Duduklah semua
dalam “Satu Meja”, ingatlah suatu hadits bagaimana “Hajar Aswad” hendak
diangkat “seorang diri” maka yang lain “protes”, kemudian Muhammad
membentangkan “selembar kain”, kemudian “Hajar Aswad” diletakkan ditengahnya, maka
dengan kain itu semua Pemimpin dapat ikut serta dalam “kebersamaan”. Kalau saja
Negeri ini bahkan bumi ini dapat dipikul “amanah” itu bersama-sama atau bahkan
ke wilayah yang lebih luas Alam Semesta seru sekalian alam bintang gemintang
pastilah jadi lebih ringan, walau tetap tidak mungkin terpikul sempurna
“amanah” itu kecuali dengan “Alloh SWT” Tuhan seru sekalian alam.
Negeri ini memiliki
PANCASILA dengan simbol Bintang yang seharusnya sangat tepat kalau sekaligus
untuk tujuan mencapai Bintang. Reformasi ini sebenarnya hendak diarahkan
kemana? Kalau untuk “Alloh SWT” maka harus dapat menjadi “rahmat” atas manusia
seluruhnya serta Alam Semesta, rahmatan lil alamin. Akan tetapi kalau tidak
untuk Alloh SWT maka sila Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut selayaknya diuraikan
lagi sehingga menjadi sangat jelas. Alangkah sempurnanya dan sangat Idealis
bila masing-masing “Tokoh Reformasi” berkomitmen untuk dapat menjadi “rahmat
bagi Alam Semesta” , sehingga “kebersamaan” dalam mengemban “amanah” itupun semata-mata
untuk “mencari Keridhoan Alloh SWT belaka”, ke yang Non Lokalitas dan tidak
lagi ke yang Lokalitas. Dimana para Pemimpin terdahulu sedikit banyak demikian
“terpengaruh” oleh sifat-sifat yang sangat Lokalitas. Maka menjadi “pelajaran”
berharga agar untuk ke depan tidak terulang lagi, terjerumus pada kenyataan
yang sama semisal yaitu pada sifat yang sangat Lokalitas tersebut. Untuk itulah
semua “Tokoh Reformasi” harus dapat kembali duduk bersama dalam “Satu Meja”,
agar dapat mengembalikan arah Reformasi yang sesungguhnya, sehingga pengorbanan
para mahasiswa selama ini serta rakyat yang menginginkan perubahan ke arah yang
lebih baik dapat terwujud sempurna dan tidak menjadi sia-sia.
Karena itu
pemilihan Amin Rais oleh seorang hamba sama sekali bukan karena Partai, yang
kita tahu sangat Lokalitas, akan tetapi Gema Reformasi yang “hampir pudar”
harus dikembalikan ke spirit asal awal atau fitrah yang pasti “ada” peran
kekuatan-kekuatan langsung dari “Alloh SWT” dimana banyak manusia yang bahkan
sama sekali tidak menyadarinya. Figur Gus Dur sebagai pembawa “Nuansa” rahmat
Alloh SWT itu memang tidak mudah untuk dipahami “ditangkap” sebagai peran Alloh
SWT didalamnya. Bahwa seorang hamba memilih adalah dengan “petunjukNya” yang
terlepas dari imej suatu golongan apakah itu NU atau Muhammadiyah. Bila saja
umat Islam khususnya di Negeri ini
menyadari bahwa di dalam “Satu Masjid” harus ada yang pakai (doa) qunut dan
juga yang tidak pakai qunut. Karena “cahaya Alloh SWT” pastilah akan dapat
“sempurna” tertangkap oleh “yang tepat”
dan siapapun yang “dapat” pastilah akan dikembalikan kepada Alloh SWT. Artinya
semua “cahaya Alloh” (akan datang sebagai “isyarat inspirasi wahyu
dansebagainya”) tidak lain untuk mengembalikan manusia kepada fitrah, jadi
untuk seluruh manusia juga, baik itu didapat oleh yang pakai qunut ataupun
tidak. Apakah NU sungguh dapat membuktikan bahwa “saat memakai qunut” itulah
maka Rasulullah Muhammad SAW mencapai Sidratul Muntaha? Ataukah merupakan
“perkembangan” yaitu setelah peristiwa Isra Mikraj? Bila merupakan
“perkembangan” maka memang harus ada “kedua-duanya” (dua cara sholat itu memang
harus ada). Dalam hal ini tidak ada istilah mana yang benar dan yang salah,
akan tetapi siapa saja yang dapat “menyerap” cahaya Alloh SWT itu dengan lebih sempurna,
yang jelas bukan atas nama Ego yang sangat Lokalitas melainkan Ego Alloh SWT
belaka.
