Bila seorang Nabi
“bernubuat” untuk Akhir Zaman maka niscaya hakekat, pasti terjadi. Akan tetapi
bukan dalam persepsi manusia melainkan Alloh SWT, karena itu “hukum” yang
ditegakkan adalah AgamaNya yang hakiki belaka, Agama Alloh SWT. Indonesia dalam
bahasa Kitab Suci adalah Sion, Zion, karena itu “Persatuan Indonesia” adalah
bersatunya penduduk bumi ke Era Globalisasi Alam Semesta Bintang Gemintang,
rahmatan lil alamin dalam pengertian yang sesungguhnya. Pandanglah bagaimana sebutan
Zionis bagi Bani Israil memiliki efek negative, lantas bagaimana bila Indonesia
justru Zionis yang Asli pada Akhir Zaman? Misalnya bagaimana perasaan umat
Islam ketika yang ditegakkan oleh Zionis yang Asli adalah “Islam”? Begitulah
bila ucapan hakekat dari seorang Nabi dipersepsikan oleh “hawanapsu” atau tanpa
pengetahuan yang sebenarnya terkadang bisa berbalik menghantam diri sendiri.
Pada kenyataannya Indonesia telah “Dinubuat” apakah dari seorang Sunan (Giri)
ataukah Sang Prabu Jayabaya yang jelas banyak Ulama-Ulama Islam memandang
kenyataan-kenyataan “semisal” hal Akhir Zaman bagi Negeri ini, khususnya
Masyarakat Adil Makmur yang juga menjadi cita-cita rakyat Negeri ini.
Sekali lagi bila
“Nubuat” (ramalan) itu sungguh dari seorang Nabi pasti yang ditegakkan adalah
Agama Alloh SWT. Dan pada Akhir Zaman justru yang hendak dibangun AgamaNya dari
seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali yang bagaikan
membangun “sebuah rumah” yaitu sejak dari Nabi Adam AS. Seorang hamba yang diberi
penglihatan tentang “Isra Mikraj” sangat memahami betapa hal tersebut justru
merupakan “pengejawantahan” dari peristiwa “Isra Mikraj” itu sendiri. Dimana
tidak berapa lama lagi akan terjadi “Dialog” antar seluruh para Nabi dan
RasulNya sejak dari Nabi Adam AS dalam kenyataan sesungguhnya, sehingga
terwujud terbukti betapa seluruh Agama Alloh SWT itu merupakan “satu kesatuan
utuh” saling menyempurnakan satu sama lain bagaikan membangun “sebuah rumah”
yaitu rumah para Nabi dan Rasul seluruhnya semuanya tanpa kecuali. Untuk saat
ini mungkin tidak mudah memahami maksud seorang hamba tentang akan terjadinya
“Dialog” antar seluruh para Nabi dan RasulNya yang semua tercermin dalam
peristiwa Isra Mikraj, padahal demikianlah yang terjadi bagaimana Alloh SWT
pada Akhir Zaman akan secara tuntas menyelesaikan segala yang “diperselisihkan”
umat manusia selama ini, yaitu antar umat dari seluruh para Nabi dan RasulNya
seluruhnya semuanya tanpa kecuali.
Tidak seorang
manusiapun yang dapat “menyatukan” seluruh AgamaNya dari seluruh para Nabi dan
RasulNya kecuali dengan terjadi “Dialog” antar para Nabi dan RasulNya itu
sendiri yang semua adalah atas Kehendak Alloh SWT belaka. Semua ini tercermin
dalam peristiwa Isra Mikraj, sehingga sesungguhnya peristiwa Isra Mikraj itulah
yang menjadi “Realitas Hakiki”, dimana “Segala Agama” dari sejak Nabi Adam AS
semua ditarik ke sisi Alloh SWT, semua menuju Alloh SWT. Di sisiNya Surga
(Kerajaan Alloh SWT) yang dijanjikan, tidak dapat sampai serta memasuki Surga
itu kecuali yang “bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya. Bagaimanapun
sedemikian rupa manusia mengagung-agungkan NabiNya akan tetapi bila prilakunya
ternyata tidak bersesuaian dengan ajaran NabiNya pasti tertolak. Banyak manusia
khususnya kaum wanita yang tidak menyukai (orang semiskin) Nabi beristri banyak
(berbagi kemiskinan?) tanpa ilmu memadai tanpa mengenal fitrah hakiki di sisi
Alloh SWT tentang wujud laki-laki dan perempuan. Banyak perempuan tidak bijak
dalam memaknai prilaku Nabi yang satu ini, juga prilaku “persaudaraan
kebersamaan” antar istri-istri Nabi. Padahal di Akhirat SurgaNya seorang
laki-laki akan secara langsung diciptakan Alloh SWT baginya istri-istri
(bidadari) yang dapat “menutupi” apa saja yang kurang, apa saja yang dibutuhkan
diri seorang laki-laki, walau ada istri duniawi yang bersamanya di Surga itu.
(Entah, apakah Aisyah RA sungguh akan mendapat perlakuan jauh lebih baik lebih
istimewa bila yang memperistrinya bukan Nabi SAW tapi orang lain, karena
bagaimanapun pasti akan bersuami juga. Banyak gadis-gadis masa lalu bahkan di
bawah umur 9 tahun yang sudah bersuami, tidak ada undang-undang yang melarang
(apa sesungguhnya yang telah terjadi terhadap mereka?). Sedang melalui Nabi SAW
hendak diperlihatkan oleh Alloh SWT bagaimana perlakuan terbaik bagi wanita
yang halal di sisi Alloh SWT).
