Saturday, July 13, 2013

Perkenalan Perusahaan



PERKENALAN PERUSAHAAN

Bismillahirohmannirrohim
ALAS KETONGGO ONE adalah perusahaan yang didalamnya insyaAlloh terkandung unsur jihad sehingga harus lepas dari segala bentuk hawanapsu dari sisi kemanusiaan, ego-ego kepemilikan misalnya, karena itu tidak ada yang disebut “nilai saham” seperti  hal masjid, maka dalam hal ini nama pemilik hanyalah sarana duniawi belaka, hingga kepada suatu tujuan Ego Alloh semata, kepada suatu pencapaian fitrah Alloh, ahlak Alloh, dimana penglihatan. pendengaran dan hati (akal) bukan dari diri sendiri lagi melainkan dari Alloh SWT. Sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya akan termasuk orang-orang yang berjihad. Karena jihad itu intinya hanya untuk Alloh yang sungguh lepas dari segala hawa napsu, dari segala sisi kemanusiaan, khususnya ketika Alloh dan rasulNya lebih utama dari diri sendiri maka “kedirian”pun lenyap.
Saat demikian terpancar dari dalam dirinya cahaya yang menyatu dengan cahaya seluruh para nabi dan rasulNya, sama-sama dalam ridho Alloh SWT. Karena tiap kebenaran walau tidak terlihat hasilnya pasti cahaya, prilaku yang menjadi bagian dari ayat-ayatNya, itulah ahlak Alloh, fitrah Alloh. Kebenaran hakiki itu harus lepas dari sisi kemanusiaan, dan pasti tidak bercampur dengan hawanapsu terlepas dari segala sifat buruk yang hasilnya adalah api, terpedaya oleh gangguan syetan, lepas kendali sehingga justru terlepas dari tali Alloh, melenceng dari ayat-ayat Alloh, karena ingin dipuji, sifat uyub, riya dansebagainya, banyak pekerjaan sia-sia karena hal ini.
Sangat tidak benar sosok-sosok para nabi dan rasulNya menjadikan harta yang dititipkan Alloh sebagai milik pribadi padahal pribadinya itu telah lenyap menjadi pribadi Alloh, Ahlak Alloh, pandangan-pandangannya adalah pandangan Alloh. Pastilah semua harta itu dijadikan rahmat bagi manusia. Maka janganlah terpedaya oleh bisikan syetan bahwa nabi belum tentu semua “amanah” padahal apa yang di sisi Alloh lebih baik dari dunia beserta seluruh isinya. Bahwa prilaku  taqwa itu sendiri adalah juga prilaku yang bukan dari dirinya sendiri lagi melainkan telah menjadi prilaku Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang sehingga bukanlah prilaku taqwa bila itu tidak bijak, tidak adil, tidak welas asih yaitu mereka yang masih demikian terpedaya oleh sifat keduniawian.
Ketiadaan Nabi setelah Rasululloh Muhammad SAW maka selayaknya manusia berharap kepada Pewaris yang dijanjikan Alloh yang akan terus diturunkanNya hingga Akhir Jaman. Dimana tanda-tandanya pasti sama seperti para Nabi dan RasulNya yaitu memiliki pandangan penglihatan pendengaran dan hati (akal) bukan dari diri sendiri lagi melainkan dari Alloh SWT sehingga juga dapat membawa manusia kepada Alloh SWT, demikianlah Alloh SWT menurunkan Pewaris para nabi dan rasulNya.
Jadi hanya bila menjadi bagian dari kebenaran hakiki barulah bisa disebut  jihad, karena itu tidak serta merta sebuah perusahaan dapat memenuhi unsur Jihad, melainkan sebuah cita-cita idealis yang harus diperjuangkan dirintis dibangun mirip dengan membangun masjid. Dimana masjid itu aslinya lepas dari segala aliran yang pada masa Rasululloh SAW hidup aliran-aliran ini sama sekali tidak ada. Karena itu umat masih merupakan sesuatu yang utuh padu tidak ada  perpecahan semua berada pada fokus pandangan kesaksian yang sama Tidak ada Tuhan melainkan Alloh dan Muhammad itu Rasululloh. Masjid hakiki itu selayaknya persis sama perannya seperti masjid Nabawi dan masjidil Haram (Ka’bah) milik semua baik NU Muhammadiyah Sunni Syiah yang nyata-nyata semua hanya “nama-nama duniawi” belaka, penamaan-penamaan atas aliran-aliran. Seperti hal Ka’bah sebuah masjid dimanapun itu selayaknya bukan hanya milik suatu golongan kelompok, Rumah Alloh adalah bagi seluruh hamba Alloh, umat Rasululloh Muhammad SAW. Maka bagaimana jawaban kalian bila Alloh SWT kelak bertanya  mengapa hambaKu tidak boleh beribadah di rumahKu? (semoga tidak menjadi batal amal yang untuk membangun “rumah Alloh”, hanya prilaku pribadi-pribadilah yang bertanggung jawab.)
Sayang sekali hadits tentang terpecah umat Islam menjadi 73 golongan dan hanya satu golongan yang (disebutkan) masuk Surga, telah disalah artikan sebagai hanya satu “Nama Duniawi” padahal “Penamaan” itu justru buatan manusia belaka yaitu yang terinspirasi untuk “memberi” nama sesuai “Nama golongan yang masuk Surga” dalam hadits tersebut, dan sekali-sekali bukan Nabi Muhammad SAW sendiri yang mendirikannya. Bahwa semua “Penamaan-Penamaan” oleh manusia bukanlah hakekat sesungguhnya bahkan orang-orang yang tidak menjadi anggota suatu golonganpun juga tidak mau dirinya disebut sebagai golongan Ahlussunnah wal jamaah yaitu atas “penilaian manusia” bahwa dia termasuk golonganku karena itu dia (akan) masuk surga, karena di luar golonganku pasti masuk neraka, hanya golongankulah yang masuk surga.
Demikian yakinnya dia karena dirinya mengira termasuk golongan Ahlussunnah wal jamaah yang disebut  hadits, dan karena dia sungguh mengaku ikut dan sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan golongan tersebut. Seakan membuat kelompok dan memerangi kelompok lain yang tidak sepaham, diri atau golongannyalah yang paling benar.