Ini adalah sebagaimana
“perbedaan” awal puasa Romadhan dan Idul Fitri, bagi pandangan seorang hamba
justru harus ada keduanya (dua macam cara “penentuan” itu) agar Cahaya Alloh
SWT yang Paling Sempurna tidak lewat begitu saja bagi Negeri ini, yang sama
sekali bukan masalah benar atau salah, melainkan “qadar Cahaya Alloh SWT” akan
dapat lebih sempurna tertangkap terserap pada hari dan saat yang “tepat”.
Sehingga secara hakikat semua tetap mendapat “Cahaya Alloh SWT” dengan qadar
masing-masing, sama sekali tidak ada istilah lain kecuali keduanya dibenarkan
dibolehkan. Apakah hari “sabat” yang didapat pada Bani Israil itu harus
sedemikian rupa diganti menjadi hari “Jumat”?
Padahal keduanya sama-sama “petunjukNya” dari Nabi-Nabi yang
diturunkanNya? Apakah prilaku Nabi Musa AS harus diubah total menjadi prilaku
Nabi Khidir AS padahal wilayah kehidupan kaumnya memang ada “perbedaan” pada
masing-masingnya? Pada kenyataan sesungguhnya keduanya “sama-sama” benar,
keduanya tetap hamba-hambaNya yang sangat sahih. Semua hal yang dasarnya
hakekat maka “keberadaannya” jangan divonis bahkan semua justru “memakmurkan”
manusia dengan rahmatNya, yang antar para Nabi dan RasulNya adalah seumpama
membangun “sebuah rumah”. Persis sebagaimana peran matematika, fisika, kimia,
biologi, kedokteran, bahasa, sosial, ekonomi danseterusnya masing-masing
mengambil “peran” dalam kehidupan manusia, dan masing-masing tetap merasa benar
dalam faknya pandangannya masing-masing (padahal sisi-sisi Agama itu justru
lebih luas daripada sisi-sisi ilmu-ilmu Duniawi semacam fisika, matematika,
bahasa dansebagainya, sehingga juga tidak layak Agama itu mesti “diperas” hanya
Cuma dijadikan dipandang dari “satu sisi” saja). Maka demikian pula keberadaan
Syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah danseterusnya sehingga pada Akhir Jaman akan
diputus oleh Alloh SWT Sendiri secara langsung. Yaitu bagaimana tiap
“kebenaran” itu pasti akan “naik” ke Langit yaitu sebagai “cahaya” sehingga
semua kebenaran dari siapapun akan sampai ke sisi Alloh SWT dan SurgaNya (menjadi
Nilai-Nilai Surgawi), sedang yang “tidak benar” tidak akan menjadi cahaya,
tetap gelap. Jadi diputus sama sekali bukan oleh seorang hamba atau siapapun
melainkan Alloh SWT, hanya saja selama kita masih di dunia ini selayaknya
memiliki dasar kuat yang kita yakini sebagai “petunjukNya”.