Pandanglah betapa
jadi “sempit” pandangan dan lingkup seorang istri disebabkan tidak (kurang)
bijaknya seorang wanita saat di dunia ini. Bahwa semakin banyak istri-istri
saling “bekerja sama” disamping seorang suami maka tiap istri akan dikaruniai
Alloh SWT ilmu-ilmu dari istri-istrinya yang lain, ilmu memasak misalnya dalam
kemaha luasan rasa masakan padahal saat di dunia ini tidak pandai suka memasak,
hanya karena bersikap bijak bekerja sama secara bijak saat hidup di dunia ini
dengan istri-istri yang pandai memasak dalam “melayani” kebutuhan suami. Alloh
SWT mengaruniai seorang wanita ilmu yang dengan ilmu itu akan memiliki wilayah
serta pandangan yang sangat luas dalam kebersamaan di Surga dengan suami yang
hakekatnya adalah “satu diri” berapapun istri-istri (bidadari) yang dikaruniai
Alloh SWT kepada seorang laki-laki. Pahala berlipat-lipat ketika sebuah
kebaikan ditanam saat di dunia ini. Maka silahkan uji materi dengan Asma ul
Husna perkataan hambaNya tentang hal ini, serta semua yang menjadi keraguan,
karena segala kebenaran itu berasal dari sisi Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna.
Dan sesungguhnya
tidaklah mahluk itu memandang Tuhannya melainkan yang terpandang nanti hanyalah
Asma ul Husna belaka dalam kenyataan sesungguhnya, sehingga baik berdialog
antar sesama mahluk dan juga berdialog dengan Alloh SWT akan langsung
mengetahui bahwa itu dari Alloh SWT dari petunjukNya, yang semua tidak lain
dari dan bagi NamaNamaNya Sendiri, NamaNamaNya Terbaik belaka (Asma ul Husna).
Manusia tidak menemui Tuhannya melainkan “kehadiran” wajahNya dalam wujud Asma
ul Husna, yang akan dipahami dan dimengerti hati sanubari yang telah menjadi
Non Lokalitas. Akan tetapi tidak sekali-sekali ada penjelmaan Alloh SWT menjadi
mahluk atau berupa apapun walau itu seorang Nabi yang Agung, karena niscaya
dirinya itu kecil dibanding bumi dimana dirinya hanyalah “tabir” bagi Kehendak
Alloh SWT, itulah hakekat wakil Alloh kalifahNya, apa yang datang darinya
adalah berasal dari Alloh SWT. Bukan dirinya yang berkata-kata dan berbuat
melainkan dari Alloh SWT, dirinya hanyalah “tabir” bagi Alloh SWT. Dan keadaan
di Surga kelak, di sisi Alloh SWT semua yang terpandang hanyalah “tabir” bagi
Alloh SWT, kemanapun kita memandang disitulah “wajah” Alloh SWT.
Sesungguhnya banyak
orang salah paham tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi pada Akhir Zaman
karena memandang keduanya harus dengan ilmu Alloh SWT yaitu dengan “Nilai-Nilai
Surgawi” yang terbangun sedemikian rupa. Demikian pula segala umat
(Agama-Agama) untuk dapat “bertemu” dengan junjungannya masing-masing, dimana
semua ini telah tersyirat dalam peristiwa Isra Mikraj, dan karena “sosok-sosok”
mereka Beliau-Beliau tidak seperti kita lagi. Seperti hal pada masa lalu para
Waliullah Tanah Jawa ini dapat menemui Nabi Khidir AS yang semua adalah dengan
ilmu Alloh SWT. Jadi untuk itu pahamilah dahulu “Nilai-Nilai Surgawi”, bahwa
Surga itu sesungguhnya “kekal”, sehingga apakah pada masa lalu, kini dan nanti
Surga itu tetap “Exis” tetap “Ada”, tidak terpandang kecuali juga dengan
Nilai-Nilai Surgawi. Maka sesungguhnya orang-orang yang berjihad membangun
Nilai-Nilai Surgawi yang kekal itu, mereka tidak mati melainkan hidup, sehingga
mereka dapat terpandang yaitu melalui Nilai-Nilai Surgawi. Apakah dunia yang kita pandang ini ada atau tidak
ada maka Nilai-Nilai Surgawi itu tetap ada, Surga itu tidak pernah beranjak
bergerak dari kedudukannya, tidak ada perubahan sama sekali dalam hukum Alloh
SWT.
Seluruh para Nabi
dan RasulNya itu tugasnya adalah membangun Nilai-Nilai Surgawi yaitu dengan
Kitab Suci yang diturunkan Alloh SWT. Akan tetapi pada kenyataannya seluruh
Kitab Suci itu tidak dapat menjadi sesuatu yang “padu” menyatu. Dan siapapun
termasuk hambaNya ini tidak akan mungkin dapat menyatukan semua Kitab SuciNya
itu, demikian pula para Pewaris Nabi juga para Waliulloh, hingga pada Akhir
Zaman atas Kehendak Alloh SWT Sendirilah akan terjadi “Dialog” antar seluruh
Nabi-NabiNya itu, barulah akan dapat “menyatu” segalanya yaitu di sisi Alloh
SWT, terpandang Surga yang dijanjikan secara sempurna lengkap dimana seluruh
Kitab SuciNya (kembali) menyatu semua merupakan kalimat-kalimat Surgawi semua
kembali ke asalnya dari Surga. Artinya seluruh mahluk dengan Kitab SuciNya
sebenarnya hendak ditarik ke Surga, akan tetapi setiap diturunkan Nabi dan
RasulNya mendapat perlawanan luar biasa dan sebagian berhasil dibunuh. Karena
itu harus ada “kesadaran” manusia untuk tidak menentang para Nabi dan RasulNya
yang nyata-nyata hukum yang hendak ditegakkan hanyalah bagi “kebaikan” manusia
juga. Jadi terhadap orang-orang yang menegakkan AgamaNya yang jelas-jelas
“bersesuaian” dengan para Nabi dan RasulNya selayaknya juga tidak ditentang
tetapi justru dibantu. Karena yang mereka tegakkan juga Nilai-Nilai Surgawi,
membantu mereka berarti juga menjadikan diri sendiri menuju Surga, menjadi
kalifah. Karena sesungguhnya menjadi kalifah di sisi Alloh SWT itu pastilah
juga akan membawa manusia lainnya untuk menjadi kalifah di sisi Alloh SWT pula,
hal yang akan bertolak belakang bila seorang Firaun juga hendak menjadikan
manusia lainnya menjadi “raja” seperti dirinya, itulah Dunia.
