Monday, July 15, 2013

ALAS KETONGGO ONE, Jawaban Nyata Taqdir Adil Makmur




Bagaimanapun suatu isyarat yang “benar” apakah semacam nubuat atau ramalan, maka manusia tinggal menunggu taqdir tersebut menjadi kenyataan. Hadits-hadits tentang Akhir Jaman misalnya atau tulisan-tulisan lain dalam Kitab-Kitab sebelumnya, khususnya dari para Nabi dan RasulNya, pastilah akan menjadi kenyataan. Hanya saja ketika hal tersebut datang bila jauh di luar perkiraan maka tidak akan mudah menerimanya. Seperti hal Bani Israil ketika datang Nabi Muhammad SAW yang bukan keturunan (golongan) Israil (Nabi Yakup AS) walau masih keturunan (masih dalam perjanjian) Nabi Ibrahim AS (dengan Alloh SWT), juga sulit menerima. Kini umat Islam bolehjadi akan “merasakan” juga, perasaan yang dialami Bani Israil bila isyarat itu ternyata demikian dekat dengan pemahaman Syiah. Bahkan tidak bisa lagi “membedakan” mana yang sungguh-sungguh dari (Al Kitab) Al Quran dan hadits mana yang cenderung dari (ego) golongan. Walau itu jelas-jelas berkaitan dengan sholawat yang Alloh bersholawat untuk Nabi, khususnya bacaan dalam “sholat”, sehingga isi sholawat pasti menjadi “kenyataan”.
Bahwa rahmat dan barokah yang dikaruniakan Alloh SWT kepada Nabi Muhammad SAW sungguh sebagaimana rahmat dan barokah kepada Nabi Ibrahim AS. Apa itu “barokah”? Sepotong roti (gulai kambing) menjadi banyak sama sebangun dengan roti (gulai) awal, bila sosok Nabi maka keturunannya sedemikian rupa akan menjadi Nabi (“risalah sama” yang terus sambung menyambung). Artinya secara hakiki Risalah Agama dari Nabi Muhammad SAW akan terus sambung menyambung, sebagaimana risalah dari Nabi Ibrahim AS yang diturunkan bagi Bani Israil (akan tetapi tidak ada lagi Nabi atau Rasul setelah Nabi Muhammad SAW maka yang diturunkan Alloh adalah Pewaris Nabi, Ahli Sunnah sebagai “penyambung sunnah” yang sama-sama berasal dari Alloh SWT.). Dalam hal ini risalah itu melalui Fatimah putri suci Rasulullah SAW dan yang disucikan di sisi Alloh SWT, dimana risalah itu terkumpul sebagai “Mushaf Fatimah”, segala “kebenaran” akan terkumpul tersaring darimanapun datangnya, hal yang mungkin belum dipahami oleh umat manusia, juga pada sebagian umat Islam, bahwa tiap “kebenaran” dari dirinya pasti akan “terkumpul” dalam “Mushaf Fatimah” (dari golongan manapun). Jadi jelaslah “Mushaf Fatimah” murni adalah Risalah Islam yang dijanjikan dalam sholawat dan bukan Risalah suatu golongan. Sebagaimana hal Nabi Daud AS, Nabi Sulaiman AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS serta seluruh para Nabi dan Rasul dari “keturunan” Nabi Yakup AS (Israil) itu seharusnya bukanlah “risalah Bani Israil” semata melainkan Risalah Islam, Risalah AgamaNya belaka. Hanya saja kebanyakan manusia tidak dapat “membedakan”. Sehingga kecuali umat Syiah mana mungkin umat Sunni dapat mengakui Mushaf Fatimah sebagai Risalah Islam hakiki? Tidak heran bila akhirnya Nabi Muhammad SAW tidak bisa diterima oleh (komunitas) Bani Israil karena ego Bani (golongan), yang sekali-sekali bukan Ego Alloh SWT. Karena itulah “perasaan” macam apa sehingga (seperti Bani Israil) maka umat Sunni juga tidak bisa menerima apa yang disebut Mushaf Fatimah, mengapa?
Sebuah kenyataan yang menyebutkan bahwa Mushaf Fatimah itu besarnya “tiga kali lipat” dari Al Quran biasa dan tidak satupun “huruf-hurufnya” sama dengan Al Quran yang ada (Al Quran berbahasa Arab), kalimat yang sangat terkenal pada golongan Sunni yang dijadikan bukti “kesesatan Syiah”. Dan ketika datang keterangan dari seorang hamba bahwa Mushaf Fatimah itu “sedemikian rupa” hanyalah isyarat bahwa kelak akan “disempurnakan” Alloh bukan di Negeri Arab yang dengan sendirinya bukan dengan “huruf” (bahasa) Arab. Adapun dengan keterangan bahwa betapa “besaran-besaran Al Quran” ternyata justru sedemikian banyak “tersebar” di Alam Semesta, di seluruh bumi-bumiNya di segala gugusan bintang gemintang, yang diturunkan Alloh SWT dari Lauhil Mahfuz yang sama, sehingga dari bumi manapun (gugusan bintang manapun) yang terpandang niscaya juga Al Quran yang sama semisal. Bahkan bila Alloh SWT hendak menurunkan Kitab Suci (setelah Al Quran) dibumi kita ini, niscaya Al Quran itu kembali yang akan diturunkanNya, sebagai tanda Al Quran itu Kitab Suci Tersempurna, dan Lauhil Mahfuz telah penuh adalah dengan ayat-ayat Al Quran. (Karena bagaimana mungkin akan mendapatkan “ilmu Quran” paling hakekat tanpa diturunkanNya kembali Al Quran itu di hati para Pewaris Nabi?). Hal ini bolehjadi menjadi “jawaban yang tidak dikehendaki”, dimana ego-ego golongan terlanjur telah sangat-sangat kuat. Bila saja jawaban itu persis sesuai dengan apa yang diinginkan?
Bolehjadi Taqdir Negeri ini memang Adil Makmur, akan tetapi kalau harus berjuang sedemikian rupa, dengan melepaskan semua “ego-ego diri”, maka tidak mudah melaksanakannya. Karena itulah “ALAS KETONGGO ONE” adalah perusahaan yang “dirancang” sedemikian rupa agar manusia mendapat “dana” demi tujuan-tujuan lebih besar dan luas hingga ke bintang gemintang, rahmatan lil alamin yang sesungguhnya (baca tulisan sebelum ini). Karena datangnya di saat-saat “kepercayaan” terhadap diri seseorang (siapapun) saat ini sedemikian tipis, maka bolehjadi tidak mudah bagi seorang hamba mewujudkan sesuatu sedemikian rupa yang pasti berbenturan dengan segala ego-ego duniawi. Dimana bumi ini telah penuh dengan aliran-aliran hawanapsu jauh dari fitrah kemanusiaan yang sesungguhnya. Sebenarnya tidak ada kata “terlambat” untuk mulai mengubah ahlak yang terlanjur saling melampaui batas bahkan dengan baju Agama. Tidak hanya politik bahkan bisnispun banyak memakai baju Agama, karena dakwah itu hanya mencari keridhoan Alloh, haruslah lepas dari segala bentuk kepentingan diri “kedirian” ataupun kelompok. “Diri” tidak lagi memiliki hak kecuali memenuhi hak Alloh belaka, baik atas dirinya atau atas manusia seluruhnya serta Alam Semesta. Semoga manusia semakin dapat mengerti menyadari dan memahami hakekat “kediriannya” di sisi Alloh SWT. Wallahu alam bish showwab. (winarno, masnano).

No comments:

Post a Comment