Bila pegangan
sama-sama Al Quran dan Hadits baik itu golongan Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah
danseterusnya maka “keberadaan semua” adalah
wajar, sebagaimana ilmu matematika, fisika, kimia danseterusnya. Jadi
demikian pula keberadaan seluruh Agama-Agama bahkan di bintang gemintang dengan
Nama wujud adat-istiadat kehidupan yang belum terbayangkan, akan tetapi yang
jelas semua memiliki “fitrah Surgawi” yang sama semisal, semua pasti ingin ke
Surga. Jadi renungkanlah, bahwa sisi-sisi Agama itu sesungguhnya sangatlah luas
bahkan Tanpa Batas seluas SurgaNya itu, seluas Alam Semesta bintang gemintang,
langit dan bumi, dengan berbagai wujud bentuk adat budaya bahkan yang
takterbayangkan sama sekali dalam benak kita, karena itu sekali lagi janganlah
“diperas” oleh Ego kita yang nyatanya masih sangat Lokalitas.
Dengan cara pandang
demikian inilah seorang hamba sama sekali tidak hendak mengecilkan “peran”
sedemikian penting keluarga besar Soekarno presiden pertama RI juga kedua
ketiga hingga kini danseterusnya, serta Pemimpin-Pemimpin sela diantaranya
Muhammad Natsir, kabinet Syahrir, bahkan kelompok-kelompok (yang dianggap
pemberontak sekalipun) dalam sejarah Indonesia. Justru “peran” ibu Megawati
dengan partainya (PDIP) itulah yang akan dapat meluruskan menyempurnakan
mewujudkan cita-cita seorang Soekarno dengan PANCASILAnya. Akan tetapi ini
adalah Masa
Reformasi, maka hendaknya jangan dikembalikan ke “Nuansa” masa Orde Lama,
sebagaimana juga tidak dikembalikan ke “Nuansa” masa Orde Baru. Yang jelas
harus dapat menyempurnakan segala sesuatunya kepada yang lebih baik lebih bijak
dari masa-masa (priode-priode) sebelumnya. Mudah-mudahan rancang bangun arah
Reformasi oleh Para Tokoh-Tokohnya secara langsung akan dapat “bersesuaian”
dengan “amanah” yang mesti ditegakkan hambaNya ini di seru sekalian alam
bintang gemintang, rahmatan lil alamin, yang justru saling menunjang serta
saling menguatkan. InsyaAlloh PANCASILA itu sendiri akan dapat sempurna menjadi
Non Lokalitas, fitrah hakiki di sisi Alloh SWT, sehingga pastilah Nilai-Nilai
Surgawi menjadi terpandang nyata dengan PANCASILA itu, yaitu dengan “petunjukNya”.
Artinya semua harus disucikan dengan Kitab SuciNya, sehingga Nabi (yang memiliki pandangan Alloh) itu sungguh
lebih utama dari diri sendiri, sebagaimana prinsip nyata hambaNya ini. Yang
akan menjadikan orang-orang yang berjuang didalamnya sebagai kaum yang berserah
diri pada AgamaNya, yang akan secara sempurna termasuk diantara hamba-hambaNya,
hingga sungguh akan memasuki SurgaNya.
Dengan
“petunjukNya” maka segala keinginan yang fitri akan terakumulasi sempurna,
bahkan termasuk seluruh Pemimpin-Pemimpin Negeri di segala penjuru pelosok bumi
ini, hingga tujuan tiap Negeri di seluruh Dunia ini juga akan sempurna
terakumulasi sebagai rahmat atas semesta alam, rahmatan lil alamin.
Perbedaannya seorang hamba tidak hendak mengintervensi sedikitpun, cukuplah
Agama serta Nilai-Nilai Surgawi yang ada pada masing-masing Negeri seluruhnya
semuanya termasuk Negeri Cina, akan membawa masing-masing individu manusia dan
kemanusiaannya (rakyatnya masing-masing) kepada fitrah hakiki di sisi Alloh SWT. Karena
itu tidak seharusnya ada lagi peperangan-peperangan ganas yang saling
menghancurkan bunuh-membunuh antar sesama manusia hanya karena “harta Duniawi”
yang sungguh tidak seberapa ini, walau seseorang dapat memegang bumi ini
seutuhnya dalam genggamannya. Padahal sungguh banyak bumi-bumi lain di
bintang-gemintang ini, yang kelak ternikmati dalam KeMaha Luasan SurgaNya, bumi
kita ini hanya bagaikan sebutir pasir ditengah padang pasir yang sangat luas.
