Tuesday, September 24, 2013

UJILAH DENGAN ASMA UL HUSNA



Sekian kali seorang hamba mengatakan “ujilah dengan Asma ul Husna”, maka itu berlaku atas segala Agama walau di bintang gemintang dengan “Nama bahasa serta budaya” bahkan belum terbayangkan dalam benak kita, tetapi yang pasti Alloh SWT  pula Tuhan  mereka. Bahwa seluruh Agama di bumi ini hanyalah “pelajaran” betapa “perbedaan” itu sedemikian rupa, karena antar mahluk (baik manusia atau jin) ada “perbedaan” walau dianggap “kembar identik” sekalipun. Sesisir pisang atau bahkan “antar butiran-butiran” pasir di padang pasir yang luas apakah manusia mengira sungguh “sama” dan tidak ada “perbedaan”? Maka  yang “ada” hanyalah yang “semisal “ permisalan, dimana semua terwujud dalam “keserentakan gerak” (satu kalimat untuk seluruh) sedemikian rupa sehingga terjadilah hal-hal yang “semisal” tersebut diatas.
Bahwa seluruh kalimat-kalimat Alloh SWT itu pastilah (akan dapat) kembali kepada Alloh SWT, senantiasa mencari jalan menuju Tuhannya, tidak akan musnah lenyap kecuali yang bathil bathal karena memang bukan kalimat-kalimat Alloh SWT, sehingga akan “gugurlah” dia sebagai kalimat yang bersumber dari Asma ul Husna yang Non Lokalitas. Sebagaimana kita ketahui seluruh ayat-ayat Suci dalam Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya (khususnya Al Quran) akan senantiasa “naik” secara pasti ke sisi Alloh SWT, sehingga sungguh-sungguh bersifat “Non Lokalitas” sebagaimana Nama-NamaNya Terbaik, Asma Ul Husna termaksud. Hanya saja  kebanyakan manusia menyikapi segala sesuatu secara sangat “Lokalitas” yang akibatnya jadi picik sempit makna ayat-ayatNyapun “terperas” sedemikian rupa, hanya menuruti apa “maunya”, dimana peran “hawanapsu” menjadi “dominan” walau  tanpa disadarinya.
Bahwa seluruh “kebenaran” pada seluruh Agama (sebelum Muhammad) di pelosok bumi ini pada dasarnya “kalimat-kalimat” ( Alloh) yang “belum” sempurna belum selesai maka Al Quranlah “penyempurna” segala sesuatunya, hal demikian sangat jelas “tersyirat” dalam peristiwa Isra Mikraj. Bahwa semuanya memang harus “disempurnakan” hingga segalanya semuanya “naik” ke sisi Alloh SWT yang akan teruji yaitu dengan Asma Ul Husna, Sumber dari segala Sumber kebenaran  paling hakiki, sehingga jadilah “Nilai-Nilai Surgawi yang kekal Serba Non Lokalitas. Dimana Nilai-Nilai Surgawi di “satu” bumi kita ini cenderung “diperas” sedemikian picik sempit seakan  kehidupan itu hanya di bumi kita ini saja, padahal bumi kita hanyalah terbentuk dari “setitik” kalimat firmanNya dari antara segala penjuru bintang gemintang yang juga terbentuk dari kalimat-kalimat firman-firmanNya, seluas SurgaNya yang Non Lokalitas Tanpa Batas, sebagaimana makna Asma Ul Husna itu Sendiri. Bahwa firman-firmanNya adalah “hidup” sehingga di bumi kita ini terbentuk “kehidupan” sebagaimana yang kita ketahui tentang Asma Ul Husna itu Sendiri. Maka terbentuk  “kehidupan” seperti di bumi kita ini adalah sebuah “Realitas” yang pasti terbukti, yang sekaligus membuka mata hati manusia tentang Area Wilayah “kekalifahan” manusia sesungguhnya di alam semesta Tanpa Batas, Rahmatan lil alamin.
Pandanglah  di bumi yang “sekecil” ini, bagaimana umat Muhammad tidak dapat membayangkan dan menerima adanya “Muhammad-Muhammad” lain “semisal” di segala “bumi-bumiNya” di Area Maha Luas, Non Lokalitas bintang-gemintang. Padahal Nabi Muhammad SAW itu sendiri melakukan “permisalan” dengan Ali bin Abi Thalib adalah semisal Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS (bahkan juga terhadap para sahabat, artinya Nabi Muhammad SAW sendiri tidak segan-segan melakukan “permisalan”). Menyikapi sesuatu itu dengan sifat yang sangat Lokalitas senantiasa melepaskan tidak menghiraukan yang lain kecuali dirinya. Terhadap bumi maka hanya di bumi inilah “adanya” Muhammad itu tidak di bumi-bumiNya yang lain. Padahal “permisalan” adalah sesuatu yang umum terjadi, seperti hal bacaan “Sholawat dalam sholat” bahwa rahmat dan barokah yang dikaruniakan Alloh SWT sungguh sama “semisal” sebagaimana rahmat dan barokah yang Alloh SWT karuniakan kepada Nabi Ibrahim AS ( doa sholawat ini juga menunjukkan bahwa sesungguhnya “banyak” yang “semisal” dengan diri Nabi Ibrahim AS ataupun diri Nabi Muhammad SAW).