Kalau saja manusia
tahu Surga di sisiNya Tanpa Batas dan kekal sebagaimana makna Asma ul Husna itu
Sendiri adalah cara sesungguhnya bagaimana dapat melanglang Buana ke segala
penjuru Alam Semesta Bintang Gemintang yang hakekatnya semua tercipta dari
kalimat-kalimatNya belaka, semua berasal beranjak dari NamaNamaNya Sendiri,
NamaNamaNya Terbaik (Asma ul Husna) belaka pastilah akan berlomba-lomba berbuat
“kebaikan”. Apakah manusia masih demikian peduli harta benda duniawi yang
sungguh tidak seberapa walau seluruh bumi ini ada dalam genggamannya? Bila saja
menyadari ternyata bumi hanya sebesar debu di Alam Semesta atau bagaikan
sebutir pasir ditengah padang pasir yang sangat luas. Dimana dengan
kalimat-kalimat Alloh SWT seru sekalian alam bintang gemintang rahmatan lil
alamin adalah dalam genggaman dalam jangkauan seluruh para Nabi dan RasulNya,
maka masing-masing diri dari bangsa jin dan manusia akan tunduk dan patuh pada
AgamaNya.
Seharusnya manusia
dapat menyadari memahami mengetahui mengerti bahwa ternyata dengan atau didalam
“Nilai-Nilai Surgawi” semua mahluk manusia baik yang telah mati maupun masih
hidup semua dapat “terpandang” sekaligus (global), semua jadi “kelihatan”.
Bagaimana semua mahluk akan ditarik
diperjalankan menuju Tuhannya sehingga Nilai-Nilai Surgawi itu berisi
pengetahuan tentang “segala” dan segala pengetahuan “ada” secara hakekat
didalamnya. Bahwa kekal yang Tanpa Batas (Non Lokalitas) adalah melingkupi
meliputi jeda-jeda waktu terbatas seluruhnya yaitu waktu-waktu duniawi yang
sangat Lokalitas ini. Karena itu berapapun umur mahluk di dunia ini akan dapat
“terpandang” kembali sedemikian rupa tanpa sedikitpun yang tersembunyi atau
yang dapat disembunyikan. Demikian itulah bila dengan pandangan-pandangan yang
Non Lokalitas, dengan pandangan-pandangan Alloh SWT yang beranjak dari Asma ul
Husna, sehingga akan sangat berbeda bila dengan pandangan-pandangan yang sangat
Lokalitas banyak yang tersembunyi dari jangkauan, banyak yang bisa
disembunyikan, banyak kebohongan-kebohongan yang bisa disembunyikan dan karena yang dibohongi juga
pandangannya sangat Lokalitas, itulah Realitas Duniawi. Karena itu kehidupan
sementara dunia ini tujuan sebenarnya adalah membentuk diri agar memiliki
prilaku Non Lokalitas, berahlak Alloh SWT, memiliki kekuatan-kekuatan Tanpa
Batas dengan sebutan “kalifah” yang dibentuk dari tanah bumi. Bahwa Alloh SWT
sebenarnya baru “hendak” membentuk kalifah, karena itu pada Akhir Zaman itulah
baru akan terbentuk “kalifah”, jadi bukan kekalifahan di dunia ini.
Mungkinkah “prilaku
Non Lokalitas” dapat terbentuk sedemikian rupa pada mahluk-mahluk yang
prilakunya sangat Lokalitas yaitu saat di dunia ini? Bisa dan mungkin bila
“keimanan” adalah pada seluruh para Nabi dan RasulNya, menyeluruh tidak
terkotak-kotak walau itu di bintang gemintang (seluruh hamba-hambaNya yang lain
di segala gugusan-gugusan Bintang), semua yang Non Lokalitas dimanapun pastilah
akan sama-sama beranjak bersumber dari Asma ul Husna. Tidak ada manusia super
(termasuk Alien sekalipun) kecuali dengan Alloh SWT, walau selama ini telah
dikhayalkan sedemikian rupa. Karena itulah harap direnungkan sungguh-sungguh
bahwa ajaran hakekat pasti akan “dipertemukan” dengan ajaran-ajaran Alloh SWT
yang lain dari seluruh para Nabi dan RasulNya tanpa kecuali walau di bintang
gemintang yaitu saat “diperjalankan” semuanya menuju “sisi” Alloh SWT,
sebagaimana peristiwa Isra Mikraj. Karena bagaimana mungkin disebut hakekat
bila tak seorang Nabipun dipertemukan Alloh SWT saat perjalanan ke sisiNya
apalagi saling bersalam-salaman mengucapkan salam. Bagaimana seluruh ajaran
para NabiNya itu bergabung bertemu bagaikan bangunan “sebuah rumah”, walau itu
dari bumi-bumiNya yang lain di segala gugusan bintang gemintang. Dimana Kitab
Suci pada mereka itupun niscaya juga akan “semisal” dengan yang di Lauhil
Mahfuz, sebagaimana yang di bumi kita ini. Dan semua menuju “sisi” Alloh SWT,
SurgaNya yang luas sesungguhnya Tanpa Batas, sebagaimana makna dari Asma ul
Husna itu Sendiri.
Bahwa “Hisab” itu
adalah saat perjalanan menuju Alloh SWT, ke sisiNya, ke SurgaNya. Dimana segala
prilaku yang tidak menuruti AgamaNya yang senantiasa menentang
ajaran-ajaranNya, tidak bersesuaian dengan cahaya dari para Nabi dan RasulNya,
bahkan berhasil membunuh diantara para Nabi dan RasulNya, jelas tidak akan
dapat mencapai sisi Alloh SWT atau SurgaNya walau dengan “pengagungan” luar
biasa terhadap NabiNya. Jalan mereka adalah jalan pembunuhan para NabiNya, yang
lebih ditujukan kepada kerajaan (kekuasaan) Duniawi (yang adalah Surga bagi
mereka). Bila saja Tuhan itu tampak (terpandang) bagi mereka niscaya akan
dibunuh (seperti ucapan seorang komunis, mana Tuhan ta bedil, akan
ditembaknya). Demikian itu sisi lain dari pandangan nyata hegemoni kerajaan duniawi.