Karena itu betapa ingin seorang hamba menghimbau hentikanlah semua peperangan,
berdamailah dengan hati nurani kalian masing-masing, lawanlah hawanapsu itu
yang kini sedemikian rupa menyelimuti diri-diri kita, lenyapkanlah
pandangan-pandangan picik sempit dari Ego-Ego diri yang sangat Lokalitas. Agar kita
semua justru dapat memandang ke yang Non Lokalitas yaitu Nilai-Nilai Surgawi
sesungguhnya yang luasnya Tanpa Batas dengan kehidupan kekal didalamnya.
Rakyat Negeri ini
harus menyadari bahwa “Reformasi yang sesungguhnya” justru baru akan terjadi (dimulai)
yaitu setelah mengubah pengalaman menjadi pelajaran demi masa depan. Walau
seorang hamba menunjuk seorang diantara Tokoh Reformasi yaitu Amin Rais (juga
sekaligus sebagai “Simbol” bahwa “Reformasilah” yang kita jalani), akan tetapi
sesungguhnya Beliau hanya menggulirkan apa yang telah disimpulkan diputuskan
dan yang merupakan Target dari seluruh Tokoh Reformasi yang akan duduk dalam
“Satu Meja”, jadi bukan peran seorang diri. Sedang hambaNya ini hanya
menghimpunkan “petunjuk” sehingga ditarik segala sesuatunya menuju Alloh SWT,
dan karena sesuai hadits kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian,
sebagaimana juga terhadap Para Pemimpin Negeri-Negeri yang mau berserah diri
demi tujuan hidupnya di dunia yang sangat sementara ini. Karena bagi seorang
hamba cukuplah dengan Alloh SWT maka diri-diri manusia seluruhnya segala yang hidup
dan yang mati dari seluruh mahluk ciptaanNya di seru sekalian alam bintang
gemintang ini, pastilah akan mendapat rahmatNya tanpa pandang bulu, rahmatan
lil alamin.
Bilapun teknologi
Buraq yaitu teknologi Cahaya Diatas Cahaya adalah pengejawantahan nyata dari
peristiwa Isra Mikraj, hal ini merupakan kekhususan bagaimana seorang hamba
yang akan terbukti sungguh diberiNya “petunjuk”. Dan karena hal tersebut memang
sudah saatnya terjadi, dimana manusia masa kini (walau tidak diakui oleh para
Ilmuwan) sudah mulai merambah planet lain di alam semesta adalah sebenarnya
juga rahmatNya. Perbedaannya Agama Alloh sebenarnya justru “petunjuk” paling
mendasar dari kejadian sesungguhnya tentang Alam Semesta, sehingga penguasaan paling
hakiki atas Alam Semesta ini justru tidak lain adalah dengan AgamaNya.
