Bagaimanapun suatu isyarat yang
“benar” apakah semacam nubuat atau ramalan, maka manusia tinggal menunggu
taqdir tersebut menjadi kenyataan. Hadits-hadits tentang Akhir Jaman misalnya
atau tulisan-tulisan lain dalam Kitab-Kitab sebelumnya, khususnya dari para
Nabi dan RasulNya, pastilah akan menjadi kenyataan. Hanya saja ketika hal
tersebut datang bila jauh di luar perkiraan maka tidak akan mudah menerimanya.
Seperti hal Bani Israil ketika datang Nabi Muhammad SAW yang bukan keturunan
(golongan) Israil (Nabi Yakup AS) walau masih keturunan (masih dalam
perjanjian) Nabi Ibrahim AS (dengan Alloh SWT), juga sulit menerima. Kini umat
Islam bolehjadi akan “merasakan” juga, perasaan yang dialami Bani Israil bila
isyarat itu ternyata demikian dekat dengan pemahaman Syiah. Bahkan tidak bisa
lagi “membedakan” mana yang sungguh-sungguh dari (Al Kitab) Al Quran dan hadits
mana yang cenderung dari (ego) golongan. Walau itu jelas-jelas berkaitan dengan
sholawat yang Alloh bersholawat untuk Nabi, khususnya bacaan dalam “sholat”,
sehingga isi sholawat pasti menjadi “kenyataan”.
Bahwa rahmat dan barokah yang
dikaruniakan Alloh SWT kepada Nabi Muhammad SAW sungguh sebagaimana rahmat dan
barokah kepada Nabi Ibrahim AS. Apa itu “barokah”? Sepotong roti (gulai kambing)
menjadi banyak sama sebangun dengan roti (gulai) awal, bila sosok Nabi maka
keturunannya sedemikian rupa akan menjadi Nabi (“risalah sama” yang terus
sambung menyambung). Artinya secara hakiki Risalah Agama dari Nabi Muhammad SAW
akan terus sambung menyambung, sebagaimana risalah dari Nabi Ibrahim AS yang
diturunkan bagi Bani Israil (akan tetapi tidak ada lagi Nabi atau Rasul setelah
Nabi Muhammad SAW maka yang diturunkan Alloh adalah Pewaris Nabi, Ahli Sunnah
sebagai “penyambung sunnah” yang sama-sama berasal dari Alloh SWT.). Dalam hal
ini risalah itu melalui Fatimah putri suci Rasulullah SAW dan yang disucikan di
sisi Alloh SWT, dimana risalah itu terkumpul sebagai “Mushaf Fatimah”, segala
“kebenaran” akan terkumpul tersaring darimanapun datangnya, hal yang mungkin
belum dipahami oleh umat manusia, juga pada sebagian umat Islam, bahwa tiap
“kebenaran” dari dirinya pasti akan “terkumpul” dalam “Mushaf Fatimah” (dari
golongan manapun). Jadi jelaslah “Mushaf Fatimah” murni adalah Risalah Islam
yang dijanjikan dalam sholawat dan bukan Risalah suatu golongan. Sebagaimana
hal Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS serta seluruh
para Nabi dan Rasul dari “keturunan” Nabi Yakup AS (Israil) itu seharusnya bukanlah
“risalah Bani Israil” semata melainkan Risalah Islam, Risalah AgamaNya belaka.
Hanya saja kebanyakan manusia tidak dapat “membedakan”. Sehingga kecuali umat
Syiah mana mungkin umat Sunni dapat mengakui Mushaf Fatimah sebagai Risalah
Islam hakiki? Tidak heran bila akhirnya Nabi Muhammad SAW tidak bisa diterima
oleh (komunitas) Bani Israil karena ego Bani (golongan), yang sekali-sekali
bukan Ego Alloh SWT. Karena itulah “perasaan” macam apa sehingga (seperti Bani
Israil) maka umat Sunni juga tidak bisa menerima apa yang disebut Mushaf
Fatimah, mengapa?
Sebuah kenyataan yang menyebutkan
bahwa Mushaf Fatimah itu besarnya “tiga kali lipat” dari Al Quran biasa dan
tidak satupun “huruf-hurufnya” sama dengan Al Quran yang ada (Al Quran
berbahasa Arab), kalimat yang sangat terkenal pada golongan Sunni yang
dijadikan bukti “kesesatan Syiah”. Dan ketika datang keterangan dari seorang
hamba bahwa Mushaf Fatimah itu “sedemikian rupa” hanyalah isyarat bahwa kelak
akan “disempurnakan” Alloh bukan di Negeri Arab yang dengan sendirinya bukan
dengan “huruf” (bahasa) Arab. Adapun dengan keterangan bahwa betapa
“besaran-besaran Al Quran” ternyata justru sedemikian banyak “tersebar” di Alam
Semesta, di seluruh bumi-bumiNya di segala gugusan bintang gemintang, yang
diturunkan Alloh SWT dari Lauhil Mahfuz yang sama, sehingga dari bumi manapun (gugusan
bintang manapun) yang terpandang niscaya juga Al Quran yang sama semisal.
Bahkan bila Alloh SWT hendak menurunkan Kitab Suci (setelah Al Quran) dibumi
kita ini, niscaya Al Quran itu kembali yang akan diturunkanNya, sebagai tanda Al
Quran itu Kitab Suci Tersempurna, dan Lauhil Mahfuz telah penuh adalah dengan
ayat-ayat Al Quran. (Karena bagaimana mungkin akan mendapatkan “ilmu Quran”
paling hakekat tanpa diturunkanNya kembali Al Quran itu di hati para Pewaris
Nabi?). Hal ini bolehjadi menjadi “jawaban yang tidak dikehendaki”, dimana
ego-ego golongan terlanjur telah sangat-sangat kuat. Bila saja jawaban itu
persis sesuai dengan apa yang diinginkan?
Bolehjadi Taqdir Negeri ini memang
Adil Makmur, akan tetapi kalau harus berjuang sedemikian rupa, dengan
melepaskan semua “ego-ego diri”, maka tidak mudah melaksanakannya. Karena
itulah “ALAS KETONGGO ONE” adalah perusahaan yang “dirancang” sedemikian rupa
agar manusia mendapat “dana” demi tujuan-tujuan lebih besar dan luas hingga ke
bintang gemintang, rahmatan lil alamin yang sesungguhnya (baca tulisan sebelum
ini). Karena datangnya di saat-saat “kepercayaan” terhadap diri seseorang
(siapapun) saat ini sedemikian tipis, maka bolehjadi tidak mudah bagi seorang
hamba mewujudkan sesuatu sedemikian rupa yang pasti berbenturan dengan segala
ego-ego duniawi. Dimana bumi ini telah penuh dengan aliran-aliran hawanapsu
jauh dari fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya. Sebenarnya tidak ada kata
“terlambat” untuk mulai mengubah ahlak yang terlanjur saling melampaui batas
bahkan dengan baju Agama. Tidak hanya politik bahkan bisnispun banyak memakai
baju Agama, karena dakwah itu hanya mencari keridhoan Alloh, haruslah lepas
dari segala bentuk kepentingan diri “kedirian” ataupun kelompok. “Diri” tidak
lagi memiliki hak kecuali memenuhi hak Alloh belaka, baik atas dirinya atau
atas manusia seluruhnya serta Alam Semesta. Semoga manusia semakin dapat
mengerti menyadari dan memahami hakekat “kediriannya” di sisi Alloh SWT.
Wallahu alam bish showwab. (winarno, masnano).
No comments:
Post a Comment