Tidak demikian ketika hadits itu lahir maka di sisi Alloh SWT memang telah terbentuk tertulis 73 jalan bagi seluruh umat Islam. Dan ada satu jalan yang sungguh sangat “terang benderang” menembus langit demi langit ke seru sekalian alam, itulah jalan para Pewaris Nabi yang tergaris sesuai surah Al Fatehah, yaitu yang diberi nikmat sebagaimana nikmat yang telah Alloh SWT berikan kepada para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya bukan yang dimurkai dan yang sesat.
Sebagaimana para Nabi dan RasulNya maka para Pewaris juga memiliki penglihatan pendengaran dan hati (akal) bukan dari dirinya sendiri lagi melainkan dari Alloh SWT yaitu sebagai ciri hakiki dari Pewaris Nabi. Sesuai surah Al Fatehah justru yang “menyatukan” seluruh Agama yang diturunkan Alloh SWT adalah para Pewaris  Nabi tersebut, sehingga ilmu yang diturunkan Alloh meliputi seluruh Agama seluruhnya semuanya tanpa kecuali, tidak suatu agamapun melainkan terliputi walau di bintang gemintang. Cukuplah mengikuti satu saja prilaku (Alloh) di antara Nabi-Nabi yang diturunkanNya, maka telah mengakui dan melaksanakan Agama dari seluruh semua Nabi-NabiNya tanpa kecuai. Tidak seorang Nabipun yang tidak mengakui Nabi-Nabi lain yang Alloh turunkan walau di bintang gemintang. Demikianlah cahaya yang sangat “terang benderang” dari para Pewaris Nabi (padahal mereka bukan Nabi atau Rasul) yang (sesuai surah Al Fatehah) ilmunya meliputi segala seluruh AgamaNya di muka bumi ini.
Maka pandanglah bagaimana masing-masing umat dari para NabiNya saling bertengkar tentang ajaran AgamaNya. Padahal seluruh para Nabi dan RasulNya bagaikan membangun “sebuah rumah” yang sungguh saling melengkapi antara satu Nabi dengan Nabi lainnya. Dapat dikatakan Ahlussunnah wal jamaah yang dimaksud hadits hanyalah yang termasuk dalam cahaya hakiki yang sangat “terang benderang” dari para Pewaris Nabi tersebut, yang semuanya hanyalah cahaya Alloh SWT belaka, dari pandangan-pandangan Alloh belaka, Ahlak Alloh, Fitrah Alloh. Dalam Agama tugas mereka dengan ilmu Alloh hanya menggiring menghimpun seluruh umat sebagai satu kesatuan sebagaimana pada masa Rasululloh SAW. Selayaknya dengan tidak membentuk satu golonganpun, cukuplah ilmu hakiki para Pewaris Nabi itu dapat memberi tahu memberi penjelasan tentang apa yang selama ini “diperselisihkan”. Bahkan juga menyatukan segala Agama yang diturunkan Alloh SWT walau di bintang gemintang, yang padanya sungguh Alloh juga menciptakan mahluk seperti di bumi ini, semua adalah sesuai “KeMaha Luasan” Surga (Adam) yang sesungguhnya Tanpa Batas, di “sisi”Nya itu. Sungguh Alloh SWT pula yang disembah mahluk bintang Syira, yang padanya juga Alloh ciptakan matahari dan bulan bercahaya.
Dengan tingkat teknologi saat ini betapa sangat mengherankan bila para Ilmuwannya tidak juga dapat memahami bahwa kesempurnaan “masa depan” manusia adalah pada Area Cahaya diatas Cahaya (Nuur Alloh SWT). Area yang sifatnya tidak lagi Lokalitas tetapi adalah Non Lokalitas, Tanpa Batas, dimana kehidupan “kekal” seharusnya lebih dapat termaklumi, karena sungguhkah terjadi perjalanan Antar-Bintang tanpa hidup kekal? Semua menjadi jelas dan eksakta, tidak bisa tidak Agama itu sifatnya menjadi sangat pasti alam, sangat-sangat rasional. Potensi kemanusiaan paling hakiki yang disebut “fitrah” yang ada pada diri manusia menjadi sangat tampak jelas, itulah “potensi Surgawi” yang demikian nyata diisyaratkan tersyirat di dalam semua Kitab SuciNya walau diceritakan dalam bentuk “kejatuhan Adam dari Surga” serta upaya “pengembalian ke Surga lagi”.
Sayang kata-kata sederhana itu tiba-tiba menjadi sangat sempit maknanya, padahal sesungguhnya sangat kompleks, tidak sesederhana yang terbayangkan selama ini. Apa itu Surga, dimana Surga itu? (Yang sejak dulu hingga sekarang dan selamanya adanya di “sisi” Alloh SWT belaka, dan tidak pernah beranjak dari tempat kedudukannya). Apa itu bumi, ciptaan macam apa bumi itu? Betapa imej yang berkembang, bumi itu ya hanya  bumi kita ini, sebagaimana Adam itu ya manusia pertama di bumi kita ini (yang bolehjadi Adam itu di turunkan dari atas sana, dari Surga melewati segala bintang gemintang terus dan terus meluncur sedemikian rupa hingga sampailah di bumi kita ini yang hanya seperti  debu di alam semesta.).
Bahwa semua perkataan di sisi Alloh kalimat-kalimat di sisi Alloh sifatnya Non Lokalitas yang tanpa batas dan akan tetap demikian selamanya, tidak pernah menjadi bersifat Lokalitas, itulah yang di “sisi”Nya, SurgaNya. Semua ini sesuai  Nama-NamaNya yang Segala Maha, Asma ul Husna. Karena itu satu perkataan adalah dalam jumlah yang juga tanpa batas, sehingga satu perkataan dapat “mewakili” seluruh perkataan yang “sama semisal”. Pembentukan sosok Adam di bumi kita ini akan juga “mewakili” pembentukan sosok “semisal Adam” sekaligus sedemikian rupa, di segala penjuru bintang-gemintang. Pembentukan langit dan bumi juga menggambarkan betapa banyak terjadi bentukan-bentukan “semisal” sekaligus serentak (dalam hal ini berupa gugusan-gugusan bintang belaka). Alloh SWT  tidak membentuk pasir yang hanya satu butir (dengan sifatNya yang Segala Maha, Non Lokalitas) melainkan butir-butir pasir yang banyak tanpa batas, demikian pula bumi dengan pemandangan langitnya yang “semisal” yaitu matahari dan bulan bercahaya, tentu juga demikian dengan sosok-sosok “semisal” Adam dengan “fitrah Alloh” yang sama semisal pula.
