjadi hamba Alloh SWT sebagaimana diri ini juga demikian. Akan tetapi semua dapat berhasil menurut bakat ketrampilannya masing-masing. Jadi wajah perusahaan memang tidak harus “diperkayuan” melainkan di segala aspek kehidupan yang digulirkan tidak untuk diri sendiri melainkan hanya untuk Alloh SWT sehingga yang didapat adalah “cahaya” yang dengan cahayaNya itu akan naik ke langit menuju SurgaNya itulah “pahala” yang hakekat. Bahwa diri ini hanya seorang hamba yang tidak akan menjadi Pemimpin pada suatu Negeripun, sudah merupakan taqdir untuk tidak menjadi Pemimpin untuk suatu jabatan apalagi raja. Akan tetapi pada orang-orang yang memiliki bakat perbawa menjadi Pemimpin untuk Negeri ini akan berusaha menjadikannya Pemimpin, agar semua menjadi baik, demikian pula pada yang berbakat jadi “raja”, semua sesuai wawasan bakat keahlian menurut fitrah yang dikaruniakan Alloh SWT atas orang tersebut. Maka janganlah beranggapan bukan-bukan yang tidak sesuai dengan kenyataan pada diri ini, cukuplah sebagai hamba Alloh SWT.
“Kayu Untuk Kesejahteraan Rakyat” yang akan digulirkan pada pemerintahan mendatang hanyalah cobaan dari Alloh SWT atas rakyat Negeri ini, untuk sungguh-sungguh sebagai hamba Alloh SWT. Secara “Rohani” aka nada hubungan nyata antara “Langit dan Bumi” di bidang (melalui) tanam-tanaman. Artinya Alloh SWT akan segera “membuka pintu langit” atas Dunia ini yaitu dengan melalui “tanaman”, yang pada masa lalu Adam dan Hawa telah diturunkan Alloh SWT juga dengan (karena) melalui tanaman. Jadi berhati-hatilah dalam memperlakukan tanaman. Bahwa seharusnya BUMN-BUMN yang hakekat sesungguhnya adalah “kekayaan rakyat” dan yang sebenarnya untuk “Kesejahteraan Rakyat” ternyata banyak rakyat yang justru merasakan sebaliknya. Subsidi Negara untuk “Kesejahteraan Rakyat” justru rakyat seakan tidak mendapatkan atau merasakan subsidi itu, karena barang yang sampai kepada rakyat menjadi demikian tinggi. Mengapa rakyat tidak bisa membeli langsung ke Agen-Agen PT Pertamina hal gas 3 kg misalnya, karena selayaknya apakah itu eceran (rakyat biasanya eceran) atau grosir semua harus dapat “diterima Agen”, agar rakyat tahu dan dapat merasakan langsung harga “subsidi” yang sebenarnya, dan ini baru gas 3kg, belum subsidi pupuk, listrik pada PLN yang pasti ada CV sebagai penyangga dengan harga yang jadi melejit sangat tinggi ketika sampai ke rakyat. Jelas banyak prilaku-prilaku yang tidak “amanah” oleh BUMN-BUMN padahal pada dasarnya semua didirikan untuk Kesejahteraan Rakyat.
Dengan semangat Reformasi semoga “kejujuran” masyarakat Negeri inipun menjadi lebih kuat bila semua sungguh transparan dalam Keekonomian yang Rahmatan lil Alamin. Biarlah Alloh SWT yang langsung menjadi saksi atas “kejujuran” itu, sehingga layak tidaknya seseorang “menerima subsidi” ada dalam penilaian dirinya masing-masing. Karena secara “Rohani” bersama hambaNya ini Alloh SWT sungguh akan menurunkan “cahayaNya” Cahaya Diatas Cahaya yaitu sejalan dengan dibentuk terbentuk terwujud Nilai-Nilai Surgawi pada (seluruh) bumi ini. Sehingga kebaikan kebenaran dari prilaku-prilaku siapapun “cahayaNyalah” yang akan didapat, yang akan membentuk dirinya kepada pandangan-pandangan yang Non Lokalitas, Cahaya Alloh SWT yang pasti akan bersemayam dihatinya. Dan bila saja manusia tahu semua ini sungguh menuju kepada KeMaha Luasan “sisi”Nya, SurgaNya yang Tanpa Batas, yang Serba Non Lokalitas, yang jelas sangat jauh bila dibandingkan kenikmatan-kenikmatan sementara Dunia ini, hanya secuil kenikmatan bumi yang sekecil ini, pastilah akan lebih memilih ke Nilai-Nilai Surgawi yang sedang dibangun terbangun sedemikian rupa. Maka kebaikan dan kejujuran akan dijalaninya dengan kesabaran, sehingga tidak ada lagi kebanggaan demikian berlebihan atas harta benda duniawi yang pasti akan ditinggalkannya, bahkan dalam jangka waktu yang tidak lama. Bahwa keberhasilan seorang hamba akan dapat berarti keberhasilan seluruh manusia sejauh benar-benar pada jalan lurus yang diridhoiNya. Semoga Alloh SWT senantiasa memberi karunia kepada kita rahmat dan petunjuk yang hakekat, membukakan pintu hati kita untuk dapat menerima “CahayaNya” itu. Wassalam, wallahu a’lam bishowwab.
Winarno, mas nano ponakan Bu Retti, Paron Ngawi.Adalah satu-satunya saksi dari pihak Bu Retti tentang “amanah” untuk anak-anaknya kepada keluarga di Janggan serta Sine maka bila tidak diluruskan pastilah kalian akan jadi “Ahli Neraka” kasihan kalau kalian orang baik-baik.