Memandang Alam Semesta dimana bumi ini hanya bagaikan sebutir pasir di
padang pasir yang sangat luas di sekalian bintang gemintang. Maka seharusnya
wajar bila kendaraan semisal “Buraq”lah yang akan dapat menjelajahinya dengan
sempurna. Saat kita melihat kenyataan betapa teknologi Negeri ini masih jauh
dibawah standar apalagi dengan kecepatan sangat tinggi semacam “cahaya”. Tentu
menjadi suatu tanda Tanya besar pernyataan “Teknologi Buraq” atas hambaNya,
apalagi dasarnya ajaran Agama yang dianggap tidak memiliki andil sedikitpun
atas perkembangan Teknologi canggih yang ada saat ini. Sedemikian rupa (ajaran)
Agama Alloh SWT itu terus berkembang dalam diri ini yang justru menjungkir
balikkan semua anggapan-anggapan manusia tentang Agama selama ini, bahkan dari
para Agamawan sekalipun. Pengetahuan Agama yang berkembang semakin membuat diri
ini dibawa “Berisra Mikraj” karena yang terpandang justru “Realitas” dari isra
mikraj itu sendiri. Bahwa diri ini bahkan seluruh umat manusia juga akan
ditarik segala sesuatunya kepada (menuju) Alloh SWT, yaitu ketika peristiwa
isra mikraj itu menjadi kenyataan (Realitas) yang sempurna. Dan yang jelas
dalam pengejawantahan nyata dari peristiwa isra mikraj tersebut akan menjadikan
seluruh mahluk ditarik menuju Tuhannya (yang seharusnya khususnya Para Agamawan
yang akan dapat “menjawab” mengapa peristiwa Isra Mikraj itu pasti menjadi
“Realitas”).
Kini “Nilailah” dengan lebih logis bijak dan realistis mengapa seorang
hamba “dipersiapkan”, kalau semua ini bukan sebagai “isyarat” (pertanda) dari
Tuhan sebagaimana dahulu Nabi Nuh AS diberi petunjuk untuk membuat “perahu”.
Tentu saja memang berbeda karena saat ini manusia sedang giat-giatnya
merencanakan perjalanan Antariksa ke bintang-bintang, padahal sangat-sangat
menyadari “keterbatasan” usia, baagaimana mungkin mencapai bintang apalagi
menjelajahi bintang gemintang tanpa “hidup kekal”? Tinjau kembali semua
persepsi-persepsi Agama dengan ayat-ayat Alloh seluruhnya, umat Islam tentu
kepada persepsi penafsiran pemaknaan isi ayat-ayat Al Quran (bukan terhadap
teks Al Quran). Akan cocokkah dengan pandangan-pandangan seorang hamba yang
terus bergulir mencapai “sempurna”?
Dimana “peyakinan” Teknologi Buraq, Teknologi Cahaya Diatas Cahaya
adalah karena “bersumber” langsung dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri belaka,
bagaimana prilaku “kun, faya kun” atas segala sesuatu itu semakin terjelaskan
ketika secara sangat sempurna Asma ul Husna dalam Pemujian bagi DiriNya Sendiri
itu merupakan “penyempurna” sesempurna-sempurnanya yang sangat nyata dari
prilaku “Lima Unsur dari Negeri Cina”, sehingga sebab-musabab sesuatu itu jadi
“kekal” akan dapat terjawab “sempurna” dari “mata rantai Asma ul Husna”
tersebut, karena dengan itu pulalah rahmatNya yang Sembilan puluh Sembilan akan
“disempurnakanNya” yaitu sebagai “Nilai-Nilai Surgawi”, kekal didalam EsaNya,
itulah “sisi”Nya dalam KeMaha Luasan Tanpa Batas.(Bacalah tulisan-tulisan
terdahulu sebelum ini).
Bahwa segala teori baik fisika, kimia, biologi, bahasa danseterusnya
juga perkembangan-perkembangan pada tataran lebih tinggi dari teori-teori
terbentuk Alam Semesta seluruhnya termasuk Theory of Everything justru akan
dapat terjawab dan terpandang lebih sempurna dengan “mata rantai Asma ul Husna”
tersebut diatas. Di “sisi”Nyalah Teknologi Maha Sempurna, Teknologi-Teknologi
Surgawi termasuk didalamnya “Teknologi Buraq”, wujud-wujud kendaraan Maha
Cepat, Cahaya Diatas Cahaya, dalam pergerakan Antar Bumi Antar Bintang sebagai
hal yang sangat biasa, wajar, sangat umum pada saatnya nanti, yaitu di
SurgaNya. Hanya saja bagaimana mungkin mencapai Surga orang-orang yang tidak
mau membangun Nilai-Nilai Surgawi saat di dunia, apa dapat mencapai sidratul
muntaha padahal “tidak sholat”? Tapi apa arti sholat bila kata-kata dalam sholat
sebagai kalimat-kalimat Alloh SWT yang mesti dipatuhi tidak dijalani? Walau
demikian panggilan-panggilan sholat yang “melekat” di hati, senantiasa
terpanggil oleh panggilan sholat itu, sehingga hatinya ternyata “terbuka” untuk
iman, ganjarannya sampailah di “pintu” Surga, tinggal mau memasuki Surga itu
atau tidak? Kalau mau maka patuhilah dan jalanilah apa yang “dibacanya” dalam
sholatnya itu, berbuat baiklah sebagaimana Alloh SWT berbuat baik untuk manusia
serta seluruh mahluk, khususnya tentu terhadap diri sendiri, jadi berahlaklah
dengan ahlak Alloh SWT.