Sesuai KeMaha Luasan Surga di “sisi”Nya, sesuai KeMaha Luasan “sisi”Nya itu yang Tanpa Batas, maka “pengejawantahan” sosok Adam dari Surgapun terjadi “serentak” sedemikian rupa di “segala bumi” yang  jumlahnya tanpa batas tersebut dan yang karenanya semua sama-sama memiliki “fitrah Surgawi”. Agama yang sama semisal serta Al Quran yang “semisal” pula yang Alloh SWT turunkan pada bumi-bumiNya yang lain. Jadi sesungguhnya betapa banyak “besaran-besaran Al Quran” yang sedemikian rupa tersebar di seru sekalian alam segala penjuru bintang gemintang, di seluruh bumi-bumiNya. Akan tetapi semua sungguh  “semisal” karena diturunkan dari Lauhil Mahfuz yang sama, nilai-nilai Surgawi dari “sisi” Alloh yang sama. Dalam hal ini Alloh juga telah memperlihatkan kepada para Pewaris yang diKehendakiNya dengan pemandangan yang luar biasa terang benderang betapa “besaran-besaran Al Quran” itu sedemikian rupa. Dimana di bumi kita ini saja bila Alloh SWT hendak menurunkan “Kitab Suci”, maka  niscaya “Al Quran” kembali yang akan diturunkanNya yaitu dari Lauhil Mahfuz yang sama, khususnya kepada para Pewaris Nabi yang diKehendakiNya. Maka bagaimana mungkin bisa memiliki Ilmu Quran yang hakiki, tanpa diturunkanNya kembali Al Quran itu di hatinya? Hal demikian karena memang telah sempurna Kitab Suci yang diturunkanNya dan tidak akan berubah hukum Alloh itu untuk selama-lamanya.
Terpandang sedemikian rupa “besaran-besaran Al Quran” itu (Pewaris Nabi yang diKehendakiNya tentu lebih mengetahui), maka seakan besarnya menjadi berkali lipat dari Al Quran biasa. Dan bila diturunkan bukan di negeri Arab, maka seakan “huruf-hurufnya” menjadi tidaksama dengan Al Quran yang ada. Hal yang demikian bagi Pewaris Nabi sebagai sesuatu yang biasa, karena Al Quran pada bumi-bumiNya yang lain bahkan dengan bahasa yang tak terbayangkan. Dan semua ini sebenarnya hanya dapat berarti bahwa “Ilmu Quran” itu di Akhir Jaman akan disempurnakan Alloh SWT bukan di Negeri Arab, jadi bukan dengan bahasa atau “huruf” Arab. Walau pada kenyataannya apa yang dikatakan diisyaratkan oleh para Pewaris Nabi hanya dapat dimengerti oleh diri mereka sendiri, dimana orang awam belum tentu dapat memahami bahwa itu hanya isyarat diantara mereka saja. Artinya tidak akan mengerti kecuali yang mendapat “petunjuk” seperti mereka pula. Yang jelas untuk dapat menundukkan langitNya dan bumiNya juga hanya dengan Alloh. Jadi selayaknya Surga yang sifatnya “Serba Non Lokalitas” jangan dipahami sebagai yang bersifat Lokalitas.
Dewasa ini “pencarian” planet-planet  semisal bumi sebagai hal yang sangat menarik sehingga sangat gencar dilakukan, tapi sayang sekali petunjuk Agama dikesampingkan. Para Ilmuwannyapun tidak mempercayai Hari Berbangkit juga kehidupan kekal di Akhirat. Akan tetapi dengan semakin memahami sifat-sifat Non Lokalitas pada Alam yang pada hakekatnya adalah dari Dia Sendiri, Dzat yang memiliki Asma ul husna (pandanglah bagaimana akan terbukti semua pemahaman akan ditarik kepadaNya, termasuk ilmu yang dikembangkan para Ilmuwan), yang dipetikkan dari Nama-NamaNya Sendiri, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri, Pemujian bagi DiriNya Sendiri. Dan karena Alloh adalah Dzat sebagaimana Nama-NamaNya Terbaik, Asma ul husna. Di dalam EsaNya “perpaduan” Nama-NamaNya adalah gerak kekal Alam Semesta, “perpaduan” disini dapat berarti “Pemujian bagi DiriNya Sendiri”, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri, itulah makna EsaNya atas Asma ul husna, sifat-sifat Non Lokalitas senantiasa melekat padaNya. Di “sisi”Nyalah fitrah segala sesuatu, qadar-qadar hakiki semua ciptaan, tidak sesuatupun terjadi melainkan atas izinNya, semua dalam pengetahuanNya, tidak sesuatupun yang tidak diketahuiNya, segala dalam “genggamanNya”. Maka mulailah memahami bahwa yang “dicari” itu juga bumi-bumiNya sebagaimana bumi kita ini.
Pandanglah, ketika Yang Awal adalah juga Yang Akhir maka “Segala Waktu” adalah dalam “genggaman”,  “Segala Waktu” tercakup di dalamnya, tidak ada waktu yang tidak tercakup di dalamnya. Waktu apapun akan “terdata”, sekilas apapun jeda waktu itu niscaya akan dapat “terpandang” kembali, akan dapat ditemukan, walau bagaikan sebutir pasir (ataupun sebesar zarah) di tengah Lautan Padang Pasir yang sangat luas niscaya dapat ditemukan. “Data Waktu” itu tidak akan lenyap, demikianlah perumpamaan “Genggaman Tuhan” yang Paling Awal dan tidak berawal, yang Paling Akhir dan tidak berakhir, Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin. Segala sesuatu apapun itu niscaya terletak “Antara” Yang Awal dan Yang Akhir (pahamilah pengertian ini dengan sesempurna mungkin). “Segala Waktu”, segala “Kilasan-Kilasan waktu apapun itu niscaya terletak di “Antara” Nama-NamaNya Yang Awal dan Yang Akhir (yang ketika Memuji DiriNya Sendiri maka terbentuklah “Segala Waktu”).