Seorang Firaun tidak ingin ada Tuhan lain atau yang disembah selain dirinya,
maka terbunuh seorang Nabi akan menunjukkan “kekuasaan dirinya” atas segala
sesuatu (didalam dirinya bersemayam perkataan “aku adalah Tuhan”). Dimana
hal-hal yang “semisal” dengan prilaku “keakuan Firaun” itu senantiasa berulang
dan berulang terjadi hingga Akhir Zaman. Hingga akan terbentuk “ritual” yang
cocok bagi mereka, sebuah kebanggaan Kharisma (walau sebenarnya semu)
pembunuhan dan pelecehan luar biasa atas NabiNya, sedang rakyatnya tidak tahu
hakekat yang sesungguhnya. Bahwa Agama termasuk Islampun tidak luput dari
pengaruh kekuatan-kekuatan (jahat) yang senantiasa berusaha menyimpangkan
manusia dari fitrah hakikinya.
Bahwa seharusnya
umat Islam dapat memandang lebih luas hakekat “perjalanan” ke Sidratul Muntaha,
karena sebenarnya Isra Mikraj juga menggambarkan secara sangat jelas “Hisab”
hingga sempurna mencapai sisi Alloh SWT. Bagaimana tubuh-tubuh itu ditarik ke
suatu Lingkup Tanpa Batas, ke Serba Maha, ke yang Non Lokalitas. Semua “tubuh”
merupakan “bentukan” yang terbentuk dibentuk utamanya dari “makanan yang
dimakan”, dimana kekuatan-kekuatan (iman) pada yang Segala Maha itulah
hendaknya yang menjadi ruh (dari ruhNya) atas tubuh-tubuh yang terbentuk
dibentuk itu. Akan tetapi tarikan-tarikan pada lingkup yang sangat “Lokalitas”
itulah dimana tubuh-tubuh terbentuk terlahir justru ke dalam pengaruh nyata
suatu ruang lingkup yang sangat Lokalitas yaitu Dunia ini, dan disebut “Dunia”
karena memang sifatnya yang “Serba Terbatas” (Lokalitas). Karena itu dapat
dimaklumi bahwa dengan Nilai-Nilai Duniawi yang Serba Terbatas itulah manusia
berusaha memahami ayat-ayat firman-firman kalimat-kalimat Alloh didalam Kitab
SuciNya, sehingga istilah-istilah Agama tentang Kiamat kebangkitan Padang
Maksyar Alam Barzah, Hisab menuju sisiNya dan SurgaNya danlainlain telah
dipahami dengan pengaruh Nilai-Nilai Duniawi yang sangat Lokalitas itu.
Kemudian tentang
diturunkanNya Al Mahdi dan Al Masih bukankah keduanya termasuk orang-orang yang
hidup pada masa lalu? Apakah keduanya dapat “hadir” di hadapan seluruh manusia
di dunia ini sesuai persepsi-persepsi yang ada selama ini ataukah akan dapat
terpandang nyata keduanya (turun dari sisi Alloh SWT) adalah dengan Nilai-Nilai
Surgawi yang terbangun sedemikian rupa? Karena bagi seorang hamba hanya dengan
pandangan-pandangan yang “Non Lokalitas” maka keduanya akan dapat “terpandang”.
Bahkan segala yang haq dan yang batil akan tampak jelas, dimana yang haq pasti
akan sampai ke sisi Alloh SWT dan akan “teruji” sempurna dengan Asma ul Husna.
Sedangkan yang Batil itu niscaya tidak akan berupa cahaya dari CahayaNya, tidak
akan naik tidak akan sampai ke sisi Alloh SWT, karena akan jadi api (Neraka)
yang bahan bakarnya manusia dan batu. Hisab itu hakikinya adalah dengan Asma ul
Husna dan karena pada hakekatnya memang menuju Asma ul Husna.
Pandanglah bagaimana
rakyat Negeri ini memiliki cita-cita Adil Makmur, apakah mereka yakin dapat
mencapai cita-cita itu tanpa “petunjuk” Alloh SWT? Pada awal Reformasi terlihat
betapa besar harapan bangsa ini untuk kepada cita-cita itu, kenyataannya Para
Tokoh Reformasi telah berusaha berjalan sendiri-sendiri yang masing-masing
yakin hanya dengan “caranya” cita-cita itu akan dapat terwujud. Hingga saat ini
rakyat belum memahami bahwa yang sedang dikejar lebih kepada “kekuasaan”,
dimana pada kenyataannya ada “kekuasaan” dengan kekuatan yang lebih sangat
besar di luar Negara ini yang Negeri inipun akan dan harus berada dalam wilayah
atau pengaruh kekuasaannya. Maka segala “kekuasaan” di muka bumi ini hanyalah
Lokalitas-Lokalitas Kekuasaan betapapun berusaha berserikat menyatukan diri
untuk menghimpun kekuatan yang lebih sangat besar. Sedangkan rakyatnya
masyarakat yang ada didalam Negara-Negara itu sebenarnya juga berkeinginan bercita-cita
“semisal” dengan cita-cita rakyat Negara ini, berhasilkah semua menggapai
cita-cita?