Suatu “garis Risalah” paling hakiki dimana “hanya” peran Alloh SWT beserta malaikat-malaikatNya saja didalam “garis sholawat” itu dan bahkan bila manusia itu “bersholawat” maka bukan lagi dari dirinya sendiri, itulah sholawat yang benar. Sebagai bacaan dalam sholat yang ditujukan langsung untuk Alloh SWT niscaya akan sampai ke sisi Alloh SWT bila bacaan  itu bukan dari diri sendiri lagi (dimana sifat yang sangat Lokalitas masih demikian berperan) melainkan dengan Kehendak Alloh SWT belaka (dalam hal ini akan sampailah ke sisi Alloh SWT yang pasti teruji dengan Asma ul Husna). Lebih jauh bacaan “sholawat dalam sholat“ sesungguhnya bukan sekedar bacaan  bukan sekedar doa melainkan “sebuah  ramalan yang pasti terwujud pasti terjadi” atas keturunan Rasulullah SAW, sebagaimana doa Nabi Ibrahim AS untuk keturunannya, sehingga walaupun dalam kenyataan Duniawi (karena tidak mengerti tidak paham) justru menjauh dari Pewaris (Ke)Nabi(an) sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim AS, sholawatnya itu tetap diterima, sampai kepada Alloh SWT, karena membaca bukan dari pandangan dirinya sendiri lagi melainkan dengan Alloh SWT.
Selayaknya umat Islam jangan menganggap sama antara Nabi Muhammad SAW berdoa dengan “umat Muhammad” yang berdoa, padahal umat berdoa banyak yang justru mengikuti cara Nabi berdoa, menganggap bila mengikuti ajaran Nabi doanya menjadi (lebih) hakekat. Jadi jelas doa Nabi itu sungguh hakekat dan bukan tanpa ilmu dalam berdoa, memiliki tujuan yang pasti, juga lebih menunjukkan “Kehendak Alloh SWT Sendiri”. Artinya Nabi itu berdoa bukan atas diri sendiri lagi melainkan Alloh SWT. Oleh sebab itu doa Nabi itu bersumber langsung dari Asma ul Husna yang akan teruji  hakekat bila diuji, didalamnya (doa itu) mengandung unsur Keadilan Kebijaksanaan Kemuliaan KeAgungan sesuai seluruh Nama-NamaNya Terbaik seluruhnya semuanya, dari dan bagi DiriNya Sendiri, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri. Dengan Ahlak Alloh SWT itulah Nabi berdoa, yang akan teruji Suci lepas dari segala sifat-sifat yang Lokalitas, hawanapsu kedirian telah dimusnahkan telah dilenyapkan disingkirkan sehingga sifat yang tinggal hanya yang Non Lokalitas belaka sesuai menurut Asma ul Husna tersebut. Ketika “kedirian” lenyap justru untuk seluruh (diri-diri) mahlukNya seluruh semuanya, ke seru sekalian alam, rahmatan lil alamin, menjadi rahmat atas manusia seluruhnya. Dan karena Doa Nabi adalah “pengejawantahan” Al Quran yang di Lauhil Mahfuz, walau semua itu akan berjalan menuruti Sunnatullah taqdir demi taqdir yang memang mesti terjadi dan harus dijalani hingga tibalah Kiamat Kubro.
Ada kekhususan yang sangat istimewa pada doa-doa Nabi, akan tetapi bukan berarti harus terjadi “pengAgungan” sedemikian rupa hingga melampaui batas dalam berAgama, yang cenderung dipahami sebagai sifat “Otoriter”, padahal itu terjadi justru akibat prilaku dari (sebagian) umat Islam sendiri. Semua itu juga akibat yang tidak lebih dari pandangan-pandangan yang masih bersifat Lokalitas dan tidak sempurna atau tanpa ilmu yang memadai sedangkan Nabi itu memandang melihat langsung dari Sumber segala sumber yaitu apa yang ada “di sisi Alloh SWT”. Pandanglah bagaimana umat Islam terhadap Agama lain yaitu Agama sebelum Nabi Muhammad SAW maka yang diinginkan seakan semua harus “membuang” seluruh Kitab Suci yang dipegangnya, karena tidak ada yang benar kecuali Al Quran. Padahal sekali-sekali itu bukan cara Nabi Muhammad SAW dalam “mengejawantahkan” Al Quran terhadap Kitab-KitabNya yang lain. Sehingga Nabipun diberi petunjuk bahwa pada Akhir Jaman Alloh SWT akan memberi penjelasan tentang apa yang “diperselisihkan” umat manusia selama ini. Akan tetapi betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas ternyata sudah berurat berakar telah terbangun sedemikian rupa, sehingga antara saudara sendiri menjadi seperti “alergi” bila berbeda Agama bahkan golongan. Kenyataannya semua memiliki kesulitan dalam menerangkan atau memberi penjelasan yang memadai karena ternyata dilakukan juga dengan sifat yang masih sangat Lokalitas, sehingga pembuktian kebenaran yang diinginkan tidak mencapai target sasaran. Karena itu apa tidak masuk akal bila seorang hamba harus mengatakan “ujilah dengan Asma ul Husna”, sehingga segala semua seluruh hal dari yang bersifat Lokalitas niscaya akan dapat terjernihkan secara sangat adil, karena semua jawaban yang diinginkan sedemikian rupa akan dapat terpenuhi oleh yang bersifat Non Lokalitas, Tanpa Batas.