Tersimpan terdata sedemikian rupa segala prilaku mahluk apapun itu, juga segala prilaku manusia walau berusaha disembunyikan sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya di “sisi” Alloh itu perbuatan yang sia-sia belaka. Di Area Tanpa Batas sosok manusia hanya bagaikan “kilasan-kilasan waktu” belaka (karena sedemikian pendek umur manusia itu dibandingkan waktu yang Tanpa Batas), yang “Terekam”, Terdata sedemikian rupa di “sisi” Alloh SWT. Dan “data” itu dapat dipanggil kembali, itulah perumpamaan Hari Berbangkit yang dijanjikan, maka adakah yang lenyap “Antara” Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin? Bahkan segala sesuatu, segala mahluk di segala bumi, di seluruh bumi-bumiNya di segala gugusan-gugusan bintang gemintang segalanya tercatat, terdata secara sangat sempurna, tidak ada yang tidak diketahuiNya (walau itu seekor semut hitam yang merayap di atas batu hitam di saat gelap gulita) , segala dalam pengetahuanNya, dalam “GenggamanNya”. Demikian itulah Dzat Yang Maha Mengetahui, mengetahui segalanya Tanpa Batas.
Manusia seakan dapat menyembunyikan sedemikian rupa dalam sifat-sifat yang sangat Lokalitas (demikian terbatas), kesementaraan (karena hanya kilasan waktu), dalam jeda-jeda waktu yang sempit, bahkan merasa demikian aman, karena segala bukti telah dilenyapkan, semua saksi dapat ditundukkan justru menjadikan mereka semua terlibat dalam konspirasi. Betapa banyak pandangan yang terperangkap dalam Lokalitas-Lokalitas sempit seperti itu. Tak terkecuali dalam prilaku beragama, sehingga masing-masing merasa “paling benar”. Selayaknya “kebenaran” itu harus diuji dengan Sumber Kebenaran itu Sendiri  yang Maha Benar lagi Maha Mengetahui. Apa saja yang dikatakan dianggap dari Alloh SWT ujilah dengan Asma ul husna, tidak akan gugur bila itu sungguh kalimat-kalimatNya, ayat-ayatNya. Adil dari keMaha AdilanNya, bijak dari KeMaha BijaksanaanNya, suci dari keMaha SucianNya. Alloh itu Maha Kekal gugurlah bila tidak kekal, yang Maha Hidup maka gugurlah bila mati (walau matinya cuma satu detik). Yang bernyawa itu pasti mati, bagaimana bisa manusia terjerumus menyembah mahluk serta ciptaan-ciptaan lain?
“Keberhasilan” yang dicapai tidak lebih karena sedemikian rupa dapat memanfaatkan “ketidak tahuan” umat, bahkan dialihkan diganti dengan kalimat-kalimat cerita lain yang menyesatkan menjadikan umat semakin jauh dari hakekat sesungguhnya. Janganlah memanfaatkan “ketidak tahuan” umat yang terkadang suatu yang kecil kesalahan yang dianggap kecil tanpa penjelasan memadai dapat berakibat  besar, dan sangat fatal. Karena hakekat beragama itu justru untuk “tahu” hingga mencapai kebenaran sesungguhnya yang paling benar, mengungkapkannya dengan jujur tidak menyembunyikannya padahal tahu itulah yang benar. Maka yang mesti diikuti adalah orang yang sungguh-sungguh takut azab Alloh, yang sungguh-sungguh memiliki pengetahuan tentang azabNya itu (yang tentu dapat menguraikan gambaran-gambaran tentang azabNya itu dengan benar dan jelas). Orang yang sungguh mengenal azabNya tidak mungkin berani untuk bermain kata-kata pada ayat-ayatNya kalimat-kalimatNya. Hanya orang yang sesungguhnya tidak mengetahui hal azabNya dengan benar maka berani mempermainkan pemahaman ayat-ayatNya kalimat-kalimatNya, orang yang sebenarnya tidak takut pada Alloh, menjadi penentang paling keras hingga di akhir hidupnya diperlihatkan kepadanya akibat perbuatannya itu. Akibat sangat tragis antara lain: betapa umat berduyun-duyun justru meninggalkan Tuhannya atau sebaliknya seakan Tuhan meninggalkan umat tersebut. Jadi ujilah dan ujilah kembali dengan Asma ul husna, karena Agama itu “akal” dan bukan dogma yang diterima walau secara buta, Agama harus teruji ketika diuji, sehingga “kebenaran” itu tampak dengan sesungguh-sungguhnya.
Bahwa “pengejawantahan” Adam (Surgawi) adalah sesuai keMaha Luasan Surga itu sendiri, dimana segala bumi, segala bintang gemintang “tercakup”. Bahkan pada satu bumi kita ini saja “pengejawantahan” Adam Surgawi juga serentak terbentuk di segala penjuru belahan-belahan bumi ini sendiri. Maka demikianlah “permisalan” wujud-wujud mahluk manusia yang terbentuk antara satu belahan bumi dengan belahan bumi yang lain (yang hakekatnya juga tidak berbeda dengan keserentakkan mahluk-mahluk yang terbentuk di  segala bumi-bumiNya, yang istilah agama diturunkan dari Surga), sehingga pasangan Adam Hawa yang terbentuk di Tanah Arab akan semisal dengan yang terbentuk di pelosok benua Amerika, Afrika, Cina ataupun (Irian Jaya) Papua. Yang masing-masing membentuk komunitas untuk saling kenal mengenal.
Jadi pandanglah fitrah Alloh, sunnatullah, nilai-nilai Surgawi yang berlaku di seru sekalian alam bintang gemintang  (bukan Cuma di bumi kita ini Agama Alloh itu berlaku), untuk tidak terlalu terpengaruh pada teori-teori yang ada (yang mungkin katanya bersumber dari Agama), sehingga turunnya pasangan Adam Hawa dari Surga menjadi demikian dipersempit Cuma di Tanah Arab. Apakah sungguh di pelosok Papua itu berasal dari komunitas Arab? Padahal “perbedaan” antar pelosok bumi hanyalah “pelajaran” betapa juga terjadi perbedaan bahkan tak terbayangkan bila antar-bumi Antar-Bintang, dan karena memang alam semesta ini dipenuhi oleh “perbedaan”, walau dianggap “kembar” misalnya, tetap ada “perbedaan”, karena itu yang ada sebenarnya “permisalan” yang semisal. Maka dengan “terbuktinya” betapa pengejawantahan Adam Surgawi sungguh sekaligus terjadi di belahan-belahan bumi ini sendiri, artinya penciptaan atau terbentuk mahluk di bumi-bumiNya yang lain tidak harus terjadi “penyeberangan” sosok-sosok mahluk dari satu bumi ke bumi lainnya atau perjalanan antar bintang. Bahwa hukum Alloh pula yang berlaku di Bintang Syira sebagaimana yang tertulis jelas dalam ayat-ayat Al Quran, Alloh juga yang disembah mahluk Bintang Syira, dimana nilai-nilai Surgawi adalah sama semisal dengan apa yang kita pandang di bumi kita ini.