Pelajaran nyata bagi
rakyat Negeri ini dari apa yang terjadi pada Negeri-Negeri bahkan yang disebut
Negeri Maju tetap rentan untuk jatuh pada krisis. Maka hanya dengan “petunjuk”
Alloh SWT Pemilik Keadilan dan Kekayaan
yang sesungguhnya maka cita-cita Adil Makmur itu dapat tercapai. Karena itu
beri kesempatan “Satu Priode” untuk mengikuti “petunjuk” Alloh SWT kepada hambaNya
ini. Khususnya demi mengembalikan lebih dahulu ke semangat Reformasi Awal
Negeri ini, dimana Para Tokoh Reformasi masih bahu membahu bersatu padu, pada
rencana-rencana cemerlang membangun Negeri. Padahal yang dicari sebenarnya
“Hukum” yang Rahmatan lil Alamin, dimana Rahmat Alloh SWT itulah yang akan
tercurah dari langit dan bumi bagi Negeri ini. Cahaya RahmatNya itu sebenarnya
telah “ada” bersama figure Gus Dur, akan tetapi tidak atau kurang kuat sehingga
kembali tenggelam kepada kekuasaan-kekuasaan lama yang masih sangat kuat
sebelum Era Reformasi. Sebagaimana tenggelamnya fitrah Alloh pada diri manusia
oleh kenyataan-kenyataan Dunia yang sangat Lokalitas.
Bahwa
kekuasaan-kekuasaan lama bukan berarti tidak layak tampil justru sebaliknya
sangat layak sebagaimana seluruh Agama selain Islam layak tampil untuk kepada
“Kesatuan Agama Alloh SWT” dari seluruh para Nabi dan RasulNya yang bagaikan
membangun “sebuah rumah”. Sehingga Alloh SWT menjernihkan mensucikan seluruh
Agama itu untuk ditarik kesisiNya, yang akan menjadi sesuatu yang padu sebagai Nilai-Nilai
Surgawi semuanya seluruhnya. Karena itu janganlah berpikiran tentang Negara
Islam bahkan Negara Hindu, Negara Budha serta lainnya, cukuplah Indonesia yang
dalam bahasa Kitab Suci dikenal sebagai Sion, Zion. Maka kekuasaan-kekuasaan
lama yang sangat layak tampil justru dari “Awal” sejarah (masa lalu) Negeri ini
bila hendak tampil maka tampillah. Karena ada suatu tempat di Tanah Jawa ini
dimana sebuah “Kraton” layak berdiri (dibangun) yaitu di “Alas Ketonggo”. Maka
ketika terbangun “Nilai-Nilai Surgawi” bagi Kraton itu akan tampaklah
Kerajaan-Kerajaan masa lalu sejak Awal Sejarah Negeri ini, serta
Kerajaan-Kerajaan “semisal” di seluruh pelosok bumi dan Alam Semesta. Ingatlah
bahwa kekuatan-kekuatan Non Lokalitas sungguh (dapat) nyata dan bukan khayalan
atau sebagai sesuatu yang mistis, karena kerajaan-kerajaan masa lalu adalah
termasuk Realitas Duniawi yang akan dapat “terpandang” kembali. Pahamilah
hakekat Nilai-Nilai Surgawi walau saat ini mungkin memang masih sulit dipahami
dan dimengerti. Karena bumi sebenarnya menyimpan “data sejarah” yang sangat
lengkap, sebagaimana computer dapat menyimpan segala data kemudian dapat
“ditampilkan” kembali. Bahwa Realitas Duniawi adalah “penggalan-penggalan”
kejadian yang sangat Lokalitas, yang sebenarnya tidak pernah lenyap di sisi
Alloh SWT yang Serba Non Lokalitas Yang Awal dan Yang Akhir. Dimana segala semua kejadian itu hanya terletak
“diantara” NamaNamaNya Yang Awal dan Yang Akhir belaka. Karena itu dengan
pandangan-pandangan Alloh SWT akan dapat terpandang kembali segala sesuatunya
itu walau sebesar zarah, seumpama computer dapat menampilkan data-data yang
tersimpan sedemikian rupa.
Bagaimana Nabi
Muhammad SAW dapat memandang segala sesuatu saat perjalanan ke Area yang Maha
Non Lokalitas yang atas Kehendak Alloh SWT berdialog dengan para Nabi sejak
Nabi Adam AS. Maka dengan Nilai-Nilai Surgawi yang Non Lokalitas pula umat
Budha dan juga Khong Hu Cu akan dapat menemui junjungannya masing-masing,
demikian pula Agama-Agama lain. Bahkan Agama Nabi Adam AS yang masih demikian
sederhana (Primitif) akan terjadi dialog dengan Nabi Muhammad SAW yang
merupakan “penghulu” semua seluruh para Nabi dan RasulNya. Karena itu tuduhan
umat Islam bahwa Agama Budha serta Khong Hu Cu dianggap bukan Agama Alloh SWT
sungguh belum terbukti sehingga terjadi “Dialog” dengan Nabi Muhammad SAW.
Bahwa ucapan Nabi agar mencari ilmu Alloh SWT itu walau ke Negeri Cina
menunjukkan segala hal tidaklah sesederhana kelihatannya, bagaimana tiap umat
dari Nabi-NabiNya masing-masing merasa benar dengan menuduh luar Agama yang
dianutnya adalah sesat, kafir. (Padahal teguran Al Quran tidaklah atas seluruh
isi Kitab Suci akan tetapi hanya poin-poin saja dari sebab musebab terjadi
penyimpangan akidah, “agar” umat yang ditegur iyu meneliti kembali Kitab Suci
yang dipegangnya dengan sungguh-sungguh tentang masalah tersebut, dan agar
dapat lurus kembali sehingga cahaya yang didapat akan kembali “bersesuaian”
dengan cahaya NabiNya bagi Kitab Suci tersebut.)
Pandanglah bagaimana
umat Islam melakukan ibadah sholat akan tetapi ketika Realitas Isra Mikraj itu
“mengejawantah” yang ternyata diluar perkiraan tiba-tiba jadi sulit untuk
menerima. Apalagi ternyata umat-umat lain bahkan dari seluruh semua NabiNya
juga akan menjadi bagian dari AgamaNya didalam pengejawantahan Isra Mikraj itu.