Maka tidak seharusnya disebut “Otoriter” bila segala sesuatunya  telah “diperlakukan” secara sangat adil serta hakekat. Karena dengan Asma ul Husna justru tiap sesuatu akan “mendapatkan” hak-haknya secara sempurna sekaligus semuanya tanpa kecuali, yang sekali –sekali tidak menzalimi siapapun, melainkan sangat banyak mahluk (manusia dan jin) menzalimi dirinya sendiri sehingga menyesali dirinya sendiri dari akibat perbuatannya sendiri. Mata hatinya sebenarnya mengetahui apa yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang tidak layak tidak baik tidak pantas tidak benar akan tetapi telah demikian terpedaya karena apa yang ditawarkan yang dijanjikan sungguh sangat luar biasa padahal itulah fatamorgana Surga paling nyata, sebuah “kepalsuan” yang sangat sempurna sungguh mirip aslinya. Demikianlah kelak kalimat-kalimat apakah itu asli dari sisi Alloh SWT atau palsu akan menjadi  sangat nyata terpandang yaitu bila “diuji dengan Asma ul Husna”. Sebagaimana layaknya bila yang hak itu datang  akan dapat mengalahkan memusnahkan melenyapkan yang bathil (lebih jauh kelak manakah Al Masih asli dan mana Al Masih palsu atau antara kalimat-kalimat Alloh SWT yang asli dengan kalimat-kalimat yang sungguh bukan dari Alloh SWT akan dapat terjawab sempurna. Juga baik itu hadits asli sahih dan palsu, serta apa yang telah terjadi dengan seluruh Kitab-Kitab yang telah diturunkanNya seluruhnya semuanya yang pasti semua akan ada jawabannya, jadi dengan Asma Ul Husna kelak semua akan dapat terjernihkan). Akan tetapi semua dapat terjadi bila dengan ilmu yang sempurna, ilmu yang sungguh memadai, dan itu tidak lain adalah dengan “petunjukNya”, dari apa yang diberikanNya secara khusus kepada Para Pewaris Nabi (terutama Garis Risalah yang tersyirat dan tersurat dalam bacaan “Sholawat dalam Sholat”). Sebagaimana Alloh SWT beserta para malaikatnya senantiasa bersama Nabi maka demikian pula pada Para Pewaris Nabi “yang sungguh-sungguh hakekat”, yaitu sebagaimana yang telah terjadi pada Nabi Ibrahim AS dan keturunannya, sehingga sungguh menurunkan Para Nabi dan RasulNya secara hakekat bagi Bani Israil.
Jadi juga akan demikian  sangat mengherankan bila garis rahmat dan barokah pada Risalah Nabi Muhammad SAW  itu tidak “semisal” sebagaimana pada Risalah Nabi Ibrahim AS, sehingga dua Risalah ini masing-masing diakhiri dengan kisah “pengangkatan” yaitu Isa Al Masih dan Imam KeDuabelas, yang pada Akhir Jaman justru akan menerangkan secara sangat jelas “kenyataan” tentang turunnya Al Masih dan Al Mahdi. Bahwa semua hal yang “benar” pasti akan ada “rujukannya” dalam Al Quran, menjadi keterangan yang sangat jelas dan sangat akurat. Juga sangat mengherankan Sholawat yang kenyataannya dibaca oleh seluruh umat Islam dalam “Sholatnya” menganggap hamba-hamba yang diturunkanNya dalam Garis Sholawat itu sebagai “Imam Syiah” belaka, betapa sifat-sifat yang sangat Lokalitas itu demikian berperan. Adanya “pengAgungan” atas para kalifah yang jelas-jelas tidak dalam “Garis Sholawat” kecuali Ali bin Abi Thalib membuat “terpisah” umat Islam itu sendiri dengan Garis Sholawat yang Alloh dan para malaikatNya “bersholawat”, (nyaris berduyun-duyun meninggalkan jalan Tuhannya). Bila saja Ali bin Abi Thalib tidak diikut sertakan pastilah menjadi “sempurna” keterpisahan itu, tapi cukuplah Ali bin Abi Thalib maka akan dapat “mewakili” seluruh para Imam yang Duabelas, sehingga akan dapat “menyelamatkan” umat Nabi Muhammad SAW yang ada didalamnya. Bahwa siapapun diantara Para Imam yang Duabelas yang diikuti satu ataupun seluruh, masih akan tetap terkait dengan “Garis Sholawat” dalam sholatnya. Kenyataan ini adalah sebagaimana umat pada masing-masing Nabi itu pasti juga akan dibawa menuju Alloh SWT, siapapun Nabi yang diikutinya atau siapapun Imam Duabelas yang diikutinya, dan walaupun itu tanpa disadarinya sama sekali.