Bahwa belenggu-belenggu “keterbatasan” yang sangat Lokalitas sudah selayaknya “dilepas” sehingga sungguh dapat memandang secara Tanpa Batas yaitu pada nilai-nilai Surgawi saja. Yang sebenarnya berlaku di seru sekalian alam bintang-gemintang, jadi mengertilah tentang Islam yang rahmatan lil alamin, dimana (teknologi) Buraq yang demikian tersyirat tertulis nyata dalam Al Quran menunjukkan wilayah nyata “ilmu Quran” yang hakiki di alam semesta. Karena itu jangan heran bila di Akhir Jaman maka Pewaris Nabi secara khusus diberi pengetahuan nyata yang dalam hal ini adalah (teknologi) Buraq (teknologi Cahaya diatas Cahaya), yaitu sesuai wilayah Al Quran itu sendiri. Sehingga makna rahmatan lil alamin bukanlah omong kosong yang tidak mungkin terbukti dengan kenyataan  ilmu-ilmu (juga ilmu Quran) yang dipegang umat Islam saat ini, dianggap telah sangat ketinggalan jaman. Maka “kelebihan ilmu Quran” yang ada dalam genggaman para Pewaris Nabi hakiki adalah (teknologi) Buraq ini, sehingga sungguh akan mencapai bintang-bintang khususnya bintang Syira karena tertulis jelas dalam Al Quran, dan memang para Pewaris Nabi hakikilah yang sesungguhnya akan dapat merealisasikan semua isi Al Quran itu di Alam Semesta Bintang Gemintang, sehingga nyatalah “perbedaan”nya kelak.
Pemahaman Agamapun selayaknya jangan lagi mengikuti atau masih demikian terpengaruh oleh belenggu-belenggu “keterbatasan”. Karena fitrah Alloh itu sungguh Realistis dan yang Realistis itu adalah Tanpa Batas, sebagaimana KeMaha BesaranNya, KeMaha LuasanNya, yaitu wilayah “sisi”Nya itu. Dan karena itulah pada akhirnya segala mahluk di segala bumi di segala penjuru bintang gemintang akan “dipersatukan” dalam suatu tempat wilayah yang kita kenal sebagai “Surga”. Maka pandanglah bagaimana belenggu-belenggu “keterbatasan” itu demikian membelenggu manusia membentuk kelompok-kelompok aliran-aliran golongan-golongan. Padahal pada tiap Nabi Alloh turunkan kebenaran yang bila “diteliti” sungguh-sungguh adalah “semisal”, semua mengikuti fitrah Alloh masing-masing belaka. Persis seperti perkembangan ilmu-ilmu menjadi  matematika, fisika, kimia, kedokteran, bahasa, biologi danseterusnya, yang pada masing- masingnya sungguh Alloh turunkan “kebenaran”. Janganlah suara burung perkutut menjadi tidak diakui (dianggap salah) sebagai “fitrah Alloh” hanya karena kita adalah komunitas dengan suara ayam, sebagaimana Matematikawan juga mengakui adanya “kebenaran” pada ilmu-ilmu sosial juga bahasa danseterusnya.
Jadi baik golongan syiah, Sunni, NU, Muhammadiyah danseterusnya sungguh Alloh turunkan petunjuk pada masing-masingnya. Karena itu bila belenggu-belenggu “keterbatasan” dilepas, maka akan terjadi “kewajaran” atas perbedaan-perbedaan, sebagaimana antara satu bumi dengan bumi lainnya yang tidak berapa lama lagi pasti terbukti,  khususnya bintang Syira, walau sungguh belum terbayangkan hingga saat ini. Yang jelas Lingkup Pewaris Nabi adalah seru sekalian alam bintang- gemintang, yang nyata-nyata tidak hanya sebumi, dan semua ini adalah sesuai dengan surah al fatehah, yang  pada masa lalu secara jelas diisyaratkan dengan perjalanan Buraq. Jadi tidak layak manusia menilai dalam “keterbatasan”, atau menilailah dengan pandangan Alloh yang Tanpa Batas, maka pastilah justru akan mengakui masing-masing hidayah yang sungguh sama-sama berasal dari Alloh SWT, walau itu hanya satu kalimat. Kemudian biarlah perkembangan masing-masing Agama khususnya dari masing-masing Nabi itu Alloh SWT Sendiri yang akan menariknya kembali kepadaNya. Kita ini sungguh terbiasa dengan ilmu-ilmu kimia, fisika, matematika, bahasa danseterusnya, yang ternyata semua saling berlomba menyempurnakan kehidupan, akan tetapi mengapa dalam beragama tidak? Padahal “semisal” itulah seluruh para Nabi dan Rasul yang diturunkanNya yaitu untuk saling menyempurnakan bagaikan membangun “sebuah rumah” yang secara hakekat sungguh Tanpa Batas.