Pandanglah hal tersebut diatas sebagai pelajaran dalam “menilai” seorang
hamba, bahwa “ganjaran” baru akan didapat bila kita “melakukan sesuatu”. Ingin
“rumah” maka harus ada yang membangun rumah sesuai dengan yang diinginkannya
itu, mau “kendaraan” maka harus ada yang “membuat” kendaraan. Walaupun segala sesuatu sebenarnya telah tertulis di
Lauhil Mahfuz, akan tetapi tetap harus “dibentuk” maka “terbentuklah” di
hadapannya. Kendaraan Buraq yang mengisra mikrajkan Rasulullah Muhammad SAW
adalah “berasal” dari yang “langsung tertulis” di sisi Alloh SWT dan
“mengejawantah” menuruti tulisan itu yaitu ayat-ayat Alloh SWT langsung. Jadi
tidak sebagaimana Nabi Nuh AS yang membuat “perahu” di dunia ini dengan melalui
“tahapan-tahapan” walau juga menuruti tulisan yang telah tertulis di Lauhil
Mahfuz, sehingga jadilah “perahu” itu mengejawantah melalui “pekerjaan” Nabi
Nuh AS tersebut. Demikianlah terjadi “pengejawantahan” dari apa yang tertulis
di Lauhil Mahfuz, maka “pengejawantahan” Isra Mikraj dari ayat-ayat Al Quran
jelas akan ada “Realitas Duniawi”, bagaimana “Buraq” itu dibentuk dan terbentuk,
walau segala sesuatunya telah “tertulis” di Lauhil Mahfuz sebagaimana hal
“perahu” Nabi Nuh AS. Semua menunjukkan bagaimana semua ayat-ayat Al Quran
menjadi “Realitas”, atau dalam hal ini (Teknologi) Buraq adalah bagaikan
“sebuah ide” maka “ide” itupun menjadi “Realitas” yang sempurna. Jadi
“pandanglah” bagaimana tahap-tahap seorang hamba menjadikan “Buraq” itu sebagai
“kendaraan” yang sangat “Realistis” (karena diharap bagi umum, umat manusia
seluruhnya, sesuai rahmatNya pada segala mahluk), dan karena hal ini sebuah
“kekhususan” yaitu pencapaian ke sebuah Bintang yang tertulis jelas dalam Al
Quran, yaitu Bintang Syira yang merupakan Kehendak Alloh SWT bagaimana
ayat-ayat Al Quran itu sungguh-sungguh (akan dapat dibuktikan), bukan hanya
tulisan omong kosong khayal dan tanpa bukti. Dimana seorang hamba sebenarnya
hanya “mengikuti” yang tertulis saja, sebagai Taqdir yang mesti terjadi dan
harus dijalani. Kemudian pandanglah pula bagaimana seluruh semua Kitab-Kitab
SuciNya yang semua juga tertulis di Lauhil Mahfuz itu akan menjadi “Realitas”
sesungguhnya, dan itulah “Hari Agama” yang dijanjikan.