Bahwa rahmat dan barokah yang Alloh dan para malaikatNya “bersholawat” memang dari “keturunan darah daging Nabi Muhammad SAW yaitu dari Fatimah putri Nabi, karena itulah semua “petunjuk” Risalah yang “Terkumpul” disebut “Mushaf Fatimah”. Sekali lagi apa itu “barokah”? Sepotong roti atau gulai kambing yang “barokah” akan dapat dimakan orang sekampung, bahkan berlebih  yang juga bisa dimakan, sama dan sebangun dengan “roti awal” atau “gulai awal”. Maka “barokah” atas “darah daging” Nabi, yang sedemikian rupa diSucikan Alloh SWT lahir bathin sehingga pandangannya pendengarannya dan mata hatinya adalah dari Alloh SWT, demikian itulah jalan hakiki bagi Alloh SWT beserta para malaikatNya hingga “fitrah Alloh itupun terangkat”, hal yang sungguh terjadi juga pada diri Nabi Ibrahim AS. Bila saja sungguh memahami apa itu “barokah”, maka rahmat dan barokah dalam bacaan “Sholawat ketika Sholat”, niscaya memang itulah makna sesungguhnya. maka demikianlah Nabi Muhammad SAW telah menurunkan Para Imam sehingga bila saja masih ada Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad SAW tentu Para Imam yang Duabelaslah. Akan tetapi tidak diturunkanNya lagi Nabi ataupun Rasul, karena itu bila ada yang mengaku sebagai Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad SAW maka klaimnya itu bathil bathal tertolak di sisi Alloh SWT. Karena bila ada yang paling berhak sebagai Rasulullah pastilah cucui-cucu Nabi, Imam Hasan dan Imam Husein yang pasti terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup, sedang tingkatan Nabi itu adalah Ali bin Abi Thalib yang karena sungguh semisal Nabi Harun AS dan itu sungguh-sungguh benar-benar haq di sisi Alloh SWT, maka sungguh tidak ada lagi Nabi ataupun Rasul setelah Nabi Muhammad SAW.
Sedang turunnya Al Masih dan Al Mahdi pada Akhir Jaman  tidaklah sebagaimana “sosok” seperti pada masa dahulu kala ketika keduanya masih hidup didunia masa lalu itu. Keduanya akan datang membawa “cahaya Alloh SWT” didalam dirinya, keduanya datang membawa “fitrah hakiki” yang tercakup dalam Risalah Nabi Ibrahim AS yaitu Al Masih, dan Risalah Nabi Muhammad SAW yaitu Al Mahdi (sebagaimana doa sholawat). Keduanya akan “meluruskan” Risalah Nabi Ibrahim AS dan Risalah Nabi Muhammad SAW (yang telah dirusak oleh “hawanapsu” Bani Israil) hingga terjadi Kiamat Kubro. Bahwa sesungguhnya Bani Israil itu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali yaitu pada risalah Nabi Ibrahim AS dan risalah Nabi Muhammad SAW. Bahwa sewaktu Nabi Muhammad SAW itu masih hiduppun Ali bin Abi Thalib (Imam Pertama) adalah juga bagian dari “Garis Sholawat” yang Alloh dan para malaikatNya “bersholawat” sesuai kedudukannya yang “semisal” Nabi Harun AS dalam umat Nabi Musa AS, walaupun baik umat Nabi Musa AS maupun Nabi Muhammad SAW tidak mengakuinya (cukuplah pada apa yang tertulis di sisi Alloh SWT). Sebagai salah seorang yang hakekat sebagaimana Nabi Harun AS dalam umat Nabi Musa AS, maka bila masih ada lagi Nabi pastilah Ali bin Abi Thalib yaitu pada saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, yang pasti juga akan tertulis dalam KitabNya dan sebagai “pintu gerbang” ilmu Quran hakiki. Sedang bila masih ada lagi Rasul pastilah Imam Hasan dan Imam Husein akan menjadi Rasul sebagaaimana pada Risalah Nabi Ibrahim AS, karena itu tidak ada lagi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad SAW adalah kenyataan paling hakiki. Bahwa bunyi isi sholawat dalam sholat juga peringatan agar umat Islam tidak terjerumus “memnbunuh” para Nabi dan RasulNya sebagaimana Bani Israil. Dalam hal ini berusaha memutus Risalah dengan membunuh memusuhi menentang “Garis Sholawat” dimana ilmu-ilmu Al Quran paling hakiki mengalir sesuai rahmat dan barokah yang langsung dari sisi Alloh SWT yang terus “disempurnakanNya hingga Akhir Jaman.