Selayaknya renungkanlah pernyataan ini dengan tenang dan sabar, bahwa mereka yang tergabung dalam golongan Syiah semua akan datang menuju Alloh SWT, kemudian sedemikian rupa “terpecah” untuk masuk ke dalam 73 jalan yang telah disediakan sebagaimana yang termaksud dalam hadits. Masing-masing diri akan secara otomatis berada pada jalannya masing-masing sesuai menurut “cahaya yang terpancar dari dalam dirinya, yaitu akibat prilakunya di dunia ini”, kemudian hanya ada satu jalan yang “bersesuaian” dengan cahaya para Nabi dan RasulNya, dan itulah golongan (Jamaah) Ahlussunnah. Maka pengertian Ahlussunnah itu sesungguhnya adalah Para Pewaris Nabi yang diturunkan Alloh (sebagai “penyambung sunnah” yang sama-sama berasal dari Alloh SWT) yang dalam hal ini adalah pada golongan Syiah (itulah ahlussunnah wal jamaah dari Syiah). Sedang yang tergabung dalam golongan Sunnipun (walau di dunia ini menyebut diri golongan ahlussunnah wal jamaah), semua akan datang menuju Alloh SWT, kemudian terpecah memasuki 73 jalan yang disediakan Tuhan bagi mereka sesuai yang termaksud dalam hadits, semua berjalan sesuai menurut “cahaya yang terpancar dari dalam dirinya, yaitu akibat prilakunya di dunia ini”. Maka cahaya yang “bersesuaian” dengan cahaya para Nabi dan RasulNya, itulah Jamaah para Ahli Sunnah hakiki yang diturunkan Alloh SWT, yang dalam hal ini pada golongan tersebut (Sunni) saat di dunia ini. Hal yang sama akan terjadi pada NU, Muhammadiyah danseterusnya. Sungguh banyak yang tertolak, bahkan tertolak sebagai umat Nabi Muhammad SAW (padahal mengaku umat Islam saat di dunia ini), cahaya mereka demikian kelam dan gelap, perbuatan mereka demikian terpedaya oleh syetan yang terkutuk.
Kemudian baik Sunni, Syiah, NU, Muhammadiyah danseterusnya mereka yang menjadi Jamaah para Ahli Sunnah Hakiki, para Pewaris Nabi di “sisi” Alloh SWT justru saling melengkapi saling menyempurnakan (di Surga itu), sebagaimana seluruh para Nabi dan RasulNya seluruhnya semuanya saling melengkapi semua (cahaya mereka) bergabung sedemikian rupa bagaikan membangun “sebuah rumah”, padahal saat di dunia ini ada yang saling bermusuhan bertengkar (dalam ideologi dan pemikiran). Layak seperti keadaan saat ini, bagaimana ilmu fisika, kimia, biologi, kedokteran, bahasa serta ilmu-ilmu sosial danseterusnya ternyata saling melengkapi menyempurnakan kehidupan (dan semuanya tetap masing-masing merasa “benar” tapi menurut fak masing-masing). Demikian pula antara petani, nelayan, mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan di pabrik-pabrik baik di bidang teknologi atau juga kemeliteran baik di pemerintahan, kepolisian ketentaraan danseterusnya kenyataannya semua saling melengkapi. Maka silahkan uraikanlah dengan pendapat yang lebih baik bila permisalan-permisalan dalam uraian ini tidak disukai atau sangat tidak berkenan oleh golongan-golongan dalam Islam. Sedangkan umat pada masing-masing Nabi sejak Nabi Adam AS juga semua akan menuju Alloh SWT, dan akan berjalan menurut jalan-jalan yang telah disediakan Tuhan atas mereka, dan mereka yang tertolak adalah yang tidak bersesuaian cahaya  dengan cahaya para Nabi dan RasulNya itu. Bahwa semua memang berjalan berdasarkan “cahaya” sebagaimana yang dilihat Alloh adalah “hati”, yang semua adalah akibat dari apa yang dilakukannya di dunia ini. Dan di Surga semua para Nabi dan RasulNya itu juga akan saling melengkapi saling menyempurnakan kehidupan Surgawi, yang Maha Luas Tanpa Batas, seluas langit dan bumi, seluruh langit-langit dan bumi-bumi, dengan kehidupan kekal di dalamnya.
Akan nyatalah bahwa dari bintang (bumi) manapun Al Quran (nilai-nilai Surgawi) yang sama dan semisallah yang akan “terpandang”, karena itu Alloh SWT juga sungguh menurunkan KitabNya di bumi-bumiNya yang lain, sehingga Alloh SWT pula yang disembah di seru sekalian alam bintang gemintang, dimana bintang Syira adalah contoh nyata yang tertulis jelas dalam Al Quran (karena itu pastilah akan jadi kenyataan yang tak terbantahkan). Dan sesungguhnya ke Maha Luasan Surga menjadi tampak demikian (semakin) nyata bila tidak hanya sebatas suatu wilayah saja atau hanya sebumi ini saja melainkan justru bila pandangan manusia adalah kepada segala bumi seru sekalian alam sesuai isi surah Al Fatehah sebagai nilai-nilai Surgawi paling hakiki. KeMaha Sucian Alloh itulah yang sungguh telah “melepaskan” pandangan-pandangan manusia dari belenggu-belenggu “keterbatasan”, ke segala bumi ke segala gugusan-gugusan bintang hingga (dapat memandang) ke fitrah Alloh SWT paling sempurna, sidratul Muntaha di dekatnya ada Surga tempat tinggal (untuk  ini “pahamilah” ayat-ayat yang dimulai dengan “Maha Suci Alloh). Maka demikian pula zikir yang 99 masing-masing 33 kali itu sungguh telah dapat menuntun pandangan hati manusia untuk terus menembus (juga dapat berlepas diri dari) langit demi langit hingga kepada KeMaha BesaranNya paling besar, inipun sesuai ayat permulaan surah Al Fatehah.
“Hal (Teknologi) Buraq Adalah Sebuah Keniscayaan.” Bahwa seorang hamba tidak asal bicara tentang (teknologi) Buraq tanpa dasar yang kuat khususnya isyarat-isyarat dari para Pewaris Nabi yang dikehendakiNya terdahulu, terlepas dari pendapat Ulama-Ulama saat ini yang tidak sejalan karena Buraq dianggap “mahluk miterius yang cenderung irrasional” yang tidak dapat disangkut pautkan dengan istilah “teknologi”. Padahal “teknologi” hanyalah “istilah ilmu” (pahamilah pernyataan ini) yang dalam hal ini bagian dari sifat Zhahir dari NamaNya Yang Zhahir. Bahwa ketika Yang Zhahir adalah juga Yang Bathin maka tidak suatu wujudpun yang tidak “terbentuk”, segala benda segala mahluk segala sesuatu apapun “terbentuk”, sebagaimana terbentuk “Segala Waktu” ketika Yang Awal adalah juga Yang Akhir. Karena Alloh adalah Dzat Yang Memuji DiriNya Sendiri, dari dan bagi Nama-NamaNya Sendiri Asma ul husna, dari Alloh dan akan kembali kepada Alloh. Bahwa Asma ul Husna itulah yang menjadi hakekat dari seluruh kalimat-kalimat Alloh, ayat-ayat Alloh, firman-firman Alloh dimana “kesempurnaan” segala sesuatu itu adalah di “sisi” Alloh SWT. Sedang “teknologi” itu hanyalah “istilah” bagaimana manusia membentuk suatu bentuk yang sebenarnya bagian dari ZhahirNya tersebut.