Menjadi sangat jelas bahwa didalam Kitab-Kitab Suci tersebut ada Nilai-Nilai
Keadilan, Kebijaksanaan, Kemuliaan danseterusnya sehingga juga rahmatan lil
alamin dengan qadar masing-masing. Surgapun juga terpandang dalam Agama mereka bahkan
semua juga naik ke langit sebagaimana yang terjadi dengan Nabi Adam AS. Ditarik
ke sisi Alloh SWT seluruh manusia tanpa kecuali apapun Agama yang dianutnya.
Masing-masing Nabi yang diturunkan Alloh SWT pada Hari Kiamat akan membawa
“cahayaNya” yang sebenarnya untuk “menjemput” umat pengikut Nabi tersebut, maka
siapa yang “bersesuaian” dengan “cahaya Alloh SWT” pada diri Beliau-Beliau AS
itu pastilah akan sampai ke sisi Alloh SWT dan SurgaNya. Maka “memandang”
dengan Nilai-Nilai Surgawi yang Non Lokalitas yaitu dengan pandangan-pandangan
Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna akan terpandanglah “Segala Umat”, yang semua
diisra mikrajkan menuju Alloh SWT semuanya seluruhnya tanpa kecuali. Prilaku
yang hakekat pasti akan “teruji” dengan Asma ul Husna, prilaku yang menyimpang
tidak akan mendapat cahayaNya, yang mereka pandang hanyalah fatamorgana Surga,
dan jalan bagi mereka adalah jalan pembunuhan para Nabi dan RasulNya.
Pandanglah bagaimana tukang-tukang Sihir Firaun dalam adu ilmu dengan Nabi Musa
AS juga memiliki “Ritual” sehingga pada akhirnya mereka akan dapat membedakan
antara yang haq dan yang batil. Apakah akan menjadi tunduk dan patuh menjadi
pengikut Nabi Musa AS atau tetap sebaliknya. Hendaknya kejadian-kejadian masa
lalu merupakan “pelajaran” sejauh dapat diambil hikmahnya.
Seorang hamba
berjuang untuk “Reformasi” adalah dengan menunjuk Tokoh yang tidak terlalu
“kental” dengan Figur kekuasaan-kekuasaan lama sebelum Reformasi (yaitu Amin
Rais). Kecenderungan ini sama sekali bukan tidak menghormati Tokoh-Tokoh
lainnya, yang pada kenyataannya juga ingin “mereformasi” kearah yang lebih baik
lebih bijak dari apa yang telah ditinggalkan pendahulu-pendahulu pembangun juga
pendiri Negara kita ini. Bahwa “kebersamaan” (musyawarah dan mufakat) antar
seluruh Tokoh-Tokoh Reformasi serta para Mahasiswa yang dahulu terlibat
langsung seharusnya lebih ditonjolkan sehingga ide-ide cemerlang bagi
terwujudnya cita-cita Negeri ini tidak disia-siakan. Walau kecenderungan
kepemimpinan dalam keAgamaan memang lebih dipentingkan bagi hambaNya ini,
dengan anggapan akan lebih dekat kepada (rahmat) Alloh SWT. Arus Keduniawian
dengan moral yang sudah seperti sekarang ini selayaknya dilawan dengan Arus
KeAgamaan yang Rahmatan lil Alamin bijak atas seluruh semua Agama serta dapat
membawa diri-diri manusia kepada fitrah hakiki di sisi Alloh SWT, dengan
Lingkup Seru Sekalian Alam Bintang Gemintang yang tidak lagi hanya Sebumi.
Ketika langit
“terbuka” dan kekuatan-kekuatan Non Lokalitas hadir dalam kehidupan manusia
maka kelak “makanan-makanan Surgawi dengan kekuatan-kekuatan Non Lokalitas”
itulah tubuh-tubuh akan (kembali) dibentuk dan terbentuk dengan akibat-akibat
logis tiba-tiba juga memiliki pandangan-pandangan Non Lokalitas,
pandangan-pandangan yang Tanpa Batas. Sebagaimana “makanan berulat” (sangat
tidak sempurna) yang telah menjatuhkan Adam dan Hawa dari Surga karena secara
otomatis kekuatan-kekuatan tubuh tidak lagi Non Lokalitas tidak lagi bersifat
Surgawi (jatuh) kepada kekuatan-kekuatan yang sangat Lokalitas hingga
terbentuklah (sifat-sifat) Duniawi seperti yang ada sekarang ini. Sangat jelas
kedatangan para Nabi dan RasulNya adalah demi mengembalikan manusia ke Surga,
karena itu mengapa tidak dapat dipahami bila seorang hamba lebih mengedepankan
kepemimpinan KeAgamaan yang Rahmatan lil Alamin? Dan mengapa mesti mencari
jalan lain bila panggilan untuk kepada Alloh SWT itu telah Datang, dan mengapa
masih berusaha mengikuti Arus Duniawi bagi Negeri ini? Bukankah kita senantiasa
belajar dari pengalaman, dan senantiasa kecewa bila perkiraan untuk mencapai
cita-cita ternyata tidak juga terwujud, bahkan krisis moral yang justru
menjadi-jadi. Padahal juga tahu kalau terus mengikuti pola Keduniawian yang ada
saat ini untuk target sebagai Negara Maju saja sulit terwujud, apalagi dianggap
dapat membahayakan eksistensi Negara-Negara lain yang lebih dahulu
disebut-sebut sebagai Negara Maju yang akan bisa “terpuruk”, bila penguasaan
keekonomian atas Negara-Negara lain terlepas. Lantas bagaimana tiap Pemimpin
Negara ini dapat mewujudkan cita-cita Adil Makmur kecuali hanya sekedar janji?
Karena itu rakyat Negeri ini serta yang hendak menjadi Pemimpin bagi Negeri ini
harus menyadari dan yakin hanya dengan mengikuti “petunjukNya” maka cita-cita
Adil Makmur insyaAlloh akan terwujud.