Bahwa “Garis Risalah” dalam Sholawat Nabi itu tidak bisa “diperebutkan” sebagaimana kedudukan Pemimpin dalam “kekalifahan”. Jadi apakah umat Islam menjadikannya sebagai “kalifah” ataupun tidak maka sama sekali tidak bisa “menggugurkan” Beliau-Beliau sebagai Pembawa Risalah Nabi Muhammad SAW paling hakiki di sisi Alloh SWT (dan walaupun terjadi “pengAgungan” yang lebih tinggi lagi atas para kalifah). Justru adanya embel-embel “kekalifahan” pilihan umat atau semacam kerajaan dan pemerintahan, maka terjadilah terbentuklah sifat-sifat yang sangat Lokalitas, dimana Garis Sholawat itu telah dilokalisir terlokalisir oleh umat Islam sendiri. Sebagaimana yang telah terjadi pada umat-umat sebelumnya yang “melokalisir” Agama-Agama yang Alloh SWT turunkan di seluruh pelosok bumi ini menurut “sosok-sosok” NabiNya, (ingat Agama Alloh SWT itu sesungguhnya adalah “Satu”.). Padahal  “kebenaran” dari sisi Alloh SWT melalui sosok-sosok  siapapun dari para hamba-hambaNya (tanpa kecuali) yang diberiNya “petunjuk” pastilah menujuNya pula, sehingga layak untuk “diikuti”. Semua kalimat-kalimat Alloh itu pastilah sebagai “jalan” yang “semisal” dalam menuju Alloh SWT, siapapun sosok-sosok Pembawanya, yang pada tiap-tiap umat di bumi-bumi manapun di seru sekalian alam bintang gemintang Alloh SWT turunkan Rasul. Hanya saja tingkat derajat serta “kesempurnaan” kalimat-kalimat dari para Nabi dan RasulNya itu memang “berbeda”. Dan Alloh SWT terus “menyempurnakan” hingga ditarik segala sesuatu itu ke sisiNya, ke sisi Yang Maha Sempurna, yang tidak lain kepada Nama-NamaNya Terbaik Asma ul Husna termaksud. Maka akan sempurnalah semuanya menjadi Nilai-Nilai Surgawi yang kekal dengan sifat-sifat yang Serba Non Lokalitas sebagaimana Asma ul Husna itu Sendiri.
Jadi pandanglah para kalifah sahabat-sahabat Nabi itu bukan sebagai pembawa risalah menurut Garis Sholawat akan tetapi sebagai hamba-hambaNya dalam usaha “memimpin” umat. Artinya mana yang “bersesuaian” Al Quran dan As Sunnah pegang dan ikutilah karena pasti akan “naik” ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya” dan akan “Terkumpul” sebagai “Mushaf Fatimah” yang isinya ilmu-ilmu Quran yang hakekat. Disinilah betapa umat Islam telah salah paham salah kaprah tentang hakekat dari “Mushaf Fatimah” yang sesungguhnya (termasuk golongan Syiah maupun Sunni). Karena itu “simak” dan perhatikan baik-baik penjelasan seorang hamba tentang “Mushaf Fatimah”. Bahwa semua “kebenaran” itu termasuk yang ada pada Bani Israil serta pada umat-umat dari Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya di segala pelosok bumi dari sejak Nabi Adam AS “pasti” akan terkumpul sebagai “Mushaf Fatimah”. Karena para Pemegang Mushaf Fatimahlah yang secara pasti akan “mengumpulkan” segala semua “kebenaran” itu tanpa kecuali. Ingat para Pemegang Mushaf Fatimahlah Pewaris hakiki dari seluruh ilmu para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya tanpa kecuali walau ilmu hakiki itu ada di Negeri Cina sertadi segala pelosok bumi bahkan di sekalian bintang gemintang. Bahwa kebenaran itu pastilah “bersesuaian” dengan Al  Quran yang di Lauhil Mahfuz, dimana semua ayat-ayat kalimat-kalimat Alloh SWT yang berceceran di segala pelosok bumi ini akan terambil terseleksi sedemikian rupa dan terkumpul sebagai “Mushaf Fatimah”. Hakekatnya Mushaf Fatimah itu Sendiri tidaklah “terlokalisir” oleh anggapan-anggapan yang berasal dari ego-ego manusia yang sedemikian rupa membentuk golongan-golongan juga Agama-Agama dari seluruh para Nabi dan RasulNya, bahkan wilayah Mushaf Fatimah tidak terbatas satu bumi ini saja, melainkan rahmatan lil alamin.