Akan tetapi “kecepatan gerak” di sisiNya yang adalah Cahaya Diatas Cahaya sedemikian rupa dipahami dengan sebutan “kun, faya kun”. Maka  tidak akan terpahami kecuali yang diberi pemahaman tentang hal ini oleh Alloh SWT, sehingga dapat memahami ayat-ayat Alloh bagaimana langit dan bumi ini terbentuk sedemikian rupa secara “kun, faya kun”. Karena tanpa memahami “kecepatan gerak” yang kun, faya kun bagaimana mungkin dapat memahami Buraq secara realistis rasional sebagai “Teknologi Islami murni” cahaya diatas cahaya? Sekali lagi, “teknologi” itu hanyalah istilah, sedang kesempurnaan “teknologi” itu hanyalah di sisi Alloh SWT. Bahwa mengenal Asma ul Husna berarti mengenal hukum hakiki alam semesta, fitrah Alloh, sunnatullah, bagaimana segala sesuatu segala bintang gemintang ini terbentuk. Jadi nilailah secara wajar pemahaman seorang hamba tentang (teknologi) Buraq ini, hingga saatnya pintu taubat tertutup. Karena bila ayat-ayat Alloh telah menjadi “kenyataan” dengan sendirinya “iman” sudah tidak diperlukan lagi maka pintu taubat tertutup.
Buraq  adalah dari Cahaya Alloh SWT, dan tidak akan dapat dinaiki kecuali memiliki CahayaNya pula. Akan “terbakarlah”  bagi yang tidak memiliki CahayaNya, atau bagi yang cahayanya tidak bersesuaian dengan cahaya para Nabi dan RasulNya. Dengan “kemaha cepatan” pesawat sedemikian rupa adalah sangat wajar bila dirinya “terbakar”, karena tidak memiliki kekuatanNya, yaitu kekuatan yang lebih lebih lebih kuat dari segala “kemaha dahsyatan Alam Semesta” langit dan bumi. Manusia dapat memiliki kekuatan-kekuatan Alloh adalah dengan berusaha “menyerap” Cahaya Alloh SWT, yaitu dengan mengikuti kalimat-kalimatNya ayat-ayatNya melalui sunnah para Nabi dan RasulNya. Khususnya dengan “sholat” sebagai jalan “terpintas” menyerap CahayaNya, kekuatan-kekuatanNya. Bahwa bukan karena ikut Muhammadiyah seorang hamba tidak pakai qunut atau juga bukan karena ikut NU maka pakai qunut, akan tetapi (sejauh ini, masih beranggapan) “tanpa qunut” Nabi sampai ke Sidratul Muntaha. Sehingga  pakai atau tidak pakai qunut biasa saja, tidak harus sujud sahwi tanpa qunut, kecuali bila NU bisa membuktikan bahwa Nabi sampai ke Sidratul Muntaha adalah “saat” pakai qunut, maka masalahnya jadi lain.
Demikian pula, bahwa “kesempurnaan Cahaya Fitrah Alloh” itu terpancar pada waktu-waktu yang “tepat”, karena itu “perbedaan” hari saat mulai “puasa Ramadhan” serta jatuh Hari Raya, sama sekali tidak ada istilah (tidak berkaitan dengan) “benar atau salah”. Melainkan saat-saat mana “tepatnya” Cahaya Alloh SWT itu ada pada “qadar paling sempurna” yang dapat “terserap” tubuh khususnya saat sholat. Cahaya Fitrah Alloh yang gaib tidak kelihatan itulah kelak yang “terserap” pada saat “Sholat Hari Raya”, akan tetapi manakah “Qadar Cahaya Tersempurna” hanya Alloh SWT yang mengetahui, baik Ulama NU atau Muhammadiyah tidak ada yang tahu secara hakekat. Karena itu “perbedaan” hari saat sholat Hari Raya hanyalah perbedaan qadar Cahaya Fitrah Alloh yang akan “terserap” saja, yang pada keduanya adalah sama-sama Cahaya Alloh SWT belaka, hanya saja qadar keutamaannya sekali atau dua kali lipat. Jadi tidak ada istilah mana yang benar atau yang salah, dan semua akan jatuh pada “taqdir” tentang cahaya yang  didapat (terserap). Bolehjadi hari terdahulu lebih utama atau justru hari yang belakang, atau justru keduanya mendapatkan “Cahaya Keutamaan” yang sama, karena Cahaya itu tepat “di tengah” (waktu) keduanya. Padahal juga Cahaya Fitrah (Idul Fitri) paling sempurna itu juga mengikuti “waktu dan tempat” yang “tepat” terpancar sedemikian rupa ketika fajar menyingsing, bahkan bolehjadi itu bukan di negeri kita (Indonesia), tapi mungkin di Malaysia, India, Eropa atau Amerika (selain di Tanah Arab tentunya), hanya Alloh SWT yang tahu, qadar tersempurna termaksud.