Bahwa “Adil” itu sungguh
“Bahasa Surga” bahasa sisi Alloh SWT yang Maha Adil Maha Kaya didalam KeMaha
Luasan RahmatNya Tanpa Batas. Alam Semesta langit bumi bintang gemintang ini
ada dalam KekuasaanNya GenggamanNya, maka hanya dengan Alloh SWT cita-cita Adil
Makmur dapat terwujud. Bahkan azab Alloh SWT yang sungguh dahsyat juga akan
tampak bagi mereka yang tidak berlaku adil dan bijak, sehingga kelak sesuai
hadits (yang hingga kini masih dianggap nonsen), emas permata yang ditumpuk di
pinggir jalanpun tidak ada yang sudi mengambilnya, manusia akan berlomba-lomba
berbuat baik bahkan yang termiskin sekalipun berusaha beramal. Fitrah Surgawi
Fitrah Kekalifahan akan tampak, akan terbentuk sempurna dalam Kemaha luasan
pandangan yang tanpa batas. Dan sesungguhnya tidak hanya berlaku bagi rakyat
Negeri ini saja, rakyat Negara-Negara lain manusia seluruhnya pasti memiliki
cita-cita “semisal” karena semua sama-sama memiliki fitrah kekalifahan fitrah
Surgawi (potensi menuju Surga), fitrah Alloh SWT. Yang disebut-sebut sebagai
“Pemberontak” juga sesungguhnya memiliki cita-cita “semisal”, hanya saja
seorang hamba Alloh SWT adalah kepada Rahmatan lil Alamin seru sekalian alam
tidak hanya sebumi, sehingga “bersama” seorang hamba tidak akan ada lagi
istilah “Pemberontak” di Negara manapun di seluruh pelosok bumi ini yang semua
milik Alloh SWT belaka, demikian itulah bila Alloh SWT sebagai tempat
menghamba.
Selayaknya apa yang
disebut “Keekonomian” juga harus (bersifat) Rahmatan lil Alamin, yang semua
adalah dengan Alloh SWT, artinya harus dapat menjadi Rahmat bagi seluruh
manusia. Siapa bilang Nabi itu menghimpun kekayaan adalah bagi (hawa napsu)
diri sendiri? Sekaya-kaya hambaNya dari apa yang terjadi dalam keluarga Nabi
Daud AS misalnya hanya suatu Replika kecil kehidupan Surgawi yang hendak diperlihatkan
Alloh SWT kepada umat manusia. Suatu kekayaan dalam bentuk “mikro” dari secuil
kisah kehidupan Surgawi (didalamnya sungguh kental dengan “Nilai-Nilai Surgawi”
yang sedang dibangun), karena itu banyak yang salah paham dalam memaknainya.
Tidaklah seorang Nabi itu melainkan untuk menjadi Rahmat bagi seluruh manusia
dan Alam Semesta, maka semua prilaku adalah mengikuti petunjuk Alloh SWT.
Demikian pula prilaku yang sungguh-sungguh mau menjadi hambaNya, dimana seorang
hamba Alloh SWT pastilah akan berusaha untuk selalu berada dalam rahmat dan
petunjukNya. Prilaku Nabi Daud AS dalam “berpuasa” misalnya sangat jelas
menunjukkan semua prilaku sama sekali bukan karena “hawanapsu” apalagi
keserakahan serta hal-hal yang berlebihan. Maka prilaku (terhadap harta
danlainlain) yang “semisal” dengan Nabi Daud AS di pelosok lain bumi ini serta
Alam Semesta akan menunjukkan kepada manusia tentang hamba-hambaNya yang lain
walau seorang Budha.
Bahwa bentuk system
“Keekonomian” yang lurus dalam ridho Alloh SWT akan sungguh sangat berbeda
dengan Samiri dalam umat Nabi Musa AS yang terseret terjerumus hawanapsu
sehingga “kekayaan” justru menjadi “sesembahan” yang disembah. Dan yang
“semisal” prilaku Samiri dalam umat Nabi Musa AS ini menjadi sesuatu yang umum
pada Jaman sekarang ini yang lebih memilih “uang” dalam suatu system
Keekonomian yang menjurus kepada jalan “penyembahan” harta dan kekayaan, walau
cara yang terjadi sedemikian halus. Kecenderungan kepada menyembah harta dan
kekayaan ini juga akan terbukti manakala harus memilih antara panggilan
Keekonomian untuk Alloh SWT atau justru mempertahankan diri dengan Keekonomian
Duniawi yang ada hingga saat ini. Karena bila memilih Keekonomian untuk Alloh
SWT akan senantiasa “berbagi” dengan manusia lain bahkan seluruh manusia. Maka
kalau saja orang tahu hakekat “Perusahaan” yang sungguh-sungguh dibangun untuk
(keridhoan) Alloh SWT, sebuah perencanaan yang menuju “Nilai-Nilai Surgawi”,
dimana pada Akhirnya “seluruh Agama” akan terlibat, karena sesungguhnya
Agama-Agama sejak Nabi Adam AS akan terbukti memiliki sistim “semisal” dalam
membangun Keekonomian Umat yang Rahmatan lil Alamin. Suatu system Keekonomian hakiki itu pada Akhir Jaman
akhirnya tidak lagi memakai nilai-nilai berupa “Uang” (mata uang) yang kelak
akan “lenyap” sebagaimana “system” yang ada di dalam Surga kelak, yang pasti
tidak akan ada lagi yang disebut “lembaran-lembaran mata uang”. Di Surga yang
ada hanya “Keekonomian Alloh SWT” dimana tiap manusia akan langsung menerima
balasan apapun yang dilakukannya. Istilah “Alloh SWT Maha Cepat HisabNya” yang
lebih dikenal sebagai kun, faya kun, demikian itulah kenyataan-kenyataan dalam
Surga dalam Lingkungan Hidup yang “Serba Non Lokalitas” merupakan hal yang
wajar terjadi. Maka Perusahaan ini didalamnya sungguh mengandung konsep “Jihad”
untuk Alloh SWT, sehingga semakin banyak perusahaan-perusahaan “semisal”
didirikan di seluruh pelosok bumi dan khususnya di Indonesia maka akan semakin
cepat terwujud Sistem Keekonomian yang Rahmatan lil Alamin, sampai-sampai tidak
ada seorangpun yang tidak mendapat RahmatNya.