Jadi jelas merupakan anggapan yang salah bila Mushaf Fatimah itu disebut-sebut hanya (ilmu) Quran dalam Golongan Syiah, bahkan seluruh umat segala umat dari seluruh semua Nabi dan RasulNyapun adalah bagian dan pemilik Mushaf Fatimah karena Kitab Suci yang dipegangnya “terliputi”. Demikian itulah makna hakiki dari Pewaris seluruh para Nabi yang sangat jelas tergambar dalam peristiwa Isra Mikraj, maka bagaimana mungkin hanya milik satu golongan saja yaitu Syiah? Sekali lagi “Mushaf Fatimah” itu hanya “penamaan” yaitu karena hanya menuruti garis keturunan melalui Fatimah putri Rasulullah SAW sehingga penamaan itu juga hakekat sesuai kenyataan sesungguhnya, artinya sama sekali bukan  Quran lain sebagaimana yang di Lauhil Mahfuz. Dan karena bila bila Alloh SWT akan menurunkan Kitab Suci setelah Al Quran maka pasti Al Quran yang ada di Lauhil Mahfuz itu kembali yang akan diturunkanNya.  Sehingga pada dasarnya ilmu hakiki  yang dikaruniai Alloh SWT yang karena pegangannya juga Al Quran yaitu pada golongan di luar Syiah itupun adalah bagian “Mushaf Fatimah”. Jadi pada dasarnya di sisi Alloh SWT Mushaf Fatimah itu sama sekali tidak “terlokalisir” atau terkait satu golonganpun yang ada di dunia ini termasuk Syiah, dimana semua “Nama-Nama” golongan itu adalah buatan manusia belaka, Rasulullah SAW tidak mendirikan satupun Golongan yang disebut-sebut itu.
Pandanglah bagaimana Mushaf Fatimah dilokalisir terlokalisir oleh ego-ego hawanapsu manusia yang sifatnya sangat Lokalitas. Prilaku para sahabat Nabi yang baik dan benar sehingga layak diikuti karena “semisal” dengan prilaku NabiNya yaitu sesuai Al Quran dan As Sunnah sehingga sungguh juga akan “Terkumpul sebagai Mushaf Fatimah” (dimana tugas para Pemegang Mushaf Fatimahlah dalam mengumpulkannya), telah ditanggapi berbeda oleh orang-orang yang belum memahami Mushaf Fatimah itu secara hakekat. Bahkan ilmu-ilmu hakiki dari Agama-Agama terdahulupun niscaya akan termasuk “Mushaf Fatimah”, walau anggapan-anggapan oleh golongan diluar Syiah atau pada Agama-Agama terdahulu itu tidak dipahami sebagai “Mushaf Fatimah”. Sebagaimana umat Budha ataupun Khong Hu Cu tidak akan mengakui “kebenaran” yang ada di dalam Kitab Suci yang dipegangnya itu sebagai Al Quran, padahal di sisi Alloh SWT “kebenaran” itu seluruhnya semuanya (walau di Negeri Cina atau tempat lainnya) terkumpul sebagai “Al Quran” yang pasti akan menyempurnakan seluruh Kitab-KitabNya . Dan semua itu baru akan disadari diakui ketika “Hari Agama” yaitu dengan “disempurnakanNya” segala sesuatu dengan RahmatNya yang Sembilan puluh Sembilan,  yang “menyempurnakan” Surga dengan Nilai-Nilai Suirgawi paling sempurna paling hakiki Tersempurna yaitu Al Quran yang menjadi Rahmat bagi semesta alam. Dimana tidak akan dapat memasuki Surga itu umat-umat terdahulu sebelum “disempurnakanNya” Surga itu dengan Al Quran, yang semua ini tergambar jelas dalam peristiwa Isra Mikraj.