Sebagai jangkauan nyata wilayah sesungguhnya “kekalifahan manusia”
memang adalah (Teknologi) Buraq, teknologi Cahaya Diatas Cahaya yang dengan itu
manusia sungguh dapat mencapai Bintang, khususnya Bintang Syira, walau pada
kenyataannya tidaklah sederhana, bahkan tak selumrah yang terbayangkan. Bahwa
teknologi pesawat terbang hanyalah “gejala” (kekalifahan manusia itu) sedang
kesempurnaan sesungguhnya hanyalah di sisi Alloh SWT, semua dari “ketundukan”
Alam Semesta kepada Tuhannya (Sunnatullah). Akan tetapi terhadap seorang hamba
janganlah dengan iman, karena keimanan kalian harus dikembalikan kepada para
Nabi dan RasulNya dengan seluruh Kitab-Kitab Suci yang dibawanya, seperti
keimanan diri hambaNya ini justru atas mereka. Bahkan karena juga justru pintu
iman serta taubat akan “tertutup” atas kehadiran hambaNya ini, karena ketika
seluruh isi Kitab-KitabNya telah menjadi “kenyataan” maka dengan sendirinya
“iman” sudah tidak diperlukan lagi, “praktis dan otomatis” pintu taubat juga
akan “tertutup”. Hari Agama dimana seluruh “kebenaran” dari seluruh AgamaNya
akan menjadi “kenyataan”, akan ditarik seluruh mahluk kepada Tuhannya.
Bahwa semua menuju dan mengikuti apa yang dianggapnya sebagai Tuhannya,
akan tetapi akan “lenyaplah” Tuhan-Tuhan yang bathil, sedang yang dianggapnya
sebagai Tuhan itupun juga “ditarik” kepadaNya. Yang bathil pasti musnah lenyap
dan janji-janji hanyalah fatamorgana belaka. Itulah kalimat-kalimat Syaitan
yang demikian “melekat” padanya, dan telah menjadi “duri” dalam darah dagingnya
(sebagaimana yang dimakan itu atas yang bathil telah menjadi darah dagingnya).
Akan “musnah” Tuhan-Tuhan selain yang Memiliki Asma ul Husna. Kalimat-kalimat
syaitan itu adalah bathil berupa fatamorgana belaka, sedang kalimat-kalimat
Alloh SWT itu pasti benar sehingga apa yang disebut “Surga” pastilah “Surga
Sesungguhnya”, dimana dirinya pasti tidak akan ditinggalkan oleh Tuhan yang
sesungguhnya itu, karena memang bukan fatamorgana jadi sungguh hakekat.
Bahwa kebathilan dari kalimat-kalimat syaitan juga ada didalam Islam,
karena senantiasa menyerang “semua Agama”, sehingga seluruh semua Agama tanpa
kecuali ada dimasuki kalimat-kalimat syaitan itu. Hanya saja tiap Nabi dan
RasulNya pasti memiliki kalimat-kaliamat penyelamat yang merupakan syafaat bagi
orang-orang yang sungguh-sungguh beriman, yang menjadi hak preogatif para Nabi
dan RasulNya itu di sisi Alloh SWT atas masing-masing umatnya. Sehingga siapa
yang sungguh-sungguh beriman.pastilah “cahayanya” akan “bersesuaian” dengan
cahaya hakekat dari para Nabi dan RasulNya itu. Jadi selayaknya para Pemimpin
Agama justru bersama-sama “meneliti” kembali isi Kitab yang dibawanya itu.
Tidak perlu ada “ketersinggungan” karena semua Agama tanpa kecuali mengalami
hal sama.Bahwa seorang hamba memang sangat berharap bahwa Reformasi yang
dijalani Negeri ini, dapat mendukung dan sejalan sehingga dapat bersama-sama
menjalani “amanah” apakah dari sisi Agama oleh hambaNya ini, maupun kenegaraan
oleh Para Tokoh Reformasi, wallahu ‘alam bishshowwab. Winarno, masnano ponakan
bu Retti, Paron, Ngawi.