Pemerintah yang baik akan memfasilitasi keduanya (kedua hari-hari itu) karena keduanya memiliki dasar perhitungan masing-masing dalam beragama, juga adalah hak yang mesti dipenuhi sebagai warga negara (pemerintah selayaknya hanya “fasilitator”). Jadi bukan karena “pilihan” pemerintah maka fasilitas sebagai hak tiap warga tidak diberikan. Bahwa “perbedaan” tafsir adalah hal biasa dalam beragama, bahkan antar para NabiNya, seumpama Nabi Musa AS dengan Nabi Khidir AS sehingga terjadi “perpisahan” bagi keduanya (layak seperti NU dengan Muhammadiyah ‘berpisah’  atau  Sunni dengan Syiah dan lain-lain.). Akan tetapi di “sisi” Alloh ilmu keduanya justru “senantiasa dan selamanya” adalah saling melengkapi dalam membangun “rumah Alloh”, karena berasal dari nilai-nilai Surgawi yang sama bahkan dari sejak Nabi Adam AS mendapat kalimat-kalimat pertama dari Alloh SWT. Merupakan “pelajaran” dari peristiwa Isra Mikraj dimana sama sekali  “tidak terpandang” adanya “Perang Agama” pada Akhir Jaman. Sebaliknya justru “saling memberi salam”, saling menghargai, melengkapi dan menyempurnakan antar seluruh para Nabi dan RasulNya, seluruh AgamaNya, seluruhnya, semuanya walau di bintang gemintang, yang nyata-nyata semua adalah wilayah-wilayah sebagai “satu kesatuan” utuh Seru Sekalian Alam Tanpa Batas. Dimana kelak sungguh segalanya akan “dipersatukan” (segala gugusan-gugusan bintang itu) dalam wujud Surga yang dijanjikan.
Sumber dari segala Sumber Hukum sehingga dari gugusan bintang manapun termasuk dari bumi kita ini niscaya akan terpandang sidratul muntaha yang sama, Lauhil Mahfuz yang sama dengan Al Quran yang sama. Maka segalanya semuanya akan mencapai “sisi” Alloh yang sama, Surga yang sama sebagai tempat tinggal. Jadi mengapa kita masih atau mesti berperang, saling bunuh, padahal tidak berapa lama lagi bolehjadi kita justru akan kekurangan orang untuk ke bintang gemintang. Ketika “terbuka” langit maka akan nyatalah betapa banyak manusia telah menganiaya diri sendiri dengan perbuatan sia-sia menumpuk-numpuk harta duniawi yang tidak seberapa, sekaya-kaya duniawi ternyata hanya “sekerat” kecil saja dari bumi kita sendiri, wilayah dan harta yang sama sekali tidak sebanding dengan seru sekalian alam bintang gemintang tanpa batas. Karena bagi Penulis yang disebut Akhir Jaman hanyalah “Akhir dari kehidupan duniawi” itu saja, yang sementara dan sangat Lokalitas. Kehidupan yang hanya sebumi ini belaka, wilayah sekecil ini, sedebu di alam semesta, demikian itulah duniawi yang sangat sementara, sangat Lokalitas (di bumi itulah kamu dihidupkan, dimatikan dan dari bumi itulah kamu akan dibangkitkan.). Sehingga ketika “terbuka” pintu-pintu langit maka yang “terpandang” justru “lenyaplah kehidupan duniawi”.
Dan “pelajaran” dari peristiwa Isra Mikraj adalah bahwa akan “terbakarlah” bagi yang tidak memiliki Cahaya Alloh SWT, jangankan Buraq dengan kecepatan cahaya, dengan sekian kali “kecepatan suara” saja banyak pesawat yang terbakar dan meledak beserta isi di dalamnya. Semua terjadi karena tidak mencapai hakekat sesungguhnya “inti” dari kejadian langit dan bumi yang secara kun, faya kun. Jadi hanya dengan dapat memahami kejadian langit dan bumi dalam Agama maka pesawat dengan (teknologi Buraq)  kecepatan cahaya diatas cahaya akan segera dapat terealisasi dengan sempurna. Agama adalah “petunjuk”, akan tetapi kebanyakan manusia lebih memilih duniawi. Pandanglah bagaimana para Ilmuwan mendapatkan ilmu dari “ketundukan” Alam Semesta ini kepada Tuhannya (khususnya dalil-dalil keseimbangan yang matematis), yang secara perlahan atau cepat secara pasti dibawa kepada “pengenalan” Tuhannya, Nuur Langit dan Bumi. Karena hakekat Alam Semesta ini adalah kalimat-kalimat Alloh, firman-firman Alloh yang terpandang sebagai cahaya. Demikianlah pandangan para Ilmuwan akan ditarik dibawa melalui ilmu itu sendiri justru kepada “pengenalan” akan Alloh SWT, jadi secara pasti akan menemui Tuhannya. Teknologi nuklir, Nanotek, Kosmologi danseterusnya hanya akan mempercepat manusia sampai kepada ayat-ayat Alloh SWT, sehingga semakin yakinlah bahwa “masa depan” manusia adalah pada “Area Cahaya Diatas Cahaya” yang dikenal dalam Agama sebagai  “sisi” Alloh SWT (Nuur Langit dan Bumi), sehingga sungguh-sungguh akan memahami itulah wilayah kehidupan Surga yang dijanjikan.
Bahwa semua ini merupakan “pelajaran” betapa untuk mencapai Alloh SWT tiap manusia harus dapat melepaskan segala bentuk “kedirian” belenggu-belenggu keterbatasan yang tidak lain adalah dengan KeMaha SucianNya, hingga dirinya disucikanNya, dilepaskanNya dari segala belenggu keterbatasan. Prilaku Nabi bagaimana harta dan jiwanya hanya untuk Alloh SWT belaka, adalah contoh bagaimana mensucikan diri dan harta agar tetap menuju mencapai KeMaha SucianNya. Seperti hal masjid bagaimana sebuah perusahaan dapat menjadi “sarana” menuju dan mencapai Alloh SWT jelas harus mengikuti sedemikian rupa keteladanan Nabi yang jelas-jelas dengan penglihatan pendengaran dan hati (akal) bukan dari diri sendiri lagi melainkan dengan Alloh. Artinya juga sudah selayaknya Alloh dan RasulNya adalah lebih utama dari diri sendiri. Maka perusahaan demikian itulah yang kini sedang dirintis ALAS KETONGGO ONE yang diharap dapat menjadi rahmat bagi manusia serta alam semesta, rahmatan lil alamin, yang tentunya akan sangat berdampak logis bila Negeri inipun akan dapat segera mencapai cita-citanya, khususnya bila bermunculan perusahaan-perusahaan dengan spiritualitas yang sama semisal sejenis di Negeri ini yaitu dalam mengikuti jejak-jejak  “keteladanan Nabi Muhammad SAW”, maka siapa menyusul, orang-orang yang sungguh berminat mendirikannya?  Wallahu a’lam bish showwab.

                                                                                                Salam dari Penulis
                                                                                                            ttd
                                                                                              Winarno (Mas Nano)

No comments:

Post a Comment