Bahwa pada dasarnya “dengan iman” seluruh umat Islam khususnya seluruh Ulama Agamawan Islam tahu benar wilayah Al Quran meliputi seluruh Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya walau di Negeri Cina, bahkan seru sekalian alam bintang gemintang dengan kalimat “rahmatan lil alamin”. Akan tetapi sifat-sifat yang sangat Lokalitas masih demikian “membelenggu” pribadi-pribadi prilaku-prilaku sehingga tidak dapat secara jernih terang benderang “membuktikan” semua itu. Adanya pertengkaran antar umat Islam itu sendiri sehingga terbentuk sekian banyak golongan khususnya Syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah juga Ahmadiyah danseterusnya demikian banyak telah menguras darah dan air mata, lantas bagaimana dengan Hindu, Budha, Khong Hu Cu, Zarathustra ataupun Shinto di Negeri Jepang, sereta suku-suku di pedalaman Amerika, suku Maya, Indian dansebagainya? (belum lagi yang ada di Jawa, Papua, Kalimantan danlainlain) Ingatlah bahwa segala “Hisab” oleh Alloh SWT itu tidak lain adalah dengan Al Quran yang di Lauhil Mahfuz. Demikianlah seorang hamba salah seorang Pemegang Mushaf Fatimah akan (dapat) meluruskan semuanya segalanya walau di bintang gemintang. bagaimana “rahmatan lil alamin” itu akan sungguh terrealisasi dengan sempurna, sehingga wilayah Mushaf Fatimah itu tidak hanya “sebumi” akan tetapi “segala bumi”. Ditarik segala sesuatunya ke yang Non Lokalitas Tanpa Batas, ke sisi Alloh SWT sebagaimana Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna, Nilai-Nilai Surgawilah yang terbangun, semua sangat jelas tergambar dalam peristiwa Isra Mikraj. Juga sebuah kenyataan bagaimana para Nabi dan RasulNya serta Nabi Ibrahim AS telah “berada” di langit, apa juga dengan (kendaraan) Buraq atau “semisalnya”? lantas mengapa umat Islam memandang (kendaraan) Buraq itu sedemikian rupa? Apakah Teknologi Buraq yang digulirkan hambaNya ini adalah sesuatu yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam Agama, sesuatu yang nonsens dan sangat tidak masuk akal dalam berAgama?
Selayaknya jangan terlalu memandang kepada “sosok-sosok” dalam memandang (NabiNya ataupun semua hamba-hambaNya) sehingga senantiasa kembali “terjerumus” kepada sifat yang sangat Lokalitas, akan tetapi pandanglah “fitrah Alloh”, dimana kalimat-kalimat yang sungguh-sungguh dari Alloh SWT pastilah akan “teruji dengan Asma ul Husna”. Sehingga “kebenaran” hakiki itu tidak akan batal musnah lenyap di tengah jalan menuju Alloh SWT, sungguh-sungguh “naik” ke langit sebagai “cahaya” yang sampai kepada Tuhannya, ke sisiNya sisi Alloh SWT Pemilik Asma ul Husna. Semua perkataan semua kalimat-kalimat hakiki didalam seluruh Kitab-KitabNya pasti akan menjadi sempurna, akan semakin nyata sebagai ayat-ayat yang di sisiNya, semua disempurnakan Alloh SWT dengan Al Quran, karena “kesempurnaan” itu hanya sungguh-sungguh mewujud yaitu di sisi Alloh SWT. Maka “Pengumpul” seluruh isi Kitab-KitabNya itu hanyalah para Pewaris Nabi yang paling hakiki  yang tergaris dalam “Sholawat”. Tidak suatu Kitab Sucipun yang tidak tercakup terliputi dalam Al Quran, itulah hakekat makna dari Pewaris seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya. Jadi pandanglah bagaimana seluruh hadits-hadits itu apakah sahih hakekat atau tidak pastilah akan terseleksi sedemikian rupa setelah diuji dan teruji menurut Asma ul Husna yang Serba Non Lokalitas. Maka akan terbuktilah karena seluruh kalimat-kalimatNya yang sungguh sahih dan hakekat pastilah bersifat Non Lokalitas, sesuai Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul Husna termaksud. Dengan demikian hadits-hadits palsu misalnya serta semua kalimat-kalimat yang bukan dari Alloh SWT bahkan pada seluruh semua Kitab-KitabNya akan gugur dengan sendirinya.
Bahwa semua golongan-golongan dalam Islam yang nyata-nyata masing-masing “pegangannya” Al Quran (juga As Sunnah) sehingga ilmu hakekat yang didapat pastilah juga ilmu Quran, dan pastilah akan “naik” ke sisi Alloh SWT sebagai “cahaya” yang pasti akan teruji ketika diuji dengan Asma ul Husna. Semua ilmu Quran hakiki akan terkumpul sebagai Mushaf Fatimah, dan semua yang terkumpul didalam Mushaf Fatimah pasti “bersesuaian” dengan Al Quran dan As Sunnah, menjadi bagian dalam As Sunnah (setingkat Sunnah), sehingga pada golongan itu ada hamba-hambaNya yang “tergolong” Ahli Sunnah dan yang mengikutinya (jamaah) itulah para Ahli Sunnah yaitu semua yang ahlaknya Al Quran dan As Sunnah. Karena itulah yang akan termasuk Ahlussunnah wal Jamaah di sisi Alloh SWT sungguh tidak bergantung kepada Nama-Nama Golongan saat di Dunia ini. Bahkan yang disebut Syiah akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan (jalan) dan siapa saja siapapun yang berprilaku Al Quran dan As Sunnah otomatis akan berjalan dan termasuk Golongan Ahlussunnah wal jamaah. Demikian pula Golongan yang disebut Sunni akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan (jalan) dan siapa saja yang prilakunya sesuai Al Quran dan As sunnah otomatis akan berjalan pada jalan para Ahli Sunnah (sehingga antara Syiah dan Sunnipun bertemu dalam “satu” jalan). Demikian juga NU, Muhammadiyah danseterusnya. Jadi walaupun di dunia ini tidak mengikuti suatu Golonganpun, akan tetapi bila prilakunya adalah sesuai Al Quran dan As Sunnah niscaya juga akan berada pada jalan Para Ahli Sunnah dan menjadi termasuk dalam Golongan Ahlussunnah wal jamaah yang tertulis dalam hadits, dan semua terjadi secara otomatis. (Bacalah kembal tulisan-tulisan sebelum ini).