Maka tiap diri
berniatlah bergeraklah untuk menjadi hamba Alloh SWT sebagaimana diri ini juga
demikian. Akan tetapi semua dapat berhasil menurut bakat ketrampilannya
masing-masing. Jadi wajah perusahaan memang tidak harus “diperkayuan” melainkan
di segala aspek kehidupan yang digulirkan tidak untuk diri sendiri melainkan
hanya untuk Alloh SWT sehingga yang didapat adalah “cahaya” yang dengan
cahayaNya itu akan naik ke langit menuju SurgaNya itulah “pahala” yang hakekat.
Bahwa diri ini hanya seorang hamba yang tidak akan menjadi Pemimpin pada suatu
Negeripun, sudah merupakan taqdir untuk tidak menjadi Pemimpin untuk suatu
jabatan apalagi raja. Akan tetapi pada orang-orang yang memiliki bakat perbawa
menjadi Pemimpin untuk Negeri ini akan berusaha menjadikannya Pemimpin, agar
semua menjadi baik, demikian pula pada yang berbakat jadi “raja”, semua sesuai
wawasan bakat keahlian menurut fitrah yang dikaruniakan Alloh SWT atas orang
tersebut. Maka janganlah beranggapan bukan-bukan yang tidak sesuai dengan
kenyataan pada diri ini, cukuplah sebagai hamba Alloh SWT.
“Kayu Untuk
Kesejahteraan Rakyat” yang akan digulirkan pada pemerintahan mendatang hanyalah
cobaan dari Alloh SWT atas rakyat Negeri ini, untuk sungguh-sungguh sebagai
hamba Alloh SWT. Secara “Rohani” aka nada hubungan nyata antara “Langit dan
Bumi” di bidang (melalui) tanam-tanaman. Artinya Alloh SWT akan segera “membuka
pintu langit” atas Dunia ini yaitu dengan melalui “tanaman”, yang pada masa
lalu Adam dan Hawa telah diturunkan Alloh SWT juga dengan (karena) melalui
tanaman. Jadi berhati-hatilah dalam memperlakukan tanaman. Bahwa seharusnya
BUMN-BUMN yang hakekat sesungguhnya adalah “kekayaan rakyat” dan yang
sebenarnya untuk “Kesejahteraan Rakyat” ternyata banyak rakyat yang justru
merasakan sebaliknya. Subsidi Negara untuk “Kesejahteraan Rakyat” justru rakyat
seakan tidak mendapatkan atau merasakan subsidi itu, karena barang yang sampai
kepada rakyat menjadi demikian tinggi. Mengapa rakyat tidak bisa membeli langsung
ke Agen-Agen PT Pertamina hal gas 3 kg misalnya, karena selayaknya apakah itu
eceran (rakyat biasanya eceran) atau grosir semua harus dapat “diterima Agen”,
agar rakyat tahu dan dapat merasakan langsung harga “subsidi” yang sebenarnya,
dan ini baru gas 3kg, belum subsidi pupuk, listrik pada PLN yang pasti ada CV
sebagai penyangga dengan harga yang jadi melejit sangat tinggi ketika sampai ke
rakyat. Jelas banyak prilaku-prilaku yang tidak “amanah” oleh BUMN-BUMN padahal
pada dasarnya semua didirikan untuk Kesejahteraan Rakyat.
Dengan semangat
Reformasi semoga “kejujuran” masyarakat Negeri inipun menjadi lebih kuat bila
semua sungguh transparan dalam Keekonomian yang Rahmatan lil Alamin. Biarlah
Alloh SWT yang langsung menjadi saksi atas “kejujuran” itu, sehingga layak
tidaknya seseorang “menerima subsidi” ada dalam penilaian dirinya
masing-masing. Karena secara “Rohani” bersama hambaNya ini Alloh SWT sungguh
akan menurunkan “cahayaNya” Cahaya Diatas Cahaya yaitu sejalan dengan dibentuk
terbentuk terwujud Nilai-Nilai Surgawi pada (seluruh) bumi ini. Sehingga
kebaikan kebenaran dari prilaku-prilaku siapapun “cahayaNyalah” yang akan
didapat, yang akan membentuk dirinya kepada pandangan-pandangan yang Non
Lokalitas, Cahaya Alloh SWT yang pasti akan bersemayam dihatinya. Dan bila saja
manusia tahu semua ini sungguh menuju kepada KeMaha Luasan “sisi”Nya, SurgaNya
yang Tanpa Batas, yang Serba Non Lokalitas, yang jelas sangat jauh bila
dibandingkan kenikmatan-kenikmatan sementara Dunia ini, hanya secuil kenikmatan
bumi yang sekecil ini, pastilah akan lebih memilih ke Nilai-Nilai Surgawi yang
sedang dibangun terbangun sedemikian rupa. Maka kebaikan dan kejujuran akan
dijalaninya dengan kesabaran, sehingga tidak ada lagi kebanggaan demikian
berlebihan atas harta benda duniawi yang pasti akan ditinggalkannya, bahkan
dalam jangka waktu yang tidak lama. Bahwa keberhasilan seorang hamba akan dapat
berarti keberhasilan seluruh manusia sejauh benar-benar pada jalan lurus yang
diridhoiNya. Semoga Alloh SWT senantiasa memberi karunia kepada kita rahmat dan
petunjuk yang hakekat, membukakan pintu hati kita untuk dapat menerima
“CahayaNya” itu. Wassalam, wallahu a’lam bishowwab.
Winarno, mas nano
ponakan Bu Retti, Paron Ngawi.Adalah satu-satunya saksi dari pihak Bu Retti
tentang “amanah” untuk anak-anaknya kepada keluarga di Janggan serta Sine maka
bila tidak diluruskan pastilah kalian akan jadi “Ahli Neraka” kasihan kalau
kalian orang baik-baik.