Pada dasarnya yang mesti dipegang hanyalah “kebenaran” dan inipun memiliki makna yang luas seluas “Rahmat Alloh SWT” yang secara “serentak” merata tersebar di seru sekalian alam. Karena itulah bolehjadi “kebenaran” itu secara “serentak” ada pada setiap Golongan atau setiap Agama walau di Negeri Cina. Masalahnya ada (banyak) “kebenaran” yang tidak dipahaminya sebagai “kebenaran”, khususnya bila “kebenaran” itu berada di luar Golongannya, apalagi diluar Agama yang dipeluknya, karena pasti itu tidak diperlakukan (akan ditolak) sebagai “kebenaran”. Demikian itulah bila dengan ego-ego yang sifatnya sangat ‘Lokalitas’., sedang Alloh SWT Sendiri pasti akan “menerima” semua kebenaran-kebenaran itu tanpa kecuali dimanapun adanya kebenaran itu, walau hanya “satu kalimat” yang dikelilingi ditutupi oleh sedemikian banyak kalimat-kalimat syaitan yang terkutuk aataupun dari segala pengaruh ego-ego yang sifatnya sangat Lokalitas. Dengan Alloh SWT maka Nabi Muhammad SAW akan “memperlakukan” semua “kebenaran” semua kalimat- kalimat Alloh SWT itu dengan bijak dan adil, tidak akan membeda-bedakan dalam perlakuan terhadap setiap “kebenaran” sebagaimana tidak membeda-bedakan antar Para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya karena sama-sama hakekat. Demikian pula sesungguhnya tiap-tiap Nabi dengan Nabi-NabiNya yang lain, antar sesama  hambaNya, sesama Kitab Suci-Kitab Suci yang dibawanya tentu juga terhadap diri Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi siapapun tidak akan dapat “membedakan” antara haq dan bathil  secara sangat jernih kecuali dengan “petunjukNya”. Dengan Alloh SWT (petunjukNya) maka Para Ulama Hakiki akan dapat mengetahui “ilmu Alloh SWT” mana yang sesungguhnya “ada” di Negeri Cina ataupun diseluruh pelosok bumi ini serta di seru sekalian alam bintang gemintang. Memang tugas Pewaris Nabi yang hakekatlah yang secara khusus “menghimpun” seluruh semua ilmu dari Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya. Karena itulah sesungguhnya “Ilmu Quran” itupun “disempurnakan” Alloh SWT juga secara “bertahap” tidak seluruhnya langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Jadi pahamilah mengapa bila Alloh SWT hendak menurunkan Kitab Suci pasti Al Quran yang di Lauhil Mahfuz itu kembali yang diturunkanNya yaitu kepada Para Pewaris Nabi yang Hakiki, dengan cara itulah Alloh SWT menyempurnakan Ilmu Quran hingga Akhir Jaman.
Jadi bila saja umat Islam memahami dengan sesungguhnya bahwa “Ilmu Quran” hakekat yang disempurnakan Alloh SWT hingga Akhir Jaman itu adalah “Mushaf Fatimah” pastilah tidak akan memandang lagi apa itu (Golongan) Syiah, tidak peduli lagi karena pada kenyataannya “Mushaf Fatimah” justru milik “Seluruh Agama” sehingga seluruh umat manusia juga jin adalah berhak memiliki, semua mahlukNya sungguh berhak atas “Mushaf Fatimah”. Di dalam Mushaf Fatimah itulah Alloh SWT “menghimpunkan “ seluruh Kitab-KitabNya seluruhnya semuanya menjadi satu kesatuan utuh, Agama yang “satu”, bagaikan bangunan yang dibangun oleh seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya yang bagaikan membangun “Sebuah Rumah”. Semua kenyataan ini sungguh-sungguh sesuai dengan predikat Ulama itu sebagai Pewaris ilmu seluruh para Nabi dan RasulNya, seluruhnya semuanya sehingga tidak suatu Kitab Sucipun yang tidak tercakup terliputi di dalamnya. Bahkan bukan hanya “kebenaran” sebumi saja melainkan segala bumi di segala bintang gemintang, rahmatan lil alamin. Jadi bila ingin mengetahui apakah itu sungguh merupakan “kebenaran” dari sisi Alloh SWT maka “Ujilah Dengan Asma Ul Husna”, wallahu a’lam bishshowwab, sekian dulu.

Winarno, mas nano ponakan bu Retti Paron, Ngawi.